Tuesday, December 7, 2021

Biarkan Anakmu Sesekali Merasakan Keweca

Aku tinggal di lingkungan yang banyak anak anaknya. Setiap hari disuguhi dengan keriuhan, gelak tawa, teriakan teriakan, hingga pecah tangis anak anak. Sudah biasa. Toh, aku juga memiliki anak kecil.

Anak anak di lingkunganku, semuanya adalah saudara, dari keturunan orang tua dari ibu mertua. Ibu mertuaku adalah anak bungsu dari empat bersaudara, yang semuanya perempuan. Ibu mertua dan ketiga kakaknya tinggal di satu pekarangan. Berlanjut hingga ke anak cucunya. Hanya ada beberapa yang tinggal di luar pekarangan, tapi tidak begitu jauh. 

Aku senang, menjadi bagian dari keluarga suamiku yang banyak dan kompak. Bahkan, ada tetangga bilang kalau keluarga kami ini ternak anak. Ibarat setiap tahun, ada aja yang melahirkan. 

Ada tiga anak yang sepantaran usianya dengan anak pertamaku, yaitu Zidan, Arkha, dan Karina. Arkha adalah keponakanku. Usia anak anak itu sekitar 3,5 hingga 4 tahunan.

Pagi ini, pagi yang sama seperti sebelum sebelumya, kami berkerumun di penjual sayur keliling, Mbah Mariyem, namanya. Mbah Mariyem biasa mangkal di sini sekitar jam setengah delapan. Hanya Hari Minggu yang tidak jualan, libur. 

Bisa dipastikan, selain keramaian emak emak, tak ketinggalan juga anak anak. Minta jajan ini itu. Berebut minta dilayani duluan. Berebut ambil jajanan, siapa yang mengambil duluan, dia yang kebagian. Karena terkadang sudah kehabisan. Jajanan yang banyak diminati anak anak adalah susu kedele, snack, dan permen lolipop limaratusan.

Zidan dan Arkha, adalah yang paling sering berebut jajan. Terkadang salah satu di antara keduanya sampai menangis karena tidak kebagian jajan yang diinginkan. Anakku pun kadang juga berebut dengan salah satu dari mereka. 

"Ibuk, mau susu kedele!", pinta Zidan yang sedikit berteriak, saat melihat Arkha menyeruput susu kedele dari bungkus plastiknya menggunakan sedotan. Zidan datang bersamaan dengan ibunya. Mereka memang sedikit terlambat, hingga kehabisan susu kedele. 

"Habis, Le." Jawab Mbah Mariyem setelah memastikan ketersediaan susu kedele di bronjongnya. 

"Aaaa, susu kedele! Mau susu kedeleeee!" Zidan semakin keras berteriak hingga mengalihkan perhatian para pembeli lainnya. Semua mata tertuju pada anak laki laki, bungsu dari tiga bersaudara itu. 

Sering seperti itu. Aku sudah terbiasa. Namanya juga anak anak. Wajar, bukan? 

"Sudah habis. Besok lagi." Sang ibu mencoba memberi pengertian. 

"Sekaraaang! Susu kedeleee! Huaaaa!" Zidan semakin menjadi, sambil memandangi Arkha, dia mulai mengamuk. Memukuli ban sepeda Mbah Mariyem. Merobohkan kursi plastik yang tak bersalah. Hingga memukuli ibunya. Ibunya hanya diam dan beberapa kali menghindar, tapi tidak barusaha mencegah tangan anaknya mendarat di tubuhnya. 

"Habis, Zi. Besok lagi." Kata sebagian orang yang masih berada di situ. 

"Mas Zidan dikasih, Le." Melihat tingkah Zidan yang heboh, ibu Arkha berinisiatif meminta anaknya untuk berbagi. 

"Gak mau!" Arkha menjauh. 

"Jangan pelit pelit, besok kalo main ke rumah Mas Zidan, gak dipinjemi mainan hlo." Ibunya mulai mengancam, setelah perintahnya ditolak oleh anaknya. 

Aku sedikit menaruh perhatian pada dua ibu dan dua anak itu. Kuperhatikan saja, tanpa ikut angkat bicara. 

"Mas Zidan dikasih sedikit ya, Arkha" Ibu Zidan juga berusaha merayu agar Arkha bersedia membagi susu kedele di tangannya yang kini tinggal separuh.

"Gak mau." Arkha tetap pada pendiriannya. 

"Awas besok kamu gak diajak jalan jalan lagi sama Mas Zidan." Ibu Arkha mengungkit kebaikan yang pernah keluarga Zidan lakukan, berharap agar anaknya gantian berbuat baik pada temannya itu. Membagi susu kedele miliknya. 

"Besok kamu gak tak pinjemi mainan. Besok kalo aku punya makanan, kamu gak tak kasih. Gak diajak ke mall. Kapok!" Anak yang tahun depan masuk TK itu mengungkapkan kekesalannya dengan memberi ancaman pada Arkha juga. Tapi yang diancam tetap diam saja. 

"Ibuk, ayo beli jajan di Mbak Mila!" lanjutnya, setelah gagal mendapatkan apa yang dia inginkan. 

"Arkha pelit!" imbuh Zidan, seraya menarik narik daster ibunya untuk segera pergi ke warung Mbak Mila.

Ibu Zidan mau tidak mau menuruti permintaan anaknya, sebagai solusi agar anaknya tidak merengek dan mengamuk lagi. Mengingat dia sudah lelah dengan segala rengekan anaknya beberapa hari terakhir ini. 

"Minta ini itu, marah, ngamuk, bikin pusing saja!" Keluh ibu Zidan pada satu kesempatan. 

Ya. Orang tua Zidan adalah tipe orang tua yang mudah mengabulkan keinginan anak, tidak tega dengan tangisan anak, tidak tahan dengan amukan anak. 

Pernah aku menyarankan ibu Zidan untuk tidak selalu menuruti semua keinginan anaknya, karena itu juga demi kebaikan diri anak kelak. Tapi sepertinya ibu Zidan lebih tidak tahan melihat anaknya menangis dan mengamuk. Lagipula, orang tua Zidan tergolong orang berada, sehingga mampu menyediakan apa yang anaknya inginkan, meskipun awalnya dibikin kesal dulu oleh perangai anaknya. 

Meskipun begitu, Zidan termasuk anak yang mudah untuk berbagi, tanpa banyak paksaan dan ancaman. Misalkan dia memiliki mainan baru, atau makanan, dan ada anak lain yang kepingin, Zidan mau meminjamkan mainannya barang sebentar, atau membagi sedikit makanan miliknya, demi untuk temannya bisa merasakan.

Selang beberapa menit, ibu dan anak itu kembali dari warung Mbak Mila, terlihat dia membawa beberapa jenis jajanan dan satu unit bus dalam bentuk mainan, yang tentunya tidak dijual oleh Mbah Mariyem. 

Anak itu memamerkan jajanan dan mainan barunya pada Arkha. Balas dendam nih ceritanya. Bisa dipastikan, Arkha akan merengek pada ibunya karena ingin memiliki mainan yang sama seperti yang dibeli Zidan. Tapi sayang, ibu Arkha tidak langsung membelikannya. Lalu pecahlah amukan dan tangisan si Arkha. 

Sering begitu. Aku sudah terbiasa. Namanya juga anak anak. Wajar, bukan?

Satu anak memiliki mainan baru, dipamerkan pada anak lain. Biasanya, dengan jumawa dia akan bilang begini, "Aku punya mainan baruuu, kamu apa punya?" 

Meronta rontalah jiwa kompetisi anak yang dipameri. Dia bakalan minta ke orang tuanya dibelikan mainan yang sama, atau yang lebih bagus daripada mainan yang temannya pamerkan. 

Berulang ulang, begitu terus siklusnya. Menyebabkan menumpuknya berbagai jenis mainan, mulai dari yang masih baru dan bagus, hingga yang sudah usang dan rusak, tapi dibuang juga sayang. Jadilah sebagai koleksi barang rongsokan.  

Itulah yang terjadi di rumah Arkha. Dua kantong plastik besar ditambah satu keranjang laundry, sebagai wadah mainan, itu pun masih kurang. Ada beberapa mainan besar yang tidak muat diwadahi kantong plastik, teronggok di lantai. 

***

Di lain waktu, saat tidak ada kesibukan urusan perdapuran, kami ada kesempatan untuk sekedar bersantai lebih lama. Para emak ngobrol, anak anaknya bermain. Hanya ada Arkha dan Zidan yang bermain di tempat kami ngobrol. Anakku bermain di rumah Karina, bersama teman teman perempuan yang lainnya. 

Tiba tiba... Arkha menangis. Mengadu, habis dipukul Zidan. Biasalah, berebut mainan. 

"Zidan nakaaal. Hwaaaa! Arkha marah marah dan menangis. Dia menarik mobil mobilan miliknya. Mendekat ke arah di mana ibunya duduk.

Yah, begitulah. Karena asyiknya ngobrol, terkadang kami lengah saat mengawasi anak anak bermain, ada saja salah satu yang nangis. 

"Ada apa kok nangis? Rebutan mainan?" Tanya ibu Arkha. 

"Zidan nakaaal" Arkha masih menangis. 

"Sudah, gakpapa. Main bareng lagi sana." Respon ibu Arkha sambil mengusap air mata anaknya. 

Ibu Zidan juga tampak menasihati anaknya, "Zidan, kan sudah punya mainan kayak gitu. Mobil mobilanmu banyak. Punyamu diambil coba, bawa sini. Buat main bareng."

Tangis Arkha mulai reda. Zidan pergi ke rumahnya untuk mengambil mobil mobilan miliknya. 

Mobil mobilan Arkha baru beli beberapa hari yang lalu. Masih terlihat bagus, hanya saja beberapa sticker yang menghiasi mainan itu sudah dilepasi oleh pemiliknya. Tunggu saja, tak lama lagi pasti giliran rodanya yang bakal lepas. Aku yakin itu. 

Zidan datang membawa dua mainan mobil mobilannya. Ukurannya sedikit lebih kecil daripada mobil mobilan Arkha. Di rumahnya, sebenarnya Zidan juga memiliki banyak mainan. Bahkan lebih banyak dan lebih bagus daripada mainan Arkha. Sebagian besar mainan yang sudah rusak, dibuang oleh ayahnya. Tapi, jika kuperhatikan, anak itu selalu merasa mainan temannya lebih menarik daripada mainannya sendiri. 

Beberapa mainan Zidan juga terkadang tertinggal di rumahku, di rumah Arkha, atau di rumah teman yang lain. Ada yang dicari, ada pula yang dibiarkan hingga lama, tidak peduli. Jadi, aku atau ibunya Arkha yang mengembalikan ke tempat pemiliknya. 

Apakah anak laki laki memang begitu ya  sifatnya? Entahlah... Aku belum pengalaman membesarkan anak laki laki hingga seusia mereka. 

Zidan mendekatkan dua mobil mobilannya ke mobil mobilan Arkha. Bukan bermaksud untuk bermain bersama. Tapi untuk bertukar mainan. 

"Aku pinjam mobil mobilanmu, kamu main mobil mobilanku, Kha." Kata Zidan, matanya tak lepas dari mainan milik anak berbadan gempal itu. 

"Gak mau! Ini punyaku hlo." Aku paham yang dirasakan Arkha. Memainkan mainan yang masih baru memang lebih menyenangkan.

"Ibuuuk, ayo beli mobil mobilan kayak punya Arkha!" Rengek Zidan pada ibunya, sambil tangannya menunjuk nunjuk ke arah mainan Arkha. Ibunya bergeming. Mungkin bingung juga harus bersikap bagaimana. 

"Mas Zidan dipinjami, Le. Gantian. Kamu pakai mobilnya Mas Zidan. Biar Mas Zidan pinjam mobilmu sebentar." Ibu Arkha mencoba membujuk anaknya. 

Aku hanya memperhatikan, tidak berkomentar. 

"Gak mau, nanti dibawa pulang Zidan hlo!" Arkha belum merelakan mainannya disentuh orang lain. 

"Enggak. Cuma dipinjam, main di sini. Nanti dikembalikan. Pinjam ya, Arkha?" Akhirnya ibu Zidan berani angkat bicara. 

"Nanti dibawa pulang..." Arkha sedikit ragu. 

"Eh, budhe punya permen, Arkha mau?" kata ibu Zidan, tiba tiba.

"Hlo dikasih permen budhe, mau gak?" ibu Arkaa menambahkan. 

"Budhe kasih permen, tapi Mas Zidan dipinjami mobilnya, ya?" ibu Zidan mencoba negosiasi seraya mengeluarkan permen lolipop, jajanan Zidan yang belum sempat dimakan. 

Arkha kelihatan sejenak berpikir. 

Sesaat kemudian dia mengangguk. Deal.  Mainan mobil mobilannya ditukar dengan sebiji permen lolipop, bonus beberapa biji permen kecil. Dan dia bersedia main dengan mobil mobilan milik Zidan. 

Wow. Terkabullah keinginan Zidan dengan mudahnya.

Lalu dua anak itu bermain bersama dan emak mereka kembali ngobrol bersamaku. 

***

Tadi siang, saat aku momong Hamzah, si bungsu, membawa serta mainan piano kecil milik Arkha. Anakku kegirangan memencet mencet tuts mainan itu. Lalu tiba tiba Zidan datang. Sepertinya dia juga tertarik pada mainan yang dibawa anakku. Beberapa kali aku lihat dia ingin mengambil mainan itu dari anakku, tapi mungkin tidak berani karena ada aku. 

Kubilang pada Zidan untuk memainkannya bersama. Kuletakkan piano kecil itu di kursi, lalu mengajari anakku memencet tuts bareng Zidan. Tapi anakku malah membawanya kesana kemari. Tidak mau main bareng. Zidan membuntuti terus sambil tangannya mencoba meraih piano itu. Tapi gagal. 

Lalu aku pulang, piano kecil itu kukembalikan ke tempat semula, di rumah Arkha. Zidan ingin mengikutiku pulang, tapi urung. 

Selang beberapa lama, saat ada ibunya, Zidan menangis, meraung, menginginkan mainan itu. Dia minta ibunya mengambilkannya di rumah Arkha. Saat itu ibu Arkha juga mendengar tangisan Zidan. Lalu dia mengambilkan mainan itu untuk dipinjam Zidan. Entah dibawa pulang atau dimainkan di sana, aku tidak tahu. 

Dulu, sulungku, Aisyah, juga pernah punya mainan seperti itu. Dipinjam Zidan, lama tidak dikembalikan. Tahu tahu mainan itu sudah rusak, bagian penutup baterainya hilang, dan tidak bisa bunyi lagi. Setelah itu, kalau ada mainan anakku yang dipinjam Zidan, aku tidak membolehkan dibawa pulang, main di rumah saja. 

Sering kulihat, Zidan memperlakukan mainannya dengan kasar. Akrha pun demikian. Jangankan mainan miliknya sendiri, milik orang lain juga sama. Pantas saja, mainan baru cepat sekali rusaknya. Apa memang sifat anak laki laki seperti itu ya? 

***

Sorenya, saat anak anak dan emak emak kumpul di halaman belakang, terlihat Zidan menenteng kotak. Ternyata berisi mainan baru, piano juga, dengan fitur lebih bagus daripada milik Arkha. 

Sekali lagi. Wow. Terkabullah keinginan Zidan dengan mudahnya. 

Anakku yang melihatnya pun tak luput dari rasa ingin memiliki mainan seperti itu juga. Bahkan, saat mainan Zidan dipinjam anakku, Arkha juga ingin memainkannya, padahal dia sendiri sudah punya. 

Anakku merengek minta dibelikan. Apakah aku membelikannya? Atau berniat akan membelikannya? Tidak. Hahaha. 

Beruntung Zidan mau meminjamkan mainannya sebentar, agar teman kecilnya merasakan sensasi memainkan piano baru itu. 

Kuberitahu anakku, kalau dulu dia juga pernah memiliki mainan seperti itu. Pernah memainkannya, lama. Dan itu sudah cukup. Tidak perlu mengulanginya lagi. Anakku bukan Zidan, dan kondisi orang tuanya pun tidak sama seperti orang tua Zidan. 

Setiap aku tidak bisa memenuhi keinginan anakku, aku selalu memberi penjelasan bahwa tidak semua keinginan kita bisa terwujud. Selama kita masih di dunia, itu ada batasnya. Ada keinginan yang bisa terpenuhi, ada yang enggak. Begitu aku menjelaskan. Berkali kali, berulang ulang. Hingga anakku hafal. Kalaupun dia merengek minta sesuatu, itu tidak akan berlangsung lama. 

Ah, anak anak. Makhluk kecil yang terkadang membuat kita lemah. 

***

'Kendalikan anakmu sendiri!' Andai saja batinku bisa bersuara. Sejak dari tadi, bahkan sejak lama, aku ingin melontarkan  kalimat itu. Tapi tak mampu. Hanya bisa terucap pada suamiku saat kucurhati perihal kejadian beberapa hari lalu. 

Jika kejadian seperti itu terjadi antara Zidan dan anakku, mungkin akan lain ceritanya. Tapi, menyaksikkannya terjadi pada anak anak lain, aku hanya bisa berperan sebagai pemirsa. 

Terkadang, kita menjadi orang yang gak enakan. Sulit mengatakan 'tidak' pada orang lain meski itu membuat kita tidak nyaman. Terlebih jika dihadapkan pada saudara sendiri yang lebih berada dan lebih tua. Jadinya kita lah yang mengalah. Bahkan hingga memaksa anak untuk menjadi 'goodboy' di hadapan orang lain. 

Kadang aku heran dengan mereka yang -- entah sadar atau tidak -- menyusahkan diri mereka sendiri, lantas mengeluhkan kondisi yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri.

Dua ibu itu kerap mengeluh karena anaknya kalau menginginkan sesuatu itu harus ada dan segera. Anak jadi tidak sabaran dan tidak mau pengertian.  Nangis, merengek, ngamuk, digunakan anak sebagai senjata untuk mendapatkan keinginannya. 

***

Sekembalinya dari rumah uti kakung, anakku membawa sebuah mobil mobilan kecil, tantenya yang ngasih. Saat main ke rumahku, Zidan, yang notabene mengoleksi hot wheels, tertarik dengan mainan anakku. Dia ingin pinjam, tapi anakku belum mau meminjamkannya. 

Pernah, suatu hari, anakku bersedia meminjamkannya. Dibawa pulang oleh Zidan. Berada di rumahnya hingga berminggu minggu, tak kunjung dikembalikan. Kuminta anakku mengambilnya ke rumah Zidan. Tapi nihil, dia pulang dengan tangan kosong. 

Satu kesempatan, aku bertanya pada ibu Zidan tentang keberadaan mobil kecil milik anakku di rumahnya. Hari berikutnya, ibu Zidan mengembalikannya. 

"Oh, ini punya Aisyah to? Aku gak perhatikan, soalnya mainan Zidan banyak. Kadang tercecer, ketinggalan, jadi aku gak tahu." Kata ibu Zidan sambil menyerahkan mobil mobilan itu. 

"Iya. Makasih ya, Mbak." Jawabku mengakhiri obrolan. 

Setelah kuperhatikan, rasa rasanya ada yang kurang dari mobil itu. Ah, iya, kaca bagian depannya hilang. Copot. Hmm... Gapapa lah, masih bisa dipakai main, ini. Mainan kecil begini biasa aku bawa kalau pergi pergi, buat main si bungsu. 

***

Sekarang Aisyah lagi susah untuk berbagi. Entah itu soal makanan atau mainan. Kuberi tahu Aisyah untuk memberikan sebagian miliknya, Allah suka hlo sama anak yang suka berbagi. Tapi jika si anak tetap tidak bersedia, ya sudah. Aku tidak memaksanya. 

"Kalo Aisyah lagi gak mau ya jangan dipaksa!", begitu kilahnya. 

Pun jika ada anak lain yang tidak mau berbagi dengan anakku, biarlah. Aku tidak akan memaksa anak itu harus mau membagi sebagian miliknya untuk anakku.

Impas, bukan? 

Oke, baiklah. Tidak mengapa jika anak anak sedang tidak ingin berbagi. Ini hanya sementara. InsyaAllah besok kalo Aisyah dan teman temannya sudah usia sekolah, mereka akan lebih mengerti dan bersedia untuk berbagi, dengan ikhlas tanpa paksaan. 

Untuk itu, aku akan membiarkan anakku sesekali merasakan kecewa lantaran keinginannya tidak dapat terpenuhi. Aku juga akan mengendalikan anakku sendiri, bukan mengendalikan anak orang lain maupun menciptakan kondisi sedemikian mungkin demi terwujudnya keinginan anak sendiri.

Dan yang juga penting adalah sikap orang tua dalam menyikapi sikap anaknya. Bagaimana mengajarkan dan meneladani anak anak agar mau berbagi. Pun agar anak mau menerima kekecewaan lantaran tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tugas kita adalah mendampingi sang buah hati menghadapi rasa kecewanya dan memberikan penjelasan rasa kecewa itu ada dan harus diterima dengan lapang dada. 

Sekian. 
separador

0 comments:

Post a Comment

Followers