Saturday, July 27, 2019

HAMIL

Mau denger ceritaku? Eh, maksudku, mau baca ceritaku? Ini mungkin akan panjang dan lama. Jadi, kalo kalian gak sanggup baca, mending langsung skip aja, atau paling enggak, tinggalkan jejak, dengan cara klik "like". Wkwkwk. Buat kalian yang sanggup baca, silakan memulainya dengan tarik nafas panjang, jangan lupa hembuskan, soalnya kalo kelupaan, bisa kelar kalian!

Sudah? 

OK, baiklah...

Begini ceritanya... 

Berawal dari aku buka FB, scroll scroll beranda FB. Sama kayak yang kalian lakukan tadi, sebelum akhirnya nemu tulisanku ini. Eh, sebentar. Ngomong ngomong soal FB, barusan aku buka FB, dan ternyata hari ini aku ulang taun. Hahaha. Diingatkan oleh FB. Sungguh, warbiasah! FB bisa menjadi mesin reminder buat kita. Apa yang kita tulis, apa yang kita posting, apa yang kita pamerin, direkam semua oleh FB, selain dicatat dan direkam juga oleh malaikat, tentunya. Jadi, bijaklah dalam bersosial media, terkhusus FB, karena jangan sampai kita nyampah story yang gak baik, betebaran di mana mana, yang mungkin 5 atau 10 tahun mendatang kita akan malu, jijik, bahkan bergidik setelah membaca postingan kita sendiri. Lah, belum apa apa udah tausiyah. 

Kembali ke FB. Di beranda FB ku, tiba tiba, ujug ujug, mak bedunduk, aku membaca sebuah kalimat, begini, "Semoga para istri yang sedang hamil, Allah mudahkan proses lahirannya. Sehat untuk ibu dan bayi. Untuk yang belum hamil, semoga tidak lama lagi kabar baik 'positif hamil' segera datang menyapa. Bismillah. Jangan menyerah. Jangan putus asa. Terus berharap ke Allah. Aamiin." Dengan otomatis dan dengan sepenuh hati aku turut mengamini. Saat ini, aku termasuk seorang istri yang sedang menanti kabar baik itu. Menanti hadirnya sang buah hati yang akan melengkapi kebahagiaan pernikahanku dengan doi. 

Dulu, keputusanku bersedia menikah termasuk mendadak, karena hanya bermodal pasrah. Pasrah sama pilihan Allah, pilihan orang tua, dan pilihan pakcomblang, karena yang menjodohkanku adalah laki laki, bukan wanita. Saat malam pertama dengan jodohku pun bermodal lillahi ta'ala. Yang aku persiapkan hanyalah menghafalkan doa sebelum berhubungan, "Bismillah, Allahumma jannibniissyyaithaana wa jannibi syaithoona maarazaqtanaa". Gak ngerti harus dimulai dan diakhiri dengan gaya apa. Gak ada juga yang namanya merencanakan kehamilan atau menjalani program hamil sesaat setelah pernikahan. Segera hamil ya syukur, belum hamil ya sabar. 

Pengetahuan seputar 'cara cepat hamil' pun aku gak mencari tahu. Yang aku tau, suami meyakini bahwa jika frekuensi 'tancap gas' sesering mungkin akan memperbesar peluang istri untuk hamil. Bahkan semisal aku lagi goreng tempe di dapur nih, suami minta 'gas', ya harus dilayani. Sebagai istri sholihah (aamiin), kan gak boleh nolak ajakan suami kalo gak ada halangan yang syar'i, ya kan? Suami ingin segera memiliki baby, mengingat usia yang bisa dibilang tak muda lagi. 

Saat itu kami belum mengerti akan pentingnya memperhatikan masa subur demi meningkatkan peluang kehamilan. Memang, kita tak tahu kapan akan ketemu jodoh dan menikah, kapan akan hamil, dan kapan akan mati. Tapi, sebagai manusia kita hendaknya berusaha, bukan? Termasuk aku dan suami yang berusaha agar segera memiliki momongan. Meskipun setelah menikah aku merasa sudah mendapatkan satu momongan, yang kusebut dengan 'bayek tuwek' alias suami. Wkwkwk. 

Setengah tahun sudah usia pernikahan. Kami sedikit cemas karena aku masih kedapatan haid, pertanda aku belum berhasil hamil. Suami terlihat agak sedih. Melihat kakak dan adik perempuannya yang lebih dulu menikah, tak lama setelah menikah langsung tokcer, langsung bisa hamil. Mertua dan saudara saling menceritakan itu padaku, yang terkadang membuat aku merasa rendah diri. Kenapa aku tak segera hamil seperti mereka. Malah ada yang mengira aku menunda kehamilan. Dikiranya karena aku sering perjalanan jauh naik bus, makanya susah hamil. Dikira karena aku pelaku long distance marriage, yang menyebabkan suami jadi jablai, akunya jadi gak hamil hamil. Dikiranya karena aku masih berstatus wanita karier, makanya belum pingin segera nimang bayi. 

Keseringan ditanya sama tetangga "Udah isi belum? Kapan hamil?", membuat aku makin risih dan terusik. Plis dong ah, meskipun terdengar sepele dan untuk sekedar basa basi, kalian menanyakan pertanyaan semacam itu tuh ibarat bertanya "Kapan nikah?" atau "Kapan mati?" yang hanya Tuhan yang tau jawabannya. 

Parahnya lagi. Di luar sana, aku temui fenomena ada yang suka komentarin dan nyinyirin orang yang belum hamil setelah menikah. Ingat ya gaess, kalian yang bisa hamil sesaat setelah menikah itu bukan karena semata mata wanita subur atau karena pria perkasa, tapi semuanya atas kehendak dan izin Allah. Jadi gak usah bangga dulu. Apapun di dunia ini, sudah Allah atur semuanya, bahkan daun jatuh pun itu udah Allah atur. Lalu, bagaimana mungkin kamu bisa bangga diri, sedangkan semuanya atas izin Allah? Mudah bagi Allah membuat kamu hamil, dan memiliki anak, namun mudah juga bagi Allah, untuk mengambilnya kembali. Maka, hati-hati lah dengan lisanmu!

Nyinyir kalian gak cukup sampai di situ? Ada yang hamil lagi, dikomentari:

- Hloh Mbak, hamil lagi, gak KB ya? 

- Istrimu hamil lagi? Kayak bisa cari duit banyak aja! 

- Anak masih kecil kok hamil lagi? Apa bisa ngurusinnya, kasian kakaknya gak keurus.

- Anak banyak masih kecil kecil kok ya hamil lagi, wes gak usah hamil lagi, sana KB!

- Dan seterusnya, dan sebagainya, silakan isi sendiri.

Ya Allah... Perasaan mereka yang komentar gak urun biaya dan gak ikut repot deh. Mau hamil atau enggak itu bukan urusan kita, tugas kita itu saling mendukung dan mendoakan sesama. Hamil juga karena suaminya, bukan karena suami kalian. Kok panik.

Ahhh sudahlah...

Dari jaman old sampai jaman now: 

Yang udah nikah, tapi gak hamil hamil, dikomentarin 

Apalagi yang hamil diluar nikah, otomatis dikomentarin

Yang hamil, dihamili suaminya sendiri, pun dikomentarin

Yang anaknya masih kecil hamil lagi, dikomentarin  

Yang anaknya udah gede tapi belum bisa hamil lagi, juga dikomentarin

Yang anaknya banyak, masih hamil terus, dikomentarin

Lahir anaknya cewek lagi, dikomentarin

Lahir anaknya cowok lagi, di komentarin

Jadi intinya, perdalam ilmu agama, fokus ke Allah, yakin ke takdir Allah, percaya sama kekuasaan Allah. Omongan orang yang gak baik atau negatif abaikan aja. Gak ada manfaatnya, hempaskan aja. Allah memberikan yang kita butuhkan. Bukan yang kita inginkan. Apapun yang ada di dunia ini semuanya milik Allah. Kita hanya dititipkan. Jadi tugas kita hanya bersyukur dan gak perlu nyinyirin hidup orang. Keep calm jaga lisan, karena hanya Allah pembolak balik segala kejadian.

Mulai dari situ, aku sadar, mikirin komentar orang gak ada habisnya, lebih baik fokus sama urusan pribadi dengan Allah, minta terus sama Allah biar diberikan keturunan yang baik, penyejuk hati, dan termasuk golongan orang sholih. Selain berdoa, tentu juga harus dibarengi usaha. Termasuk obrolan antara aku dan suami yang berpindah tak jauh dari topik 'cara jitu cepat hamil, dijamin berhasil, gak berhasil uang kembali'. Wkwkwk. 

Kami mulai serius memikirkannya. Aku mulai mencari tahu dan menimba ilmu soal itu. Sharing cerita dan mempertimbangkan nasihat teman temanku yang sudah berpengalaman di bidang perhamilan. Mulai dari mengatur posisi, durasi, dan situasi saat bercinta dengan suami. Tak lupa pula vitamin E dan asam folat yang katanya penting untuk mempersiapkan kehamilan, rutin kukonsumsi. Menerima saran dan kritik yang membangun demi hadirnya sang buah hati. Termasuk tawaran dan saran mengonsumsi herbal herbal, pijat kesuburan, dsb. Tapi kata suami, cara terakhir itu belum perlu, kita tunggu sampai setahun dulu. Sabar... 

Alhamdulillah, gak perlu sampai setahun, penantian datangnya dua garis merah di test pack berakhir di bulan ke delapan usia pernikahan kami. Suami menyatakan telah berhasil menghamiliku di bulan Juni. Hari pertama datang bulan terakhirku di tanggal 19 Juni. Setelahnya, tamu bulanan gak berani datang lagi. 

Setelah menikah hingga aku terbukti hamil, kami masih tinggal berjauhan, makanya aku menjalani kehamilan ini jarang bersama suami. Dulu, ketika masih single, aku ngekos di rumah orang tua dari salah satu teman sekantorku, Mbak Dahlia. Aku tidur sekamar berdua dengan teman kerjaku yang lain, Titin. Dua teman lainnya, Iped dan Intan, mereka sekamar. Kami berlima dan pemilik kos, Pak Edi yang notabene adalah ayahnya Mbak Dahlia, hidup dalam satu atap rumah, dan bekerja dalam satu atap instansi. 

Setelah menikah, suami memintaku pindah kos demi menjaga privasi saat mengunjungiku. Gak mungkin kan suamiku ikut tidur bertiga bareng aku sama Titin? Gak mungkin juga aku harus ngusir Titin dulu biar aku bisa tidur berdua dan bernananina dengan suami. Meskipun di sana udah nyaman dan seperti keluarga, aku harus pindah kos. 

Sebelum tau aku hamil, waktu itu aku lagi packing barang barang untuk dibawa pindah kos. Angkat junjung kardus kardus yang berhasil kukemas. Naik turun tangga. Bolak balik dari kos lama menuju kos yang baru dengan bocengan naik motornya Titin.  Nantinya aku akan sekosan lagi sama Iped di kos yang baru. Titin memilih ngekos di tempat berbeda yang letaknya lebih jauh. 

Nganjuk, kota tempatku bekerja, saat itu belum familer adanya ojek online. Jadi,  aku berangkat dan pulang kerja dari kos baru ke kantor naik sepeda onthel dengan perjalanan sekitar 10-15 menit. Kadang aku menggendong tas ransel yang lumayan berat. Sedang Nganjuk terkenal sebagai Kota Angin, yang kalau ngayuh sepeda jadi terasa berat karena ketiup angin. Semua itu aku jalani dengan biasa saja, normal, selama beberapa hari ke depan. Hingga aku merasa ada yang janggal dengan jadwal datang bulanku. Sepertinya ia datang terlambat. Ah, paling juga PHP, pikirku. Jadi aku gak terlalu berharap absennya tamu bulanan akan digantikan oleh kehamilan. Seperti yang sudah sudah, tamu bulanan tak kunjung datang, aku dan suami begitu berharap itu pertanda hamil, tapi ternyata si tamu bulanan tetap datang, cuma terlambat. 

Ketika aku berada di rumah, kembali ke pelukan suami setelah sekian lama di perantauan,  kami berdua membeli test pack untuk meyakinkan apakah kondisiku berbadan dua atau berbadan gendut. Eh! Soalnya aku merasa jadi mudah lelah dan sering ngantuk, kupikir karena aku menggendut jadi tak segesit dulu. Bawaannya mager. 

Pagi harinya, urine pertamaku di tanggal 29 Juni kujadikan sampel untuk memunculkan garis pada test pack, apakah satu atau dua garis. Dan ternyataa... Seketika bulir bening menggelinding di pipi, aku menghampiri suami yang baru saja pulang dari sholat subuh di mushola. Melihatku menangis, suami merangkulku, menarik tubuhku ke dalam pelukannya, berusaha menenangkanku. "Gak apa apa, kita coba lagi..."

Dalam pelukannya aku berbisik "Positif...", sambil menunjukkan garis dua pada test pack. Suamiku makin erat memelukku, menciumi wajahku, hingga ke perutku yang membuatku tertawa karena geli terkena kumisnya. Kemudian dia bersujud syukur. Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah. Engkau kabulkan doa kami selama ini. Engkau hadirkan buah pernikahan kami di waktu yang tepat, di saat kami sudah memiliki rasa satu sama lain, di saat kami sudah saling mencintai. 

Sejak suamiku bergelar calon ayah, sikapnya jadi berbeda dan berubah, dia jadi lebih perhatian, lebih cerewet, dan posesif. Mungkin karena dia khawatir dan takut terjadi hal hal yang membahayakan diriku dan calon anak kami. Suami melarangku naik sepeda onthel lagi meskipun jarak dekat, selain melarang dirinya sendiri untuk menaikiku meskipun di malam Jumat. Wkwkwk. Takut, katanya. Dia juga melarangku motoran jarak jauh sendirian. Iped, yang tiap hari boncengin aku, disuruh suamiku supaya pelan pelan bawa motornya. Suamiku juga mem-black list bus langgananku buat berangkat dan pulang dari rumah ke tempat kerja ketika dulu aku belum hamil. Dia menyuruhku ganti langganan bus eksekutif yang lebih nyaman, atau naik kreta. Dan di setiap aktivitasku, aku harus laporan sesegera mungkin, aku dimana dengan siapa lagi berbuat apa. Berangkat harus pamit. Sampai kantor harus lapor. Pulang kerja harus tepat waktu, gak perlu main dulu. Kalo enggak, suami akan menelponku berkali kali, memastikan aku sudah di kosan dengan selamat sehat sentosa serta mulia. Kadang kalo aku susah dihubungi, suamiku bisa marah marah dan merasa tidak dihargai. Entah kenapa suamiku jadi lebih sensitif dan posesif begitu. Apa jangan jangan ini adalah sensasi hamil yang tertukar? Aku yang hamil, suami yang aneh. 

Bahkan suamiku mendadak berperan jadi ahli gizi dalam urusan makananku. Aku dilarang makan makanan yang menurutnya akan berpengaruh buruk pada diriku dan si jabang bayi. Dilarang makan mie instant, duren, pentol atau cilok, nasgor pedes, dan makanan tidak sehat lainnya. Padahal mie instant adalah makanan kebangsaan anak kos. Selain itu juga dilarang minum minuman bersoda seperti Sprite, meskipun cuma sak-iprit. Padahal itu minuman wajib bagi dia kalo lagi perjalanan ke Nganjuk buat jenguk aku. Dan parahnya lagi, aku dilarang minum Nyoklat. Padahal itu kan minuman langganan teman teman sekantor. Selain untuk me-relaks-kan otak, juga memanjakan lidah. Nyess. Enaaakk. 

Meskipun menjalani kehamilan tanpa disanding suami tiap hari, aku gak merasa sendiri. Suamiku bisa datang menjenguk satu atau dua minggu sekali. Lagipula, selain aku, tiga orang teman sekantor juga hamil : Mbah Dahlia, Mbak Devi dan Mbak Lisa. Dan canggihnya, kami berempat pelaku LDM yang kehamilannya selisih sekitar dua bulanan. Keren kan? Selain para bumil, ada dua cewek singelillah yang ku doakan segera menikah, yaitu Titin dan Iped. Mereka berdua lah yang membantu para bumil menghandle kerjaan yang gak bisa kami kerjakan. Contohnya, manjat kursi buat ngambil buku yang letaknya tinggi, atau sekedar buat nyalakan kipas angin yang talinya tak tergapai, menjadi delegasi membawa misi pergi ke sana kemari karena memiliki mobilitas paling tinggi, angkat junjung barang berat saat beberes kantor, merangkap sebagai driver ojoff (ojek offline), hingga mengganti genteng kantor yang bocor. Tapi yang terakhir itu bohong. Wkwkwk. Mereka berdua lah yang paling exited menjadi pendengar setia para bumil yang lagi berbagi kisah, mulai dari kisah tentang gimana rasanya pertama kali 'gas', hingga terciptalah adek bayi di perut ini. Mereka berdua juga lah yang paling sering ber-astaga, dan paling keras ber-hahaha saat mendengar cerita cerita kami. 

Tak ketinggalan ada satu teman lagi yang juga singlelillah dan cuma dia satu satunya lelaki di kantor. Namanya Mas Wahyu. Dialah sang hero kami para bumil. Dia yang dimintai metik mangga muda yang tumbuh di halaman kantor. Dia yang dijastip (jasa titip) makanan atau minuman pesenan para bumil. Kadang dia juga bisa menjelma jadi driver ojol dadakan tanpa perlu aplikasi, cukup dengan diteriaki "Mas Wahyuuu, tolong anterin ke sana doong!" Pokoknya dia bagaikan 'suami ke dua' yang siap siaga. Hehehe. 

Aku bersyukur atas rejeki berupa dikelilingi teman teman baik hati yang senantiasa mendukung sepenuh jiwa raga,  turut menjaga, dan menasihati di kala kekhilafan melanda. Alhamdulillah sekali dipertemukan dengan mereka yang ibarat keluarga kedua. 

Kehamilan masing masing dari kami berempat memiliki rasa dan kisah yang berbeda beda. Mbak Dahlia yang terlihat begitu menikmati masa kehamilannya, mungkin karena sudah berpengalaman hamil, kali ini hamil anak ke dua. Mbak Devi dengan kehamilan pertamanya sampai lemah tak berdaya hingga mengharuskan dia bedrest. Mbak Lisa di kehamilan yang ke dua juga, terlihat strong, beraktivitas dan bekerja dengan normal layaknya wanita yang tak berbadan dua. Aku alhamdulillah termasuk yang dimudahkan oleh Allah dalam menjalani kehamilan yang pertama ini. 

Mual muntah di trimester awal itu biasa. Sensitif terhadap bebauan tertentu, aku masih bisa menahannya. Pagi sering merasa ngantuk dan lemas. Males mandi, males sisiran, males dandan. Rajin nyuci, masak, dan nyetrika. Pun rajin minta jatah uang belanja. Hahaha. Kebiasaan kebiasaan bumil semacam itu banyak dijadikan tebak tebakan jenis kelamin si bayi. Ada yang bilang, bayinya laki laki, sebagian bilang ini perempuan. Buat seru seruan aja. Apapun jenis kelamin bayinya nanti, tetap menjadi kuasa Illahi. 

Kian lama perut makin membuncit, bergerak pun makin sulit dan gak gesit. Mencari cari posisi tidur yang nyaman, miring kiri, kanan, nungging, bahkan telentang. Pas buang air besar tau tau tang-nya ikut keluar. Wkwkwk. Niat mau ngubah posisi tidur sedikit aja, kaki tiba tiba kram. Butuh bantal guling lebih banyak, juga butuh guling yang kalo dipeluk bisa bersuara. Ini kata lain dari merindukan suami.

Merasa kegerahan padahal lagi dingin musim penghujan. HIV alias hasrat ingin vivis sering menyerang tak kenal waktu. Pagi, siang, sore, malam, tengah malam sebelum dan setelah suami nengokin adek bayi yang masih di dalam perut. Udah gitu, susahnya pakai closet jongkok karena perut udah mentok. Pinggang rasanya mau copot berasa terserang encok. Seandainya bisa dibongkar pasang, rasanya pingin ku copot sebentar ini pinggang. Pernah kutempeli koyo, ketahuan sama suami, aku dimarahi. Akhirnya, mau tak mau suami harus merelakan diri menjadi tukang pijat pribadi.  

Dari awal hamil sampai menjelang lahiran, aku merasa gak ada makanan tertentu yang sangat sangat sangat aku inginkan, yang orang bilang itu ngidam. Semua makanan bisa ku terima, kecuali tahu. Entah kenapa kalo makanan ada tahunya, aku jadi muntah. Dulunya aku suka banget sama aroma telor goreng, giliran waktu hamil, aroma itu bikin aku mual. Untuk mengatasi rasa mual, tiap malam aku sering keluar kos sekedar buat beli wedang jahe. Waktu itu suamiku juga sempet melarang aku minum wedang jahe, takut bayinya kepanasan di dalam kandungan. Soalnya belum install AC. Pajaknya mahal. Wkwkwk. 

Selain gak ada makanan yang sangat aku inginkan, juga gak ada makanan yang aku blacklist, cukup bus Sumber Kencono (yang sekarang bergani nama Sugeng Rahayu) saja yang diblacklist oleh suamiku. Mie instant, boleh lah sesekali, tak lupa ditambah telor dan sayur, biar tetap sehat. Duren, ayo aja. Kubatasi untuk diriku sendiri maksimal tiga biji. Segala jenis ikan, baik ikan laut, ikan air tawar, asal bukan ikan air got. Baik ikan yang bersisik maupun yang gak bersisik, kecuali Ikan Fawzi. Wkwkwk. Terong, aku pun masih doyan, meskipun kata Mbak Lisa, bumil yang sering makan terong bisa menyebabkan penis (kalo si jabang bayi laki laki) anaknya jadi lemes, susah ereksi. Tapi aku gak percaya. Terong balado, siapa takut? 

Hamil di perantauan, akses menuju pelayanan kesehatan sedikit menyulitkan, menjadi alasan aku gak pernah ikut kelas ibu hamil yang diadakan tiap bulan. Aku cuma ikut senam hamil, bermodalkan hape dan video dari youtube. Selain menghinstal beberapa aplikasi kehamilan, aku juga menginstal aplikasi lagu lagu yang katanya bisa merangsang pendengaran bayi meskipun masih di dalam kandungan. Kalo di kosan kuputarkan lagu lagu semacam lulaby, instrumental, atau murrotal. Kalo di kantor dangdutan. Dangdut is the music of my country, you know kan? 

Selain mendengarkan musik, aku juga sering mengajak ngobrol calon anakku, meskipun kalo dilihat orang aku seperti dalang edan. Ngomong sendiri, tanya sendiri, pun dijawab sendiri. Aku juga suka nyium bebauan tertentu, seperti aroma bunga melati yang tumbuh di samping kosan. Aroma tanah yang diterpa hujan pertama kali. Aroma masakan buk kos yang dalam hati aku berhusnudzon akan kebagian masakan itu. Dan yang paling aku suka adalah aroma tubuh bapak dari calon anak ini. Meskipun si bapak baru bangun tidur, belum mandi, masih ileran, dan sedikit brewokan, tetap berasa harum di hidungku dan tetap terlihat ganteng di mataku. Hehehe. 

Selain lebih bebas berekspresi, hamil di perantauan yang jauh dari para tetua ada untungnya juga. Untungnya adalah gak banyak terpapar mitos mitos tanpa dasar yang sering menyesatkan para new bumil seperti aku ini. Meskipun jauh dari orang tua dan saudara, kos baruku dekat dengan kosnya Mbak Devi. Kami biasanya berburu buah bersama. 

Pingin duku di musim duren, pingin mangga di musim manggis. Ini hlo, ada bumil bumil keren nan manis. Eh, kok malah jadi pantun. Maksudku, aku mau cerita kalo berburu buahnya bisa dijadwalkan. Misal, minggu ini beli buah duku. Minggu depan beli buah naga. Gak perlu beli mangga, soalnya ada Mas Wahyu yang siap siaga metikin mangganya. Minggu depannya lagi beli semangka. Minggu berikutnya gak beli buah apa apa. Soalnya sudah tanggal tua, buah yang tersisa hanyalah buah dada. Wkwkwk. 

Menjalani kehamilan di lingkungan para bumil memang menyenangkan. Tak terasa waktu kehamilan berlalu hampir sembilan bulan. Sampailah jadwal cuti datang silih berganti di antara kami berempat. Tiga bulan jatah cuti yang disediakan, kami manfaatkan sebaik baiknya. Giliran cuti pertama jatuh pada Mbak Dahlia, berikutnya Mbak Devi, lalu aku, disusul kemudian Mbak Lisa. 

Selain dari sensasi kehamilan yang berbeda beda, proses kelahiran anak kami berempat pun memiliki kisah istimewa yang juga berbeda. Kami saling berkabar tentang kelahiran anak kami. Mbak Dahlia lahiran di Bulan November, Mbak Devi di Bulan Januari, aku di Bulan Maret, dan Mbak Lisa di Bulan Mei. Satu hal lagi yang bikin aku amazed, dari keempat bumil, semuanya melahirkan anak perempuan. MasyaAllah... 

Setelah masa cuti habis, saatnya balik ke dunia nyata. Kenyataan bahwa kami adalah wanita pekerja. Kegalauan sempat melanda. Memiliki baby dan membawanya ke tempat kerja memang tak mudah untuk seorang ibu pekerja. Mau tak mau aku harus memilih satu di antara dua pilihan. Pilihan yang menurutku paling sedikit mudharatnya. Setidaknya pilihan yang suamiku ridha terhadapnya dan membuatku merasa lebih damai dan bahagia menjalaninya. Ya. Aku memutuskan untuk menjadi stay at home mom, setelah bayiku umur sekitar 7 bulan. Menyusul keputusan temanku, Intan, yang lebih dahulu resign setelah melahirkan anak pertamanya. Teman yang dulu aku sempat menyaksikkan betapa hebat perjuangannya saat hamil. Miss you, Intan.

Terlepas dari keputusanku itu, aku selalu ingat kalimat ini. Entah siapa yang pertama kali menulisnya, aku tak tahu. Kalimat yang selalu memotivasi diriku dengan segala keputusan yang aku ambil untuk diriku dan keluargaku. 

Ibu yang baik bukanlah ibu yang melahirkan normal, bukan pula yang melahirkan secara cesar.
Ibu yang baik bukanlah ibu yang full ASI, bukan pula ibu yang campur ASI dan susu formula.
Ibu yang baik bukanlah yang jaga anak pakai pengasuh, bukan pula yang memilih mengasuh sendiri.
Ibu yang baik bukanlah ibu yang memakai popok sekali pakai, bukan pula yang memutuskan mau pakai popok kain untuk bayinya.
Ibu yang baik bukanlah ibu yang kerja kantoran, bukan pula yang kerja di rumah dan dekat dengan anak, bukan pula ibu rumah tangga yang tidak bekerja maupun berbisnis.
Ibu yang baik adalah ibu yang bahagia, menerima dirinya apa adanya, menjadi versi yang terbaik bagi dirinya sendiri, dan mengasuh anak anaknya dengan bahagia, tanpa penghakiman dan ego bahwa dia ibu yang benar dan bijak dalam mengasuh keluarga.

Dan... 

Tidak ada satupun cara yang sempurna untuk menjadi ibu yang baik. Setiap situasi itu unik. Setiap ibu melewati tantangan yang berbeda, mempunyai kemampuan dan keahlian yang berbeda, dan tentunya memiliki anak yang berbeda. Keputusan akan berbeda dan unik untuk setiap ibu dan setiap keluarga.
👩‍👧

So, buat para momomil (mommy momny hamil) dan momongers (emak emak momong anak), nikmatilah masa kehamilan dan pengasuhan anak Emak dengan ikhlas, sabar, dan bahagia. Apapun yang kita jalani, pasti tak lepas dari komentar orang. Just keep going on, Mak! Tetap bangga menjadi diri sendiri and be happy 😊

Presented by me

Sponsored by Akademi Komunitas Negeri Nganjuk

Dedicated for:

- My beloved ipel ipel and uyelable husband, Pak Aulia Arief Rahman. Terimakasih telah banyak berkontribusi atas kehamilan ini. Wkwkwk. Love you to the moon and back! 

- Para emak kece : Mbak Dahlia, Mbak Devi, and Mbak Lisa. Selamat dan semangat menjalani peran masing masing dengan bangga dan bahagia. Ada yang berencana nambah momongan dalam waktu dekat ini? Hehehe. 

- The duo singlelillah : Titin and Iped. Semoga lekas bertemu dia yang namanya tertulis oleh-Nya di Lauh Mahfuz. So, dekati Dia dulu sebelum mendekati dia.

- The most handsome man in the office : Mas Wahyu. Idem sama yang di atasnya aja deh. Capek aku ngetiknya. Wkwkwk. 

Well, kuharap ceritaku tadi bisa menghibur, memotivasi, bahkan menginspirasi, atau seenggaknya mengotori beranda facebook kalian, buat kenang kenangan. Hahaha. 

That's all. Sekian dan terima gaji. 

separador

0 comments:

Post a Comment

Followers