Friday, June 23, 2017

Pesan Hari Raya

Yang kayak gini, ada???

Yo buanyaakkk!!!

Pesan Hari Raya

Ada seorang Ibu, yang telah dengan gesit dan cekatan menyediakan semua kebutuhan anak. Meracik nutrisi dalam menu MPASI-nya dengan teliti, memperjuangkan pumping ASIP setiap hari. Kontrol kesehatan dengan jeli, dan masih membersamai anak bermain meski lelah sepulang kantor menjalari tubuh.

Ia lakukan selama sebelas bulan dan tiga minggu, namun usahanya sirna hanya dalam satu minggu. Ketika momen berlebaran datang dan justru komen negatif yang terundang.

"Anak kamu kurus ya"
"Coba disapih dulu, tambahin sufor biar gemuk"
"Duh, kurus begini kasian... Ibunya malah gemukan"

Adakah kita berposisi sebagai Ibu yang telah berusaha mati-matian?
Atau kitalah si komentator yang melempar kritik sembarangan?

====

Ada seorang suami, yang telah dengan ikhlas bekerja dari pagi hingga petang demi mencukupi sekian banyak kebutuhan. Menjaga dirinya mencari rezeki yang halal, biar sedikit namun bisa berbagi dan beramal.

Ia lakukan selama sebelas bulan dan tiga minggu, namun usahanya sirna hanya dalam satu minggu. Ketika momen berlebaran datang dan justru komen negatif yang terundang.

"Kakak ipar kamu mah ngasih ini, itu, ini sama Bapak Ibu. Masa ketemu cuma setahun sekali bawanya cuma ini..."
"Pulang mudik naik kereta? Oalah Nak, kapan Ibu diajak keliling kampung pake mobilmu?"

Adakah kita berposisi sebagai suami yang telah bekerja tanpa henti?
Atau kitalah orang tua dan mertua yang tidak hentinya menilai keberhasilan anak dari harta?

====

Ada seorang istri, yang demi membersamai suami rela meninggalkan meja kerjanya yang bergengsi. Bukan berarti ia tidak merencanakan kehidupan. Bukan berarti ia menyepelekan soal pencapaian dan upgrade kemampuan.

Ia telah menjalani selama sebelas bulan dan tiga minggu, namun semangatnya sirna hanya dalam satu minggu. Ketika momen berlebaran datang dan justru komen negatif yang terundang.

"Di rumah doang ngerjain kerjaan pembantu?"
"Eman-emani sekolahmu, Nduk..."
"Ngga bosen Mba, di rumah aja ngga punya penghasilan sendiri?"

Adakah kita berposisi sebagai istri yang mengambil jalur tirakatnya sendiri?
Atau kitalah keluarga yang tega, mengkonotasi negatif peran ibu rumah tangga?

======

Setiap orang menjalankan perannya tanpa perlu kita tanya. Mereka siaga, selama sebelas bulan lebih tiga minggu sebelum bertemu hari raya.

Mereka Ibu bekerja di ranah publik, yang tetap bangun lebih pagi demi menetapi tugas dasar sebagai Ibu dan Istri dalam mengawal nutrisi dan kebutuhan emosi.

Mereka para Ayah dan Suami, yang menjemput rezeki dengan halal meskipun penghasilan ala kadar, yang berusaha menjauhi kepemilikan materi dari jerat ribawi hanya untuk sekedar performa gengsi.

Mereka para Ibu bekerja di ranah domestik, yang membersamai keluarga karena passionnya, yang memastikan segala kebutuhan fitrah anak ditangani olehnya sebagai tangan pertama.

Mereka pasangan suami istri yang tidak henti berikhtiar untuk terapi memiliki anak, berikhtiar dalam sujud dan rayuan pada Tuhan siang malam. Barikade perasaan sudah amat mereka lebarkan demi menampung pertanyaan kapan punya momongan.

Mereka yang tengah menunggu jodoh dan dalam usaha membekali diri dengan softskill menjadi suami atau istri, tanpa perlu ditanya "kapan rabi", sungguh telah mereka langitkan harap pada Illahi.

Lupakah kita, bahwa Tuhanlah pemegang hak prerogatif atas hamba-Nya?
Mempertanyakan fase kehidupan seorang rekan bisa jadi sebelas-dua belas dengan mengkonfrontir skenario Tuhan.

Sungguh kerja dan usaha mereka selama sebelas bulan dan tiga minggu yang lama, tidak bisa dinilai dari satu minggu bersua kala hari raya.

Tidak bisa disimpulkan dari pertemuan ketika berlebaran. Tidak layak kita komentatori, karena perjuangan mereka belum kita mengerti.

Pertanyaan kita mungkin sederhana, namun sudahkah kita susun sedemikian jeli agar tidak menyakiti hati yang sama-sama mengharap kembali suci?

=====

Tahan lisanmu, ketika kau jumpai anak-anak yang nampaknya lebih kurus dari momen terakhir bertemu. Alih-alih melempar nada kritik, cobalah memberikan saran konstruktif atau melihat dari berbagai perspektif.

"Mba, aku punya rekomendasi biskuit bayi nih buat boost BB anak. Mau coba ngga?"
"Eh si kakak tambah tinggi dan pinter ya, udah fase tumbuh ke atas kayanya"

Tahan lisanmu, ketika kau jumpai keluarga yang belum bersinar dan jadikan iktibar. Alih-alih menilai mereka kekurangan dari materi, cobalah tetap menyemangati.

"Ngga masalah ya Mas belum bawa mobil, daripada bergaya tapi nyicil"
"Alhamdulillah masih bisa berbagi, Le... Ibu syukuri semoga rezekimu lebih berkah".

Tahan lisanmu, ketika kau jumpai Ibu dan Istri yang memilih berjihad di jalan sunyi. Alih-alih melabeli, cobalah memberi apresiasi.

"Masya Allah, semoga jadi ladang pahala buatmu Jeng. Mengurus keluarga tanpa jeda pasti berat tantangannya"
"Matur nuwun ya Nduk, mau menjaga sendiri anak dan suami. Jaman makin edan, tiap peran di rumah tangga harus saling menguatkan"

Tahan lisan kita, dari komentar menghakimi di hari raya. Tahan lisan kita, dari memburu pertanyaan yang masuk yurisdiksi Tuhan untuk memutuskan.

Karena kita tidak pernah berjalan dengan sepatu mereka.
Karena sebelas bulan dan tiga minggu lainnya adalah medan juang mereka yang tidak kita pantau naik turunnya.
Karena seminggu bersua tidak cukup layak untuk menilai sendi-sendi usaha yang telah mereka rajut bersama.

Karena hari raya, bukan hari basa-basi bertanya. Jangan cemari maknanya dengan komentar murah tanpa arah.

Written  by :
~Nafila Rahmawati

separador

0 comments:

Post a Comment

Followers