Tuesday, November 30, 2021

Kaum Miskin yang Pemalas

Berawal dari komenku pada postingan di grup KBM berjudul "Kaum Miskin yang Pemalas" karya mbak Khadijah Az, aku mencoba menuliskan lebih detail komenku tersebut. Orang miskin identik dengan label pemalas. Sering dicemooh, kurang kerja keras sih, makanya miskin, begitulah paradigmanya. 

Tulisan ini bukanlah cerpen, tapi hanyalah obrolan dari sepasang kekasih halal yang menanti pembeli datang kala hujan seharian. Cieee. 

Ini kisah nyata. Boleh dishare kalo memang dirasa ada manfaatnya.

***

Sedari pagi memang sudah hujan dan jam setengah sepuluh warung sudah buka. Hingga jam dua siang, satu pembeli pun belum ada yang datang. Kenapa hujan terus sih, jadinya warung sepi begini kan! Mau mengeluh dan menyalahkan hujan? Tidak. 

Ternyata hujan terus mengguyur hingga petang. Biasanya kalo Hari Sabtu di jam istrirahat siang (kondisi tidak hujan), sudah banyak pelanggan berdatangan. Tapi hari ini tidak demikian. Ngabisin gas buat manasin dandang doang. Hampir menyerah dan ingin tutup warung aja. Lagipula, suami juga lagi kurang enak badan. "Pengen segera istirahat," begitu katanya. 

"Tunggu dulu, Pa, siapa tahu nanti Maghrib rame." Aku masih optimis. 

Mumpung gak ada pembeli yang biasanya silih berganti, kami jadi bisa bercengkerama dengan leluasa. Warung rame, kami senang. Warung sepi, kami tetap bisa bersenang senang. Dan di saat seperti inilah quality time kami dengan keluarga. Mengingat jam kerja kami terhitung setelah subuh hingga malam.

Ngobrol dengan pasangan memang menyenangkan. Adaaa aja bahan yang diperbincangkan hingga diperdebatkan. Sambil menyusui si kecil, aku bercerita tentang acara kuliner di TV yang kutonton sewaktu di Klaten minggu lalu. 

"Pas di Klaten kemaren mama nonton acara makan makan Pa. Warung makannya itu sehari bisa habis 3.000 porsi. Kapan ya Pa warung kita kayak gitu? Butuh berapa tahun membangun usaha bisa sampe segitu?" Kataku, mulai berandai andai. 

Dengan santainya suamiku bilang "Itu udah rejekinya, Ma. Mau usaha kayak apa juga, kalo memang rejekinya segini ya segini."

"Mas itu, bisnis belum ada 5 tahun, udah bisa beli mobil ya Pa. Kayaknya mau beli ruko juga."

"Tapi belum punya rumah sendiri, kan?"

"Ya kan itu target selanjutnya, Pa. Bisnis sukses. Beli kendaraan yang lebih nyaman. Beli rumah. Pergi umroh."

"Bukankah kita dulu juga punya target semacam itu, Ma? Papa masih kerja, punya penghasilan tetap. Bisnis kita lancar, punya karyawan. Beli mobil buat anter jemput keluarga dengan nyaman. Nabung buat haji. Nyekolahin anak anak di sekolah IT. Investasi beli tanah di perkampungan."

Seandainya... 

Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Mengingat kejadian tiga tahun lalu. 

Dulu, tiga tahun lalu, rejeki kami berupa uang itu berlimpah, dari beberapa sumber. Ibarat kalo satu sumber tutup, hati tenang karena masih ada cadangan dari sumber lain. Tanpa sadar, ketenangan dan kebahagiaan hati kami tergantung pada sumber penghasilan kami. Misalkan uang jatah bulan ini habis sebelum waktunya, ah, tenang, bentar lagi suami gajian. Mendadak butuh biaya, ah tenang, bisa jual burung Murai. Menyandarkan masa depan pada harta benda. Apakah ini yang disebut syirik atau takabur? Entahlah... 

Yang jelas, setelah itu, Allah ambil semua sumber penghasilan kami secara bersamaan. Mudah saja bagi Allah melakukannya, bukan? Ternak burung dan perhiasanku habis terjual buat tambahan biaya bangun rumah. Warung steak, bangkrut dan akhirnya tutup. Suami juga diberhentikan dari kerjaannya. Menyisakan satu saja, warung mie ayam bakso. Itupun tidak sesukses dulu, ibarat mulai usaha lagi dari nol. Nyesek banget rasanya. 

"la haula wala quwwata illa billaaahh!" Spontan aku teriak. Merasakan perih dan ngilu di bagian dadaku. Segera kupencet hidung bayiku agar melepas gigitannya. 

"Hamish, gak boleh gigit. No, no, no. Mama sakit." Kataku, sambil menggoyang goyangkan jari telunjuk di hadapan Hamish sebagai isyarat larangan. Ia hanya meringis, memperlihatkan gigi susunya yang baru tumbuh enam biji, kemudian kembali menyusu. 

"Allah kasih kita kondisi seperti ini, karena Allah tahu yang terbaik buat kita, Ma. Meskipun terkadang kita gak terima.  Mungkin saja, kalo kita kaya, serba kecukupan, kita lalai dengan ibadah kita. Fokus kerja, cari uang. Papa shalat jamaah di mushola jadi kelupaan. Shalat Jumat, khotbahnya sering ketinggalan." Lanjut suamiku. 

"Mungkin kalo kita kaya, papa pergi sama selingkuhannya, bawa aset rumah tangga. Menelantarkan mama sama anak anak." Candaku.

"Bisa jadi begitu." Suamiku membernarkan dan kami berdua tertawa hingga Hamish mendadak berhenti dari menyusunya. Lalu ikut berceloteh. 

Iya kan? Bukannya laki laki itu paling gak tahan diuji dengan harta, tahta, dan wanita?

Alhamdulillah, kami tinggal di lingkungan  keluarga yang paham tuntunan agama. Pengajian di majelis, rutinitas kami setiap Hari Kamis. Dengan begitu, setidaknya jika dihadapkan pada masalah yang dirasa begitu berat, kami tidak sampai kehilangan arah dan pegangan. Masih ada yang mengingatkan, masih ada iman. 

Kami jadi mengerti, bahwa kaya atau miskin itu ujian. Dilapangkan rejekinya bukan berarti Allah sayang, disempitkan rejekinya bukan berarti Allah gak sayang.

Dulu sewaktu usaha suami lancar jaya, bisa dengan mudah beliau ngasih motivasi ke teman temannya. Kalau pengen usaha lancar itu harus begini begitu, jangan pakai modal uang haram, ini itu, bla bla bla, jangan riba. Ibadah sunnah yang rajin, duha, tahajud, sedekah pagi, dsb, dst. Tapi ternyata itu salah. Meskipun tak sedikit orang yang mempraktikkannya demi kelancaran bisnisnya. 

"Kalo menjadi kaya ditentukan dari rajinnya ibadah, banyaknya sedekah, giat dan kerasnya dalam bekerja, berarti orang seperti kakung mestinya jadi orang kaya ya, Pa." 

Kakung (bapak mertuaku), banyak yang mengakui ibadah beliau rajin dan istiqomah. Rutin puasa Senin Kamis, sekarang puasa Daud, malah. Tahajud, Duha, gak pernah ketinggalan. Absen shalat 5 waktu ke mushola cuma kalo lagi bener bener gak bisa berdiri untuk jalan ke sana. Selalu baca Qur'an dan terjemahannya sehabis Subuh dan Maghrib. Sedekah, iyuran di pengajian majelis, ikut serta. Di sela sela aktivitas beliau, atau saat kumintai tolong pegang Hamish sebentar, beliau selalu berzikir, istighfar. Pun tak ketinggalan rajin kerja, bantuin ibu mertua bikin rambak, jualan bahan kebutuhan untuk warung anak anaknya. Tapi kenapa kakung tidak termasuk orang kaya? 

"Sayangnya bukan begitu konsep rejeki dari Allah, Ma. Kebanyakan orang itu menganggap rejeki adalah uang. Padahal, kesehatan juga termasuk rejeki, tak ternilai harganya malah. Coba, jadi orang kaya tapi sakit sakitan, gak bisa menikmati hidup kan jadinya."

Satu hal yang tak kupungkiri, rejeki yang Allah kasih ke kakung adalah sifat qona'ah, yang belum tentu orang lain bisa mendapatkannya. 

"Bagi sebagian orang, kerja, cari duit, gak melulu orientasi dunia, Pa. Tapi juga orientasi akhirat, buat ibadah, sedekah, naik haji, bahagiain ortu, kan juga butuh biaya." Aku melihat sisi lain alasan kenapa kita perlu rajin usaha untuk bisa kaya. Bermanfaat bagi sesama. 

"Memang kita gak menafikkan itu, Ma. Semua butuh duit, perlu biaya. Tapi kalo memang belum rejekinya, mau sekeras apapun berusaha, ya gak bakal dapet. Tapu kalo udah rejekinya, ibarat belum lahir aja udah kaya. Anak anak sultan.  Jangan jangan kita merasa kita bisa kaya karena jerih payah, karena kepandaian dan kehebatan kita. Jangan jangan, kita merasa udah kerja keras, ibadahnya rajin, sedekahnya rutin, tidak zalim, lantas kita berhak minta pada Allah untuk menjadikan kita kaya. Memangnya balasan dari sebuah ibadah itu adalah kekayaan?"

Hmm... Aku mulai berpikir lebih serius. 

Teorinya, usaha tidak akan menghianati hasil. Realitanya, ada orang yang udah hard work ditambah smart work tapi hasilnya tetap tak seberapa, tidak seperti yang diharapkan. Lantas mengeluh, marah, kecewa, bahkan sampai putus asa. Kok hasilnya cuma segini aja? Padahal mati matian udah berusaha. 

Manusiawi kalo kita sempat mengeluh. Terbesit rasa iri menyaksikkan hasil yang diperoleh orang lain bisa lebih, padahal cara bekerjanya sama. Rasa syukur terkikis hanya karena melihat warung orang lain lebih laris. Dan aku tidak menampik kehadiran perasaan semacam itu. 

Kita manusia biasa, bukan manusia yang terjaga dari dosa. Hanya saja, bagaimana kita menyikapi keluh kesah dan rasa iri itu. Apakah akan terus dipupuk dan dipelihara, ataukah akan dipupuskan dengan melebihkan rasa syukur kita. Dari sekian banyak ujian dari Allah, ternyata, kasih sayang-Nya jauh lebih banyak, kalo kita mau menyadari. 

"Katanya, kerja itu ibadah. Perkara balasan dari ibadah itu urusan Allah. Entah mau dibalas berupa pahala, berupa kekayaan, keberkahan, kesehatan, keharmonisan rumah tangga, dibebaskan dari hutang, dikasih anak anak sholih sholihah, terserah Allah. Kita jalani aja peran kita. Ibadah. Berharap Allah ridho." Suamiku melanjutkan penjelasannya setelah menangkap sinyal kebingungan dari raut wajahku. 

Beberapa ibadah memang ada yang perlu modal, perlu duit. Tapi Allah gak menilai sedekah dari kita sedikit atau banyak. Allah juga gak memaksa semua hamba-Nya kudu haji. Lah kalo memang kita cuma mampu sedekah dengan senyum manis tulus ikhlas, mau gimana? 

Sedekah banyak gapapa, yang penting ikhlas. Daripada sedikit tapi diungkit ungkit. Ya kan? 

Contoh ibadah korban. Perlu duit buat beli hewan korban. Effort nya akan lain, bagi si kaya dan si miskin. Sapi seharga puluhan juta, mudah aja bagi si kaya. Tapi penuh perjuangan bagi si miskin untuk sekedar beli kambing seharga 3 juta. Apakah Allah menilai banyak sedikitnya duit untuk beli hewan korban? 

Andai anak Nabi Ibrahim banyak, mungkin aja hatinya gak begitu berat untuk mengorbankan satu anaknya. "Dikorbankan satu gapapa Ya Allah, anakku masih banyak ini." Tapi ternyata lain, anak Nabi Ibrahim cuma satu, istimewa pula, dan itupun dapetinnya lama. Level perjuangan, keihklasan, dan kesabaran kita berbeda beda. Rejeki kita pun berbeda beda. 

"Motivator motivator itu bilang, katanya kalo mau sukses harus mau keluar dari zona nyaman, harus mau belajar, investasi leher ke atas, gitu gitu lah Pa." 

"Gampang aja, Ma, orang kalo ekonominya lagi di atas, bilang ini itu, bisnis mestinya begini begitu. Coba kalo ekonominya lagi di bawah, akan lain ceritanya. Tapi memang itu salah satu bentuk ikhtiar kita dalam menjemput rejeki. Kita kerja keras. Belajar sana sini. Keluar dari zona nyaman. Mungkin di luar sana banyak orang yang bahkan belum pernah merasakan zona nyaman. Tapi ternyata gak sukses sukses. Gak kaya kaya. Rejeki itu beda beda, Ma." Begitu penuturan suamiku. 

Sebagai pedagang mie ayam bakso, yang warungnya tak kunjung seramai dulu, kami pernah membeli resep dan belajar langsung dari pedagang yang udah sukses. Katanya kalo ingin sukses, belajarlah dari orang yang sudah sukses. Tiru kebiasaannya, copy cara dia berdagang. 

Setengah juta kami keluarkan untuk belajar. Tapi setelah resep itu diterapkan ternyata hasilnya sama aja. Begini begini aja. Akhirnya suami belajar sendiri, mengotak atik resep, berharap lebih banyak diterima pembeli. 

Terkadang kami juga membandingkan kualitas dagangan kami dengan dagangan pedagang lain. Dari sekian warung yang pernah kami coba, tak luput dari komentar kami, seperti.... "Mie ayam rasa kayak gitu kok bisa laris banget, sehari bisa habis 10 kg. Padahal jauh enak punya kita, tapi  punya kita gak pernah tembus habis 5 kg."

Bukan bermaksud merasa dagangan kami paling baik, tapi hanya ingin membandingkan. Apa yang membuat istimewa pada dagangan orang lain sehingga mendatangkan banyak pelanggan. 

Sering ada pelanggan cerita ke suami, sambil makan di warung, mereka bilang: 

[Bakso di warung A gak enak, tapi laris. Padahal enak di sini].

[Mie ayam di tempat si B padahal rasanya biasa, tapi pelanggannya banyak. Enak di sini menurutku].

Itulah, kadang kami heran. Orang yang husnudzon mikirnya, itu memang rejeki dari Allah. Kalo yang su'udzon mikirnya, ah palingan pake penglaris. 

Hanya Allah yang tahu. 

Dari situlah kami lebih memahami bahwa, rejeki benar benar dari Allah dan terserah Allah mau melapangkan atau menyempitkan untuk siapa. Bukan sepenuhnya karena kualitas produk yang dijual, bukan karena lokasi berdagang yang strategis, bukan pula karena kepiawaian si penjual dalam berdagang. 

Jadi, hati kami pun lebih tenang saat pembeli tak kunjung datang, meskipun kami udah kerja nyiapin dagangan dari subuh menjelang. Ada pembeli alhamdulillah, belum ada pembeli ya alhamdulillah. Memang lagi segini rejekinya. 

Kami bersyukur, memiliki warung di rumah sendiri, tak perlu bayar sewa, tak perlu repot bongkar pasang tenda juga. Pun tak perlu kemana mana demi menjajakkan dagangannya. Bahkan kami tak perlu susah payah berteriak agar pembeli datang. 

Tiba tiba terdengar teriakan dari luar, lewat pintu belakang. 

"Mamaaa, Jasmine minta uang!" Oh, ternyata sulungku yang baru pulang dari main. Terlihat rambutnya yang lepek dan basah terkena gerimis.

"Mama gak punya uang, Nak. Warung papa belum ada yang beli" Penjelasan logis dariku yang pasti gak bakalan diterima oleh Jasmine. 

Beginikah rasa sakit tapi tak berdarah? Anak minta uang sekedar buat jajan, tapi sebagai orang tua tak mampu mewujudkan. Inikah salah satu alasan kenapa kita perlu menjadi kaya? 

"Kita gak kaya di dunia, gak perlu berkecil hati, besok di akhirat orang orang miskin masuk surganya lebih dulu daripada orang orang kaya. Gapapa miskin di dunia, semoga di akherat bisa kaya." Kata suamiku, sambil berganti baju koko untuk shalat. 

Tak terasa sudah dua waktu shalat terlewati tapi tak kunjung ada pembeli. Dan aku harus berkutat dengan dua balita ini. Yang kecil gak mau ditinggal, yang besar merengek terus minta uang. 

Saat lagi gak bisa ngasih uang jajan, aku cuma bisa ngasih wejangan. Anak sekecil Jasmine, mana bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Tapi tetap saja aku menceramahinya untuk menahan nafsunya untuk jajan. 

"Gak semua hal bisa keturutan sekarang, Jasmine." Meskipun mantraku tak langsung mempan, setidaknya itu akan menjadi kebiasaan, dan semoga tertanam dalam ingatan. Berharap kelak Jasmine akan mengerti bahwa gak semua keinginan bisa langsung dikabulkan. 

"Mama, Jasmine mau hujan hujan ya? Ya, Ma?" Belum mendapat persetujuanku, Jasmine udah langsung ngibrit ke luar. Ah, anak itu, energik sekali. Sekarang susah mengajaknya tidur siang. Kubiarkan saja dia main hujan, daripada terus terusan minta jajan. Toh dari pagi dia belum mandi, dan sekarang udah menjelang sore. Sebentar lagi waktunya TPA. 

Semenjak gagalnya bisnis suami, beliau memahami bahwa rejeki (berupa harta) itu adalah yang paling rendah, tapi kebanyakan orang mengusahakannya dengan susah payah. 

Minta pada Allah, Allah kan Maha Kaya. Begitu kata beberapa orang, menyemangati. Apakah Allah Maha Kaya, lantas kita juga berhak minta dijadikan kaya, mendapatkan segala keinginan kita? Aku bukanlah ahli agama, juga bukan ahli ibadah. Kadang aku malu sama Allah, minta segalanya tapi ibadah sekedarnya. Lebih menginginkan sesuatu yang padahal nilainya lebih rendah daripada sesayap nyamuk.  

Ngapain ngoyo? Wong kita hidup sehat, masih bisa makan (meski gak 3x sehari), dan dikelilingi orang orang baik, itu udah bisa bikin kita tetap hidup dan beribadah dengan lancar. Itu termasuk rejeki, yang biasanya tidak kita sadari. Kita udah kaya. Terhindar dari meminta minta. 

Lagipula, definisi miskin (di zaman Nabi) adalah orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya untuk hari ke depan sehingga berhak mendapat santunan, berupa zakat. Sayangnya zaman sekarang udah jauh berbeda. Orang punya tempat tinggal, makanan, kendaraan, bahkan perhiasan, masih merasa miskin, sehingga merasa berhak menerima bantuan, dari pemerintah. 

Miskin atau kaya, itu ujian. Susah atau mudah, juga ujian. Maka dari itu, hati hati dengan ujian berupa "kemudahan", membuat terlena. Terkadang jadi merendahkan orang lain yang hidupnya susah. Menganggap orang lain miskin karena tak mau berjerih payah. 

Jam empat. Setelah puas main hujan, lalu mandi, dan bersiap TPA. Hujan masih belum kunjung reda. MasyaAllah, anak itu benar benar luar biasa semangatnya. Meskipun hujan, tetap ingin berangkat.

Aku mengantarkan Jasmine ke masjid tempat TPA, suamiku menjaga si kecil dan menunggu warung. Hingga Jasmine selesai TPA dan Maghrib menjelang.... 

"Misi, maaas!" Terdengar suara dari depan. Saat itu suamiku lagi berada di kamar mandi. Jadi aku yang merespon panggilan tadi.

"Nggih?" Jawabku. Sambil berjalan menghapiri sumber suara. 

"Bakso 7, mieso 2, Mbak," kata laki laki yang kutaksir seumuran suamiku, yang sekarang berdiri di depanku bersama anak perempuannya. 

"Bakso 7?" Seoalah ragu dengan jumlah porsi bakso yang dia pesan karena suaranya terdengar samar oleh suara hujan dan kendaraan yang bersliweran. 

Laki laki itu mengiyakan. Lalu aku memanggil suamiku untuk menyiapkan pesanan, aku membantunya membungkus saos dan sambal. 

Setelahnya, ada beberapa pembeli yang datang hingga warung tutup, aku tak tahu pastinya berapa. Begitulah cara Allah mendatangkan rejeki-Nya.

Aku jadi teringat postingan di status WA temanku. [Jangan khawatir soal rejekimu sebab Allah sudah menjaminnya. Tapi khawatirkanlah amalanmu sebab tidak ada yang menjamin surga untukmu]. 

"Alhamdulillah, ada uang buat bayar gas sama gula." Kata suamiku setelah menghitung penghasilan hari itu. 

"Ada sisa buat ditabung, Pa?" Aku berharap ada sisa untuk mengisi celengan khusus jatah bayar hutang. 

"Gak ada, Ma. Omset hari ini gak nyampe dua ratus. Semoga besok insyaAllah ada."

Beruntungnya kami, bisa ambil gas, gula, atau bahan bahan lainnya di kakung, bayarnya nanti kalo udah ada hasil jualan. Terkadang beberapa hari baru bisa bayar. Jualan makanan begini, saat sepi pembeli, resiko membuang dagangan karena udah gak layak makan. Rugi, itu pasti. Pasang surut dalam usaha, membuat kami terlatih menghadapinya. Sudah terbiasa. 

Kita bukan pemalas, bukan pula kurang bekerja keras, hanya saja rejeki kita tidaklah sama. 

Nabi SAW pernah bilang, akan datang suatu zaman, mencari rejeki itu mudah, kecuali dengan cara halal. Zaman sekarang kah? Semoga kita terhindar dari mencari rejeki dengan cara yang tidak dibenarkan. 

Sekian.  

Warung sudah tutup. Kami mau istirahat, karena esok kami harus tetap berjihad. Semangat! 
separador

0 comments:

Post a Comment

Followers