Sebagai
manusia, pasti punya salah dan khilaf. Tidak ada manusia yang tak luput dari
dosa, baik besar maupun kecil, sengaja maupun tidak sengaja. Mengingat hal itu,
manusia yang punya nurani pasti ingin bertobat dari segala kesalahan dan
kejahatan yang pernah diperbuat. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
cara yang harus dilakukan untuk ‘membersihkan’ diri dari dosa-dosa tersebut?
Kita
sebagai umat Muslim, tentulah memiliki cara yang berbeda dengan umat lainnya
dalam hal bertobat. Pernah dengar tentang sholat sunnah tasbih? Atau bahkan ada
yang pernah mengerjakannya? Seberapa sering mengerjakannya?
Kalau
boleh aku bilang, sholat tasbih adalah senjata sebagai ‘sholat penebus dosa’. Kenapa?
Karena dengan mengerjakan sholat itu, akan terampuni segala macam dosa. Dosa yang
dilakukan di awal, di akhir, yang lama, yang baru, yang sengaja, yang tidak
sengaja, yang besar, yang kecil, yang dilakukan sembunyi-sembunyi, dan yang
dilakukan terang-terangan. Komplit kan? Siapa sih yang tidak mau dosa-dosanya
terampuni dengan cara yang begitu mudah? Hanya dengan mengerjakan sholat sunnah
empat rakaat, yang boleh dikerjakan sesempatnya waktu, yang disebut sholat
tasbih.
Lalu,
jika sudah terampuni semua dosa, berarti ibarat bayi baru lahir yang bersih tanpa
dosa. Asal kita tahu, dari sekitar tujuh milyar manusia di planet ini,
mayoritas adalah pemeluk agama Islam, bayangkan jika semua umat muslim
melakukan sholat sunnah yang satu ini, akan ada banyak space di neraka karena
semua umat muslim berada di surga. Wow! Amazing, kan?
Tapi,
benarkah bertobat semudah itu caranya? Kalau memang benar, aku rasa Tuhan itu
tidak adil. Ibarat mencuci pakaian kotor, yang kotorannya banyak pasti akan
lebih banyak memerlukan detergent untuk membersihkan kotoran tersebut. Sedang dengan
melakukan sholat tasbih, ampunan untuk si pendosa dipukulrata (disamaratakan), seberapapun
banyaknya dosa asalkan si pendosa bisa mengerjakan sholat tasbih kapanpun
sesempatnya. Oh God, why???
Maka
dari itu, sebaiknya (seharusnya) kita tahu, benar atau tidak sholat tasbih itu
diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah SAW sebagai cara mudah untuk bertobat. Kalau
memang benar, bolehlah dikerjakan, tapi kalau ternyata tidak benar? Karena
dalam urusan ibadah harus sesuai dengan
contoh Rasulullah.
Berdasarkan
referensi yang ada, memang ada beberapa riwayat tentang sholat tasbih, adapun
yang paling kuat adalah riwayat berikut :
Dari
‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda kepada ‘Abbas
bin ‘Abdul Muththalib, “Ya ‘Abbas, ya paman, maukah kamu aku beri, maukah kamu
aku kasih, maukah kamu aku beri hadiah, maukah kamu aku beri sepuluh hal? Jika
engkau melakukanya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosamu yang awal maupun
yang akhir, yang lama maupun yang baru, yang tidak sengaja maupun yang sengaja,
yang besar maupun yang kecil, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.
Sepuluh hal itu adalah engkau sholat empat rakaat, engkau baca pada tiap-tiap
rakaat Al-Fatihah, kemudian dalam keadaan berdiri lalu engkau membaca, “Subhaanallooh,
wal hamdu lillaah, walaa ilaaha ilalloh, walloohu akbar” (Maha Suci Allah,
segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selainAllah, dan Allah Maha Besar),
sebanyak limabelas kali. Kemudian kamu ruku’ dan membaacanya dalam keadaan
ruku’ sepuluh kali. Lalu kamu mengangkat kepala (i’tidal) dan membacanya
sepuluh kali. Lalu kamu sujud dan membacanya dalam sujud sepuluh kali. Lalu
kamu duduk antara dua sujud dan membacanya sepuluh kali. Lalu kamu sujud dan
membacanya sepuluh kali, yang demikian itu berarti berjumlah tujuh puluh lima
kali pada setiap rakaat. Kamu lakukan yang demikian itu dalam empat rakaat.
Jika kamu mampu melakukannya setiap hari sekali maka lakukanlah, jika tidak
mampu maka pada setiap jumat sekali, apabila tidak mampu maka sebulan sekali
dan jika tidak mampu maka setahun sekali, dan jika tidak mampu maka dalam
seumur hidup sekali. [HR. Abu Dawud juz 2, hal.29, no.
1297].
Mengenai sanad hadits tersebut ada seorang
perawi yang dipermasalahkan, yakni Mudda bin ‘Abdul ‘Aziz. Mengenai Musa bin
‘Abdul ‘Aziz ini, Abdul Fadl As-Sulaimani mengatakan : ia munkarul hadits
(haditsnya diingkari). Ali bin Madini mengatakan : ia dlaif (lemah).
Namun Nassai mengatakan : laisa bihi ba’sun (ia tidak mengapa),
Yahya bin Ma’in mengatakan : laa araa bihi ba’san (saya
memandang ia tidak mengapa). [Lihat Mizaanul I’tidal juz 4, hal. 212, no.
8893].
Dari
uraian riwayat di atas, mengenai sholat tasbih ini tentang keshahihannya masih
diperselisihkan, sehingga ada ulama yang mau menerima hadits tersebut dan ada
pula yang tidak mau menerimanya, walloohu a’lam. Nah, kembali lagi pada
diri kita masing-masing, tetap mau menerima dan menggunakan dasar hadits yang
masih diragukan kebenarannya tersebut ataukah meninggalkannya.
Oke,
kalau masih yakin akan kebenaran hadits itu, coba kita sinkronkan dengan
beberapa firman Allah berikut ini :
Sesungguhnya
tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan
lantaran kejahilan*),
yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima
Allah tobatnya, dan Allah Maha Megetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. An-Nisa
(4) : 17].
*) kejahilan yaitu : a. orang yang berbuat maksiat
dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat; b. orang yang
durhaka kepada Allah SWT dengan tidak sengaja; c. orang yang melakukan
kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah karena dorongan hawa
nasfu
Apabila
orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka
katakanlah, “Salaamun ‘alaykum*).
Tuhan-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Allah SWT telah berjanji
sebagai kemurahan diri-Nya akan melimpahkan rahmat kepada makhluk-Nya), (yaitu)
bahwasanya barang siapa berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan*), kemudian ia bertobat
setelah mengerjakannya lalu mengadakan perbaikan, maka sesungguuhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS Al-An’am (6) : 54].
*) Salaamun ‘alaykum artinya mudah-mudahan Allah SWT
melimpahkan kesejahteraan atas kamu
Dari dua ayat di atas, dapat kita
simpulkan bahwa tobat yang diterima oleh Allah adalah :
1. Tobat
yang dilakukan karena mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan (ketidaktahuan
atau kebodohan)
2. Tobat
yang dilakukan dengan segera setelah menyadari kesalahan dan kejahatannya
3. Mengadakan
perbaikan dan tidak akan mengulangi perbuatan maksiat lagi
Jika
dilihat dari dasar Al-Qur’an, cara bertobat dengan mengerjakan sholat tasbih
tersebut sangatlah tidak sesuai. Dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa tobat yang
diterima adalah tobat karena kejahatan lantaran kejahilan (ketidaktahuan,
ketidaksengajaan, karena amarah dan hawa nafsu). Sedangkan berdasarkan riwayat
dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas di atas dikatakan bahwa tobat yang diterima antara
lain tobat karena dosa yang dilakukan di awal, di akhir, yang lama, yang baru,
yang sengaja, yang tidak sengaja, yang besar, yang kecil, yang dilakukan
sembunyi-sembunyi, dan yang dilakukan terang-terangan.
Selain
itu, berdasarkan firman Allah, waktu untuk bertobat adalah sesegera mungkin,
tidak ditunda-tunda. Sedangkan waktu untuk bertobat berdasarkan riwayat di atas
sangat fleksibel, kapan aja boleh, sesempatnya. Kalau tidak bisa mengerjakannya
setiap hari, maka boleh dikerjakan seminggu sekali (setiap Hari Jumat). Kalau
seminggu sekali masih belum bisa mengeerjakannya, maka boleh dikerjakan setahun
sekali. Dan kalau setahun sekali pun masih tetap belum bisa mengerjakannya, maka
boleh dikerjakan seumur hidup sekali.
Allah
juga menerangkan setelah kita menyadari kesalahan, lalu bertobat, lalu kita harus
mengadakan perbaikan. Bertekad untuk tidak akan pernah mengulangi kejahatan
lagi. Itu lah point penting dari sebuah penebusan dosa.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan
Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya. [QS. An-Nisa (4) : 82].
Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)*). [QS Al-An’am (6) :
116].
*)Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah
diharamkan Allah SWT, mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah SWT, dan
menyatakan bahwa Allah SWT mempunyai anak