Friday, August 13, 2021

Mama, minta uang!

~ Mama, minta uang! 

Kemarin siang, saat anak lanang terbangun dari tidurnya lalu kugendong dengan jarik, nemplok di pangkuan sambil nenen, merem. Tiba tiba sesosok mungil datang menghampiriku. Ternyata Jasmine, anak wedokku yang paling kintung kintung yang kini berusia hampir tiga setengah tahun. 

Disusul oleh saudara sepupu sekaligus sepersusuan yang juga seumuran Jasmine. Nama aslinya Azka, namun memiliki banyak julukan : Kadut, Kaduot, Galengsong, Mbah Rorot, Andrung, Gendrang, Sapi Mandrowng, Anang Anang Umplung, dan juga Cilor Mak Trong. Besok besok entah apa lagi julukan selanjutnya. Julukan julukan itu tercipta karena palafalan kata kata yang masih belum jelas oleh dirinya sendiri. Andrung, itu maksudnya dia bilang 'anggur'. Gendrang maksudnya adalah 'gendar', Sapi Mandrowng adalah 'sapi brenggolo', kalau Anang Anang Umplung itu bukan bermaksud mengejek Mas Anang, melainkan lafal dari 'mangan ra mangan ngumpul.' Kalau Cilor Mak Trong itu adalah 'cilor maklor.'

Kalau aku lebih sering memanggilnya dengan sebutan Kadut, singkatan dari Azka Gendut. Seorang saudara yang dulu sering bantuin momong yang ngasih julukan itu. Soalnya dulu waktu masih bayi, dia gendut dan menggemaskan. Yang jelas, semua julukan itu lucu, bagi yang mendengar dan memangilnya dengan nama itu. [Sebenarnya ini nggak baik,  memanggil nama orang dengan sebutan yang orang itu tidak suka. Jangan ditiru ya]. Karena si anak dan emaknya merasa fine fine aja dipanggil dengan nama nama itu, yaudah teruskanlah. Wkwkwk. 

Kadut membawa selembar uang abu abu bernilai dua ribu. Aku tahu, dia pasti minta diantar jajan oleh Jasmine ke warung Ibuk Alif. Ibuk Alif, dia menyebutnya demikian, bukan karena si pemilik warung bernama Alif, melainkan pemilik warung adalah ibu dari anak bernama Alif. 

Kadut nggak berani ke sana sendiri. "Edi, edi edus!" [Takut wedus], alasannya. Sampai sekarang bicaranya memang belum begitu lancar, tapi justru di situlah letak humorisnya bagi para pendengar. Sepanjang jalan ke warung Ibuk Alif padahal nggak ada wedusnya. Lagian jarak dari rumahnya ke warung juga sangat dekat. Nggak nyampai dua menit jalan kaki. Wong cuma di belakang jarak empat rumah. 

Kadut takut melewati jalan itu karena pernah suatu hari, dia ke sana sendiri, terdengar suara mengembik persis suara kambing. Sebenarnya itu hanya suara orang yang pura pura jadi kambing. [Yah, begitulah akibat anak sering ditakut takuti, tumbuh menjadi anak penakut. Jangan ditiru dan jangan diteruskan ya].

Nah, berkat ajakan Kadut, Jasmine terdorong untuk juga memiliki uang di tangan. Lalu, dia mencari cara buat dapatkan uang dengan instant. Dengan cara ngepet, tentunya. Eh, bukan, dengan cara malak emaknya. 

"Mama, minta uang!" Suaranya yang khas terdengar mengusik kupingku dan kuping adeknya yang sedang kupangku. Cempreng, kecil, dan melengking, itulah suara anak gadisku. 

"Mau buat apa?" tanyaku. 

"Buat jajan," selalu itu yang menjadi tujuannya minta uang. Mbok ya sekali kali itu minta uang buat modal dagang gitu hlo. Kalau berhasil kan uangnya bisa jadi banyak. 

"Jasmine tadi pagi sudah jajan, kan?" Sebelum mengucurkan dana buat jajan, berusaha nego dulu. Ini adalah salah satu keahlian yang harus dimiliki seorang emak yang sekaligus menjabat sebagai bendahara keluarga. 

"Aaa, jajan lagi!" Nggak mau kalah dia rupanya.

"Mau jajan apa lagi?" Aku mulai curigesion bak detektif contan.

"Ngg... Jajan bisfit." Bisfit itu bukan merk jajanan baru ya buibu, itu cuma lidah anakku aja yang belum lancar bilang bis-ku-wit dengan cepat. Kalau bilangnya perlahan dia bisa. 

"Biskuit? Hmm... Coba diingat lagi, tadi pagi Jasmine sudah jajan apa aja? Tadi pagi udah jajan biskuit yang ada coklatnya, kan? Dua malah."

"Minta uang!!" Eh, malah ngotot dia. 

"Jajannya besok lagi."

Tidak terima dengan jawaban emaknya, Jasmine mulai menggeledah rak kecil di meja dapur. Di situ memang terkadang terselip uang kembalian. Ra kotang, eh, ra ketang seribu dua ribu, uang lembaran maupun koin alias kricikan. Dia mendapatkan beberapa uang koin. Kutaksir sejumlah tiga ribu limaratus rupiah. Tepat. Soalnya memang aku yang naruh uang itu di situ. Wkwkwk. 

Secepat kilat menyambar, uang koin dari genggaman Jasmine berpindah ke tanganku. Otomatis dia merengek berusaha mengambil kembali uang itu. Eits, nggak berhasil, karena kuletakkan di tempat yang lebih tinggi dari rak tadi. Ketinggiannnya di luar jangkauan Jasmine. 

Cerdik juga anak ini. Dia manjat kursi buat naik ke meja demi bisa meraih uang yang kutaruh di tempat lebih tinggi tadi. Sebelum tangan mungilnya berhasil meraih uang itu, tanganku menyambar terlebih dahulu. Jasmine terduduk di meja. 

Jasmine mulai meradang, amarah tak terbendung dia luapkan dengan cara menangis, berteriak, bahkan melempar beberapa benda yang berada di meja ke arahku.

"Minta uaaanngg!! Whaaaaaaa!!" Teriak Jasmine hingga terlihat gigi giginya beserta anak lidahnya. Si adek jadi terbangun lagi, melepaskan hisapannya dari dadaku, tapi tetap duduk diam di pangkuan. Kadut sampai menangkupkan keduabelah tangannya ke masing masing kupingnya. Teriakan melengking Jasmine membuat kuping pengang rasanya. 

"Jasmine, pelankan suaramu. Itu mengganggu." Aku mencoba mengerem amarahnya. 

"Whaaaa!! Tak balang, pie?" Tangannya meraih tudung saji kecil berwarna pink. Dilemparkan ke arahku. Lemparannya tidak mantap. Ada keraguan. I see. Sebenarnya dalam dirinya ada rasa takut kalau sampai menyakiti emaknya yang cantik ini, di sisi lain dia kesal karena keinginannya tidak bisa terpenuhi.

"Jasmine mau menyakiti mama?" 

"Whaaaa!!" Kuanggap itu sebagai jawaban 'tidak' yang tak terucapkan karena gengsi.

"Jasmine, enggak teriak. Jasmine mau ke surga kan? Di surga nggak ada orang yang teriak teriak. Semua orang gembira. Di surga, mau minta apa aja boleh, nggak ada batasnya. Banyak banyak boleh. Ini kita masih di dunia, ada batasnya, Jasmine. Kendalikan dirimu. Nggak semua hal yang Jasmine minta bisa didapatkan sekarang juga. Nggak semua yang Jasmine inginkan bisa langsung terlaksana." Khotbahku di Hari Kamis pada anakku yang sedang dilanda amarah. [Sebaiknya kalau mau ngotbahi anak, lebih efektif saat suasana hatinya sedang hepi sih. Tapi ya gimana lagi, udah kek spontan gitu, nyrocos aja bawaannya. Ini juga karena sifat alamiah perempuan yang bisa ngeluarin setidaknya sebanyak duapuluh ribu kata per hari. Dah kayak novel di KBM aja nih. Wkwkwk].

Jasmine bergeming. Mungkin sambil mencerna kata kataku. Sejak dulu, aku memang sering menceritakan tentang surga ke Jasmine. Tertanam dalam pikirannya bahwa di surga itu Jasmine boleh minta apa aja sebanyak apapun. Tentu Jasmine sangat tertarik untuk ke 'tempat' semacam itu. Tapi dengan catatan : melakukan perbuatan baik biar dibolehkan Allah ke surga-Nya. 

Perbuatan baik dan buruk akan dicatat oleh malaikat. Perbuatan baik dicatat oleh malaikat Roqib sedangkan perbuatan buruk dicatat oleh Malaikat Atit. Lalu dilaporkan kepada Allah di Hari Senin dan Kamis. Begitulah aku memberi tambahan penjelasan tentang surga pada balitaku. Sambil sedikit kubumbui dengan acting mencoret coretkan jari telunjuk tangan kanan ke telapak tangan kiri seolah menulis. Seraya bilang 'Jasmine perbuatan buruk : melempar barang barang, teriak teriak, menyakiti mamanya.' Atau di lain kesempatan 'Jasmine perbuatan baik : mau minjemi Kadut sepeda.' Begitu terus, berulang ulang, setiap ada kesempatan.  

"Dut, Kadut pulang aja dulu. Jasmine lagi marah." Anak itu menuruti permintaanku, mungkin batinnya juga anyel karena gagal jajan di warung Ibuk Alif. [Sorry hlo, Dut. Jadilah anak pemberani yang bisa jalan ke sana sendiri].

Melihat kawannya pulang, tangis dan teriakannya mereda. Tapi kakinya mulai menendang nendang dengan kasar kursi yang tadi dia pakai untuk manjat ke meja. 

GLODHAK! Kursi itu terjungkal. Anak lanangku menyaksikkan tapi tetap diam, mungkin karena kantuknya masih belum hilang. Kepalanya kembali menyandar di dadaku. 

"Mama, turun!" Seraya Jasmine merentangkan kedua tangan pertanda ingin diturunkan dari tempatnya berada. 

"Enggak. Salah sendiri nendang nendang kursi. Jadi nggak bisa turun, kan?"

"Mama, gendong!!" Tangisnya kembali ke mode on, diikuti teriakan teriakan berikutnya.

"Sabar. Tunggu papa pulang dari masjid." 

"Whaaa!! Turun, turun, turuuunn!!" Teriakannya makin keras, badannya mulai terlihat resah, menggeliat kesana kemari hingga tak sengaja menyenggol segelas teh hangat. Untung gelasnya nggak pecah.

"Astaghfirullah, Jasmine! Coba lihat akibat perbuatanmu! Ini teh hangat yang tadi kamu minta, udah mama buatkan. Mama cariin kamu tapi nggak ada. Datang datang minta uang. Marah marah." Suaraku mulai meninggi akibat melihat lantai yang becek dan kotor. Karena belum keramik, kalau lantai dapur kena air, jadinya becek dan ngepelnya susah. Mana tumpahannya mbleber mbleber lagi. Ck! 

"Mama, gendong, gendong, gendooong!" Aku paham betul kebiasaan Jasmine, saat suasana hatinya sedang tidak baik baik saja, dia pasti merengek minta gendong. Meskipun sudah umur tiga tahun, dia masih suka minta gendong barang cuma sebentar. Dalam gendonganlah Jasmine merasa nyaman, perlahan bisa menata perasaannya kembali. Kalau sudah puas digendong, dia akan minta turun dengan sendirinya. 

"Mama lagi nggak bisa nggendong" Lagian aku memang nggak bisa menggendong dua bocah sekaligus. "Tetap di situ dulu. Tunggu papa pulang."

"Turun, turun, turuun!" Jasmine tetap merengek. Hingga akhirnya mendapati bapaknya sudah pulang dari masjid. 

Kusambut dengan "Jangan diturunkan dulu, Pa!" dan dibalas dengan ekspresi 'ada apa ini?'

"Minta maaf!" Masih duduk di meja,  Jasmine mengulurkan tangan kanannya pertanda mengajak damai. Suaranya terdengar masih ketus. Begitulah anakku. Setelah tadi maksa minta uang tapi gagal, sekarang maksa minta dimaafkan. Kau yang mulai, kau yang mengakhiri. Wkwkwk.  

Bapaknya mendekatkan badan ke meja,  berniat menurunkan anak gadisnya. Hup! Tubuh mungil Jasmine berpindah nemplok ke dada bapaknya. Digendong depan. Bapaknya tetap tidak menanggapi dengan kata kata. Hanya sedikit gerakan ke kanan ke kiri seperti menimang nimang. 

"Kesalahan Jasmine apa kok minta maaf?" Tetap dong dengan introgasi dulu. Harus digenahkan, biar Jasmine tahu kenapa perlu minta maaf. 

"Nggg... Jasmine numpahin teh hangat. Tapi Jasmine nggak sengajaa..." Masih terdengar sedikit isakan tangisnya. 

"Coba lihat ini Pa, akibat Jasmine marah marah." Aku mengadu. "Bukan karena itu kesalahannya" Langsung nge-switch ngomong ke Jasmine. 

"Nggg..." biar mikir dia. "Jasmine, ngg... Lempar itu ke mama," sambil nunjuk tudung saji pink tergeletak di lantai.

"Apa lagi?"

"Jasmine teriak teriak."

"Apa lagi?" Main tebak tebakan biar nggak marah marah terus.

"Jasmine... Jasmine nggak tau!" Nyerah dia. Hahaha. 

"Jasmine... Maksa maksa... Minta uang" Aku memberitahu dengan perlahan alasan utama semua kekacauan ini, yang mengharuskan dia minta maaf. 

"Coba kalau tadi Jasmine nggak maksa maksa minta uang. Coba kalau tadi Jasmine kendalikan keinginan jajannya. Nggak marah marah."

Diam sejenak. 

"Jasmine minta maaf ya, Maa..." Entah kenapa tiba tiba hatiku iba, merasa terharu. Ya Allah, anak gadisku.

Tak menunggu waktu lama, masih dalam gendongan bapaknya, kusambut uluran tangan mungilnya. Kuciumi ubun ubunnya. "Lain kali jangan diulangi ya. Mama juga minta maaf, nggak bisa langsung kasih uang ke Jasmine, mama minta maaf jadi ikutan marah tadi..."

"Ya..." Nada suaranya merendah.

"Yaudah, mandi dulu sana, biar seger" [Maksudnya, secara nggak langsung itu nyuruh bapaknya buat mandikan Jasmine].

Sekian.
Saya, emak Jasmine yang lagi hobi jajan.
Eh, nyusun kalimatnya gimana sih? Biar maksudnya tuh si Jasmine yang hobi jajan, bukan emaknya. Emaknya mah hobi makan. Wkwkwk.
separador

0 comments:

Post a Comment

Followers