Saturday, August 24, 2019

Balada Warung Makan

Rame belum tentu memuaskan, sepi belum tentu mengecewakan. Pas lihat ada warung makan yang lagi rame, pernah gak sih terlintas di pikiran kalian "Pasti makanannya enak, warungnya rame gitu". Atau pas gak sengaja nglewati warung makan yang lagi sepi "Gak mau ah makan di warung makan itu, sepi terus, pasti makanannya gak enak". Pernah gak kek gitu? Atau malah sering bermindset kek gitu? Kalo aku pernah. Aku, dan my ipel2 and uyelable husband AUlia Arief Rahman, termasuk pasangan yang suka kulineran. Coba2 aja gitu, bukan warung langganan. Terutama warung mie ayam bakso. Mie ayam adalah salah satu makanan favoritku. Salah dua, tiga, dan seterusnya adalah sate, soto, siomay, bakmi jowo, ayam bakar, ikan bakar, dan masih banyak lagi. Wkwkwk.

Ada warung yang keliatannya rame, kita datengi. Penasaran aja, apa sih daya tariknya, kok bisa serame itu? Rasa masakannya kah? Atau memang karena tempatnya yang kece and cozy abis kah? Atau karena pelayanannya memuaskan? Kalo aku dan suami sih kulinerannya bukan di resto2 mewah yang tempatnya mentereng dan yang instagramable ala2 kawula muda gitu. Takut dompet suami tak sanggup bayarin bill nya. Wkwkwk. Kami senengnya kulineran di warung emplek2 pinggir jalan. Ya iya lah, kalo di tengah jalan nanti ketabrak. Maksudnya tu warung makan yang sederhana. Tenda2 bongkar pasang yang kalo musim ujan sering kena tampias. Warung makan di kios kecil yang mungkin harga sewanya bisa mencapai 10jt/taun dan cuma muat beberapa meja makan. Atau di warung makan yang buka di emperan rumah, memanfaatkan fungsi rumah buat usaha kulineran.

Berbekal dari keseringan diajak suami coba2 makanan itulah, jarum timbangan maunya belok kanan melulu. Wkwkwk. Melemu bersamamu, Pak Aulia Arief Rahman. Pernah, suatu malam yang sedikit mendung mengundang gerimis, aku dan suami pergi makan di luar. Keliling2 mencari warung makan yang setidaknya ada tempat lesehan buat naroh anak kami yang saat itu umurnya masih setahunan, soalnya kalo makan di kursi duduk berasa kurang nyaman. Kami menemukan salah satu warung makan lesehan yang kelihatan paling rame dibandingkan warung makan di sekitarnya, yang menyajikan menu serupa. Penyetan, Masakan Lamongan, ya gitu2 lah namanya. Ada menu bebek goreng, ayam goreng, lele goreng, burung goreng, dsb. Kami milih bebek goreng, dengan harga Rp 24.000/porsi + nasi. Potongan bebeknya kelihatan gede sih, warnanya juga cantik, tapiii... Pas aku gigit, alotnya minta ampun. Berasa kek ngunyah karet ban! Suamiku menyelesaikan makannya pada gigitan kedua, alias udah gak mau makan hidanganya lagi. Aku, seorang emak dengan jiwa "eman2"nya, merasa sayang kalo makanan semahal itu gak dihabiskan. Meskipun kalo dihabiskan akan mengakibatkan rahang kebas karena capek ngunyah. Anakku, yang biasanya suka makan nasi lauk bebek goreng bikinan buliknya, waktu itu cuma kukasih nasi ditutul tutulkan ke bebek goreng itu, berharap ada bumbu yang bisa nempel ke nasinya. Setidaknya buat asin2 nasi lah. Setelah aku menyelesaikan makanku, kami pergi dengan perasaan kecewa. Berasa terpedaya oleh "keramaian" warung makan itu. Kami jadi mikir, "Pelanggan2 lain itu mungkin juga sama kayak kita. Modal coba2. Ujung2nya kecewa". Kami gak habis pikir, masakan seperti itu kok ya nekat dijual? Menjual makanan tu mbok ya yang sekiranya layak dimakan oleh diri sendiri. Jangan menjual makanan yang kalo kita makan aja kita gak suka. Mungkin warung rame di awal2 tapi selebihnya bikin pelanggan kapok.

Di lain waktu dan tempat, kami nyoba mie ayam bakso yang warungnya berada di ruko pinggir jalan raya. Jalan utama. Sepanjang parkiran sering dipenuhi kendaraan. Entah itu kendaraan pelanggan warung atau pelanggan toko2 di sebelah warung. Yang jelas parkiran depan warung juga penuh. Dan benar saja, memang saat kami memasuki warung, sudah ada bayak pelanggan yang duduk di kursi pilihannya masing2. Setelah memesan makanan, kami menempati kursi yang masih kosong. Mie ayam bakso 2 porsi, teh anget 1 gelas. Porsi mie ayamnya cukup mengenyangkan, dihiasi dengan dua buah bakso besar seukuran bola pingpong di atasnya. Dihargai Rp 13.000/porsi. Rasa standar. Kuah mie ayamnya gak begitu kental. Baksonya juga berasa kayak bakso ayam, bukan bakso sapi.

Ada lagi warung mie ayam yang kemaren sempet ngehits dan viral sampe masuk di tayangan tipi. Hadir dengan menu andalannya mie ayam porsi mini, cukup bayar dua rebu rupiah, Anda udah dapet seporsi mie ayam seukuran mangkok kobokan. Bisnis kulineran memang harus pinter2 berkreasi dan berinovasi. Apa lagi jenis kulier yang tipe nya seperti lagu pop, keviralan dan kepopulerannya hanya sesaat, selebihnya kemungkinan besar akan tergerus oleh hadirnya kuliner2 baru.

Ada juga, warung makan yang kalo kami lewat jalan depan warungnya sering kelihatan sepi. Suatu hari, kami coba mampir ke sana. Warung itu jualan bakmi jowo. Rasa bakminya enak, gak kalah dengan bakmi jowo di warung lain yang pernah kami coba juga. Harganya murce aja, Rp 11.000/porsi. Mungkin karena lokasi warungnya kurang strategis, orang yang lewat kalo mau mampir ke warung agak kesusahan. Mungkin juga karena itu warung masih anget2nya, alias masih baru, jadi belum banyak yang mengenal dan merasakan makanan di sana.

Pada umumnya, pelanggan taunya cuma apa yang mereka makan, enak atau enggak di lidah mereka, tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan gimana proses makanan itu terhidang. Halal kah sembelihannya (kalo makanan berupa daging)? Baik gak buat kesehatan badan dan kantong kita dalam jangka panjang? Dan yang paling sederhana, pelanggan gak tau menahu seberapa besar effort yang pedagang lakukan untuk memenuhi kepuasan mereka. Berapa keuntungan yang pedagang ambil demi terjangkaunya harga bagi mereka. Parahnya lagi, ada pelanggan (dengan menyebutkan kata kunci: teman) menginginkan gratisan, diskonan, atau istilah lainnya sedekahan, dari usaha kuliner temannya itu. "Harga teman lah", gitu katanya. Kami, para pedagang makanan, bukannya pelit, cuman kalo ngaku "teman", semestinya mendukung, menyuport usaha temannya dengan nglarisi dagangannya, menjadi pelanggan setianya, merekomendasikan ke temen2 lainnya, juga mendoakannya agar usaha temannya itu lancar jaya.

Harus diakui, membangun bisnis, apa lagi bidang kuliner, butuh waktu yang gak sekejab, untuk bisa merasakan sensasi pelanggan berdatangan silih berganti, warung tak pernah sepi, dan kita enjoy di rumah duduk manis sambil bercengkerama dengan keluarga. Meskipun tanpa kehadiran kita, warung bisa jalan dengan semestinya dengan omset yang tak mengecewakan tiap bulannya. Omset tidak harus bayak, yang penting cukup dan barokah. Itu baru bisa dibilang sukses menjalankan bisnis.

Dimanapun aku dan my lovely husband makan di warung makan, pasti kami saling berkomentar, saling membandingkan, dengan cara saling mengicip makanan yang kami pesan (kalo kami pesan menu makanan yang berbeda). Secara, suamiku juga pelaku bisnis mie ayam bakso. Buliknya anakku juga pelaku bisnis kulineran. Punya warung steak dan ayam kremes. Dia pintar masak berbagai masakan, sayangnya belum sanggup direalisasikan untuk dijual secara komersial. Cek aja di sini kalo ga percaya!

Mie Ayam Bakso (KULINER 234)
Jl. Lettu Tori Subiantoro, Gempol Rejo, Jetis, Kec. Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah 57731
0815-7566-6505

https://maps.google.com/?cid=14948828344579690564&hl=in&gl=id

Dan di sini warung steaknya.

Rainbow Steak
Gempol Rejo, Jetis, Kec. Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah 57731
0823-2476-3769

https://maps.google.com/?cid=14384364944042298733&hl=in&gl=id

Suamiku juga baru2 ini buka warung steak dan ayam kremes. Di sini.

Jasmine Chicken Steak & Ayam Kremes
Jl. Sutowijoyo, Sidorejo RT 03/ 05, Dua, Tangkisan, Kec. Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 57561
0856-4100-0921

https://maps.google.com/?cid=16848800649912258595&hl=in&gl=id

Setiap warung makan punya ciri khas masakannya masing2. Meskipun sama2 jualan mie ayam, warung yang satu mengunggulkan porsi, mulai dari porsi mini dengan harga Rp. 5000/porsi hingga porsi jumbo yang mengenyangkan para kuli yang kelaparan. Sedangkan warung yang lain mengedepankan rasa kuah kaldu ayamnya. Warung lainnya lagi "menjual" tempat yang nyaman, aman, sehat sentosa, meskipun rasa dan porsi makanannya B aja alias biasa aja. Kami para pelaku usaha kulineran, harus percaya bahwa yang mendatangkan rejeki (berupa uang dari pelanggan) adalah Sang Maha Pemberi Rejeki. Tugas kami hanya sebatas berusaha, menyiapkan dagangan, selebihnya Allah lah yang menggerakkan hati para pelanggan, mau ditaroh di warungnya si Paiman kah, di warungnya Bu Jamilah kah, atau di warungmu kah. Dan kami yakin bahwa 90% rejeki datang dari berdagang. Itu artinya lebih banyak peluang untuk memperoleh rejeki adalah dari berdagang. So, berdaganglah!

Dan dari situlah, aku bisa menyimpulkan kalo "keramaian atau kesepian" suatu warung makan, tidaklah cukup menjadi tolok ukur enak atau tidaknya masakan di warung makan itu. The power of marketing mulut ke mulut itu perlu, namun balik lagi ke lidah masing2. Menurutmu enak, menurutku belum tentu seenak menurutmu. Menurutku oke, menurutmu B aja. Jadi, untuk bisa mengatakan enak atau tidaknya suatu makanan, kalian harus merasakan sendiri dengan lidah kalian. Karena, 99% pelanggan adalah coba2. Jadi, buat para pemula bisnis kuliner, harus bener2 memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan yang kalian jual.

Dan menurutku, sampai saat ini belum ada yang menandingi nikmatnya mie ayam bakso bikinan suamiku. Entah ini karena efek "taburan rasa cinta" atau karena aku makan memang pas lagi lapar. Jadi, buat sobat pecinta kuliner, biar makanan di warung tempat kalian makan berasa wuenak, cintailah tukang masaknya dan makanlah pas kondisi lagi lapar2nya! Wkwkwk.

Demikian. Aku bininya Pak Arief alias mamaknya Jasmine.
Selamat makan!

separador

0 comments:

Post a Comment

Followers