Friday, March 10, 2017

Dia (tidak) cantik

DIA tidak cantik seperti perempuan kebanyakan. Tanpa bulu mata lentik palsu, bibir merah karena gincu, dan senyumnya tidak menggoda melainkan penyejuk kalbu.
Matanya tidak indah pun tidak redup, biasa-biasa saja. Justru terkadang matanya tetlihat bengkak dan sembab. Tapi dia tidak pernah menyembunyikannya dengan maskara, eyeliner dan eye shadow karena memang dia tidak mengerti cara menggunakannya.
Hidungnya juga tidak mancung, pun pipinya tak semulus pualam. Namun, dia tidak mengoleskan pemerah pipi untuk menambah kecantikan. Dia hanya menggunakan bedak biasa, itupun terlihat seperti dia tidak memakai bedak.
Kendatipun dikelilingi teman-teman cantik dengan 'benda' tersebut, dia tak peduli dengan pandangan orang dan tidak pula mau terbawa arus trend. Bukan berarti kudet, hanya saja dia merasa itu tidak perlu dan belum saatnya.
Cantik dengan caranya.
Bersyukur dengan apa yang ada pada dirinya. Biarlah orang mau berkata apa, dia tidak peduli. Yang penting tidak berlebihan dalam 'bergaya' dan tidak pula menarik perhatian kaum Adam.
Sesederhana itu pun dia tak enak hati, sebab masih merasa ada mata-mata 'nakal' yang memerhatikan.
Sulitkah menjadi dia?
Tak ada yang menyukai?
Tak ada yang memerhati?
Sulit memang awalnya. Karena..........

*IslamPos
Read more...
separador

Wednesday, March 8, 2017

Nasib Generasi 2000an

1. Generasi yang lulus tahun 70-80an masih menikmati, lulus kuliah, kerja sebentar, mereka bisa nyicil rumah di kawasan tengah perkotaan. Generasi  yang lulus kuliah tahun 90-an, masih bisalah nyicil rumah, agak minggir dikit lokasinya, kerja 2-3 tahun. Generasi yg lahir tahun 2000-an? Kalian terima nasib, saat kalian lulus kuliah nanti, perlu bertahun-tahun, bertahun-tahun, bertahun-tahun, dan itupun hanya nun jauh di pinggir kota. Karena harga tanah sudah meroket, dan cuma dimiliki kelompok tertentu. Di Jakarta hari ini, hanya 50% penduduknya yang punya rumah sendiri. Tidak terbayang 20-30 tahun lagi.
2. Generasi yang besar tahun 70-80-an, mereka masih biasa melihat pohon pisang, mendengar suara kodok, menatap setu/danau kecil, hamparan sawah, kambing, sapi lewat, dll di sekitar mereka. Generasi yg besar tahun 90-an, juga masih nyisa, meski tinggal sedikit di sekitar rumahnya. Generasi yang lahir tahun 2000-an, kalian harus pergi jauh hanya untuk melihat pohon pisang. Besok-besok, tidak mengejutkan jika anak-anak kecil hanya tahu pohon pisang dari gambar saja. Duluuu sekali, anak-anak malah menggunakan pohon pisang, diikat 3-4 batang, jadilah dia perahu petualangan di atas sungai/setu/danau.
3.  Jaman dulu, sekolah itu masuk jam 7.30, pulang jam 1-an. Selesai. Paling ditambah sore hari, belajar ngaji di masjid/mushalla dekat rumah. Generasi 2000-an, sepertinya seharian dihabiskan di sekolah. Dari pagi, siang, sore. Belum lagi tambahan les ini, kursus itu, dll. Jaman dulu, banyak anak sekolah berangkat hanya bawa buku dua, pulpen satu, beres. Hari ini, tas sekolah anak-anak besar dan berat sekali. Tapi ada bagusnya, anak sekarang jadi lebih susah bolosnya. Jaman dulu, bolos lebih mudah, itu buku masukin ke saku, kabur. Sekarang, bawa2 tas super besar, susah mau kemana2.
4. Anak yang sekolah jaman 70-80an, masih merasakan kemana-mana itu cepat dan mudah (meski cuma naik omprengan). Jarak lima kilometer, bisa ditempuh 5-10 menit. Ajaib kan? Anak yg sekolah tahun 90-an, juga masih bisa berangkat siang, tidak perlu berangkat pagi buta masih gelap. Tapi generasi 2000-an, jarak lima kilometer bisa menghabiskan waktu 60 menit. Semakin lama, penduduk perkotaan menghabiskan waktu banyak sekali di jalan raya. Dulu tidak ada istilah ‘tua di jalan’. Sekarang mobil2, meski semakin canggih, justeru semakin merayap di jalanan.
5. Dulu, lulus kuliah tahun 70-80an, pintar bahasa Inggris, sudah lebih dari cukup dapat pekerjaan bagus. Tahun 90-an, juga masih sakti skill tersebut. Generasi 2000-an, terima nasib, pintar bahasa Inggris, hanya jadi salah-satu poin saja. Itu sih sudah standar. Pencari pekerjaan lain malah ada yang bisa bahasa Inggris, Mandarin, dll, dll. Kalian akan semakin keras bersaing mendapatkan pekerjaan. Tes-nya lebih banyak, seleksinya lebih ketat, pesaingnya tambah buanyak.
Daftarnya masih puanjang. Tapi kita cukupkan sampai di sini saja. Sebagai penutup, sekali lagi sy akan mengulang poin 1, bahwa sesuai data BPS 2016, ketahuilah 48,91 persen penduduk Jakarta tidak punya rumah sendiri (sebagai perbandingan, tahun 1999, angkanya baru 35%).
Saat kalian besok dewasa, angkanya akan lebih sadis lagi. Boleh jadi, 20-30 tahun lagi, 70% penduduk Jakarta hanya nyewa di Jakarta. Rumah hanya dimiliki kelompok tertentu saja. Selamat datang di negeri persewaan dan kontrakan. Bayar uang sewa, listrik, air, keamanan, iuran, dll, seumur hidup, tapi tidak pernah punya rumahnya.
*Tere Liye
Read more...
separador

Followers