Monday, July 4, 2016

Seputar Zakat Fitrah

Pengertian Zakat Fithrah
Zakat Fithrah ialah : Zakat berupa makanan pokok dalam suatu daerah, yang dikeluarkan sebelum shalat 'Idul Fithri.

Yang Wajib Mengeluarkan
Zakat Fithrah diwajibkan kepada orang Islam, baik tua maupun muda, laki-laki atau perempuan, merdeka, budak bahkan kanak-kanak sekalipun, yang mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya serta siang harinya.

Ukuran/Kadarnya
Tiap-tiap jiwa sebanyak satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3 liter), dari makanan pokok yang biasa dimakan oleh orang di dalam daerah tersebut.

Waktu Pengeluaran
Dari terbenam matahari pada akhir Ramadlan/malam hari raya 'Idul Fithri sampai sebelum mulai shalat 'Id.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَ اْلحُرّ وَ الذَّكَرِ وَ اْلاُنْثَى وَ الصَّغِيْرِ وَ اْلكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ اَمَرَ بِهَا اَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلىَ الصَّلاَةِ. البخارى 2: 138
Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat Fithrah satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3 liter) dari korma atau satu sha' dari gandum atas budak maupun orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil dan dewasa dari orang-orang Islam, dan beliau menyuruh supaya dikeluarkan zakat fithrah itu sebelum orang-orang keluar pergi shalat ('Idul Fithri)". [HR. Bukhari juz 2, hal. 138].
Boleh pula dikeluarkan 1 atau 2 hari sebelum hari raya :

وَ كَانُوْا يُعْطُوْنَ قَبْلَ اْلفِطْرِ بِيَوْمٍ اَوْ يَوْمَيْنِ. البخارى 2: 139
.... dan mereka (para shahabat) memberikannya (zakat fithrah) satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri. [HR. Al-Bukhari juz 2, hal. 139].
Dengan dasar atsar (perbuatan) shahabat tersebut, ada sebagian 'ulama (antara lain Imam Syafi'i) yang berpendapat bahwa boleh pula mengeluarkan zakat fithrah sejak awwal Ramadlan; karena hadits Nabi diatas hanya menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fithrah adalah sebelum mulai shalat 'Id, tanpa penjelasan kapan permulaannya. Sedang para shahabat ada yang mengeluarkan 1 bahkan 2 hari sebelum Hari Raya. Maka berdasar inilah sebagian ulama berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fithrah itu sejak awwal Ramadlan sudah boleh dan sah.

Sasaran Zakat Fithrah
Sasaran atau orang yang berhak menerima zakat fithrah adalah tidak berbeda dengan yang berhaq menerima zakat yang lain, yaitu sebagaimana yang tertera pada surat At-Taubah ayat 60 :

اِنَّمَا الصَّدَق?تُ لِلْفُقَرَآءِ وَ الْمَس?كِيْنِ وَ اْلعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِى الرّقَابِ وَ اْلغَارِمِيْنَ وَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ، فَرِيْضَةً مّنَ اللهِ، وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. التوبة:60
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. At-Taubah : 60].
Keterangan :
Yang berhaq menerima zakat fithrah ialah :
1. اَلْفُقَرَآء   (Orang-orang fakir)
Orang-orang yang di dalam penghidupannya untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik bagi dirinya sendiri dan atau orang yang menjadi tanggungannya, hanya mampu mencukupi kurang dari separoh keperluannya. Misalnya : Kebutuhan setiap harinya Rp. 40.000,- ia hanya mampu menyediakan Rp. 15.000,-
2. اَلْمَس?كِيْن (orang-orang miskin)
Yaitu sebagaimana nomor 1, tetapi lebih dari separoh, namun kurang dari kebutuhannya. Misalnya : Kebutuhan setiap harinya Rp. 40.000,- ia hanya mampu menyediakan Rp.30.000,- Demikian menurut pendapat sebagian 'ulama.
3. اَلْعَامِلِيْن   (orang-orang yang mengurusi zakat)
Yaitu beberapa orang yang ahli tentang seluk-beluk zakat (hukum-hukumnya, barang-barang dan kadar masing-masing yang dizakati dan sebagainya) yang diangkat oleh Nabi SAW/Pimpinan ummat Islam dan bertugas sebagai penghitung dan penerima serta penagih zakat dari kaum Muslimin untuk disalurkan sebagaimana mestinya. Walaupun ia bukan fakir/ miskin, namun berhaq menerima zakat.
Catatan :
Tentang "Panitia Zakat Fithrah". Karena yang berhaq mengangkat dan menugaskan 'Amil adalah Nabi SAW/Pimpinan ummat Islam, maka kami berpendapat dan menyarankan, sebaiknya kita tidak mendudukkan diri sebagai 'amil, tetapi menjadi sukarelawan saja untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan zakat fithrah tersebut. Jika diantara anggota panitia itu ada orang yang fakir/miskin, maka mereka berhaq menerima zakat sebagai fakir/miskin, bukan sebagai 'amil.
4.اَلْمُؤَلَّفَة قُلُوْبُهُمْ   (orang-orang yang dijinakkan hatinya)
Yaitu :
a. Orang yang baru masuk Islam, agar makin mantap keislamannya.
b. Orang yang diharapkan masuk Islam dan telah tampak tanda-tanda simpati dan perhatiannya terhadap Islam, ia berhaq menerima zakat tersebut agar makin memperlancar keislaman orang itu.
c. Orang-orang yang sangat memusuhi Islam dan berpengaruh dalam masyarakat. Minimal diharapkan dengan pemberian zakat kepadanya itu, dapat memperlunak sikapnya atau menghentikan sama sekali permusuhannya terhadap Islam.
Ketiga golongan diatas termasuk (اَلْمُؤَلَّفَة) yang berhaq menerima zakat, sekalipun mereka tergolong mampu dan bukan fakir/miskin.
5. اَلرّقَاب   (budak-budak)
Mereka berhaq mendapat bagian zakat untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman perbudakan.
6.اَلْغَارِمِيْن   (orang-orang yang berhutang)
Yaitu orang-orang Islam yang kesulitan dan kepayahan karena terbelit oleh hutang-hutangnya yang bukan disebabkan karena pemborosan/ma'shiyat (judi dan sebagainya). Golongan ini berhaq mendapat penyaluran zakat untuk melunasi hutangnya.
7.  سَبِيْل اللهِ (jalan Allah)
Yaitu setiap sarana dan tempat serta orang-orang yang berhubungan dengan hal-hal yang berguna bagi agama maupun masyarakat luas. Misalnya : Masjid-masjid, sekolahan-sekolahan, madrasah-madrasah, lembaga-lembaga da'wah, tempat pengajian dan sebagainya, termasuk orang-orang yang menyelenggarakan serta mengurusinya. Dan juga termasuk sabiilillaah ialah hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum dan dibenarkan oleh agama, seperti mendirikan rumah sakit, gedung pertemuan, membangun jembatan dan sebagainya.
8. اِبْن السَّبِيْلِ   (orang yang dalam perjalanan/musafir)
Yaitu orang yang dalam perjalanan, lalu putus bekal dan dikhawatirkan terlantar dalam perantauannya itu, maka yang demikian inipun berhaq menerima zakat untuk bekal pulang ke negeri/daerah asalnya. Hal ini dapat dimengerti dan diambil hikmah yang besar yang terkandung di dalamnya, yaitu antara lain :
Agar dimana saja orang Islam itu berada, ia selalu merasa mempunyai saudara seiman yang selalu siap menolongnya, hingga ia tidak merasa asing di perantauannya tersebut.

Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Zakat Fithrah
1. Yang dikeluarkan harus sesuai dengan kwalitas yang biasa dimakannya sehari-hari. Misalnya bila sehari-hari ia makan makanan pokok tersebut dari kwalitas nomor 1, maka tidak selayaknya ia mengeluarkan kwalitas nomor 2 atau nomor 3. Jika sampai terjadi demikian berarti menyalahi jiwa perintah zakat yang antara lain bertujuan untuk mensucikan jiwa seseorang dari kekikiran hati serta menundukkan hawa nafsunya terhadap perintah Allah. Firman Allah :
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهّرُهُمْ وَ تُزَكّيْهِمْ بِهَا. التوبة.103
Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan shadaqah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka[QS. At-Taubah : 103].
    Sebaliknya apabila ia mengeluarkan yang lebih baik dari pada apa yang biasa dimakan, yang demikian itu lebih baik baginya. Karena kelebihan dan kebaikannya itu akan kembali kepada pelakunya itu sendiri, sesuai dengan jiwa agama dan jiwa perintah zakat fithrah tersebut.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 184 :
... فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌلَّه. البقرة:184
..... maka barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. [QS. Al-Baqarah : 184].
2. Zakat Fithrah tersebut dapat pula berujud uang, senilai dengan zakat fithrah yang diwajibkan baginya. Misalnya : 1 liter = Rp. 8.000,- maka ia mengeluarkan untuk dirinya sendiri sejumlah 3 X Rp. 8.000,- = Rp. 24.000,-
3. Anak-anak dan orang-orang yang menjadi tanggungan seseorang, maka kewajiban zakat fithrah mereka dibebankan kepada orang yang menanggungnya (ayah/majikan dan sebagainya). Jadi merekalah yang berkewajiban mengeluarkan untuk anak-anak atau orang yang menjadi tanggungannya tersebut, bila mereka itu orang Islam.
4. Ada sementara 'ulama yang berpendapat bahwa zakat fithrah itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang miskin saja, bukan untuk yang lain, berdasar pemahaman terhadap hadits :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ نُخْرِجَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ. وَ يَقُوْلُ: اَغْنُوْهُمْ عَنْ طَوَافِ ه?ذَا اْليَوْمِ. البيهقى 4: 175
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rasulullah SAW menyuruh kami supaya mengeluarkan zakat fithrah dan beliau bersabda, "Berilah kecukupan kepada mereka (orang-orang miskin) supaya mereka tidak minta-minta pada hari ini”[HR. Al-Baihaqi juz 4, hal. 175].

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ. مَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ. وَ مَنْ اَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. ابو داود 2: 111، رقم: 1609
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithrah untuk pembersih bagi orang yang puasa dari omongan sia-sia dan kotor (yang telah dikerjakannya), dan untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat hari raya, maka ia jadi zakat yang maqbul, dan barangsiapa mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia jadi sedeqah diantara beberapa sedeqah". [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 111, no. 1609].
Penjelasan :
a. Zakat Fithrah adalah termasuk bagian dari "Zakat", maka orang-orang yang berhaq menerima zakat adalah 8 golongan, sebagaimana diterangkan pada ayat 60 surat At-Taubah diatas.
b. Surat At-Taubah ayat 60 itu didahului dengan huruf Hashr (pembatas) اِنَّمَا (hanyasanya), maksudnya “bila tidak demikian maka tidak".
    Dan sifat ayat tersebut umum yang berarti setiap shadaqah/zakat apa saja baik zakat maal (harta benda), zakat tanaman dan lain-lain, termasuk zakat fithrah ini, salurannya adalah 8 ashnaf (orang-orang yang berhaq menerima zakat) itu, sedang hadits-hadits diatas bukan merupakan Takhshish (pengecualian) dari ayat tersebut.
c. Jadi jelaslah bahwa hadits-hadits itu bukan bermakna "Zakat Fithrah" itu wajib hanya diberikan untuk fakir/miskin agar mereka terbebas dari kelaparan (hadits nomor 1), dan "Zakat Fithrah itu sebagai pensuci bagi orang-orang yang berpuasa dan hanya diperuntukkan orang-orang miskin" (hadits nomor 2), melainkan : "Zakat Fithrah itu ~bila memang keenam golongan yang lain kurang membutuhkan~ sebaiknya disalurkan kepada para fakir/miskin agar mereka terbebas dari cengkeraman kelaparan pada hari raya itu". (hadits nomor1) dan : "Zakat Fithrah itu dapat mensucikan orang-orang yang berpuasa dari kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin dilakukannya ketika sedang berpuasa, dan boleh diperuntukkan bagi orang-orang yang miskin, disamping bagi yang lain dari 8 golongan tersebut diatas".
d. Bila dengan dasar hadits tersebut orang menetapkan bahwa zakat fithrah itu hanya untuk orang miskin dengan alasan bahwa dalam kedua hadits itu yang disebutkan hanyalah orang miskin, lalu bagaimana dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dibawah ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص بَعَثَ مُعَاذًا اِلىَ اْليَمَنِ، فَذَكَرَ اْلحَدِيْثَ وَ فِيْهِ. اِنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى اَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَاءِهِمْ وَ تُرَدُّ عَلىَ فُقَرَاءِهِمْ. البخارى 2 : 108 و مسلم 1 : 50
    Dari Ibnu 'Abbas RA, bahwasanya Nabi SAW mengutus Mu'adz ke Yaman, lalu ia sebut hadits itu, yang didalamnya ada, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka, lalu diberikan kepada orang-orang fakir mereka"[HR. Bukhari juz 2, hal. 108, Muslim juz 1, hal. 50].
Hadits diatas maksudnya, bukanlah "Zakat itu diambil dari orang-orang kaya/mampu dan diperuntukkan hanya bagi orang-orang fakir saja". Walaupun bunyi di dalam hadits itu begitu, karena (jika demikian) ini bertentangan dengan ayat 60 surat At-Taubah dimuka. Maka jelaslah makna hadits ini, yaitu menekankan bahwa yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang yang mampu, bukan orang yang fakir/miskin.
5.Di muka dijelaskan bahwa batas akhir pengeluarannya adalah sebelum orang melaksanakan shalat 'Ied. Jika ia mengeluarkannya setelah shalat, berdosalah ia, karena berarti tidak melaksanakan kewajiban. Dan yang dikeluarkannya itu hanya dinilai sebagai suatu sedeqah sebagaimana sedeqah-sedeqah yang lain.
   Tegasnya, dia dianggap berdosa, karena tidak membayar zakat fithrah, sedang yang dikeluarkannya itu dinilai sebagai sedeqah sunnah.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ. مَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ. وَ مَنْ اَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. ابو داود و 2: 111، رقم: 1609
  Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fithrah untuk pembersih bagi orang yang puasa dari omongan sia-sia dan kotor (yang telah dikerjakannya), dan untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat (hari raya), maka ia jadi zakat yang maqbul, dan barangsiapa mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia jadi satu sedeqah diantara beberapa sedeqah". [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 111, no. 1609].
6. Dalam masalah zakat fithrah ini diperbolehkan membentuk Panitia Zakat Fithrah (bukan 'amil) yang bekerja secara sukarela sebagai pengabdian terhadap masyarakat dan negara sebagaimana riwayat di bawah ini :

عَنْ نَافِعٍ اَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَكَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ اْلفِطْرِ اِلىَ الَّذِى تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ اْلفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ اَوْ ثَلَاثَةٍ. مالك 1: 285، رقم: 55
   Dari Nafi', bahwasanya Abdullah bin Umar biasa mengirimkan zakat fithrah kepada orang yang mengumpulkan zakat sebelum hari raya 'Idul Fithri dua atau tiga hari". [HR. Malik juz 1, hal. 285, no 55].
  Dalam masalah mengeluarkan zakat fithrah dari tangan yang berkewajiban, agama memberikan ketentuan batas akhir sebagaimana diterangkan diatas. Sedang mengenai zakat fithrah itu harus sampai kepada tangan yang berhaq menerima, agama tidak memberikan ketentuan yang pasti, ini diserahkan pada kita semua. Yang penting zakat fithrah itu harus ditunaikan oleh orang yang mengeluarkan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Dan jika tidak ada hal yang memaksa untuk menunda sampainya kepada yang berhaq menerima dengan alasan yang dibenarkan oleh syara'/hukum agama, maka harus segera disampaikan sebagaimana mestinya. Namun bila ada kendala sehingga sampainya kepada yang berhaq menerima sesudah shalat hari raya, yang demikian ini pun tidak mengapa.
Adapun kendala tersebut antara lain :
~ Karena kesulitan-kesulitan pengangkutan, lantaran banyaknya yang harus dibagikan dan yang diberi bagian.
~ Karena jauhnya perjalanan yang harus ditempuh (di lain daerah) sehingga sampainya sesudah hari raya, karena zakat itu tidak mesti harus dibagikan dalam daerahnya sendiri, karena ada daerah lain yang lebih memerlukannya.
~ Dan lain-lain sebab yang dibenarkan oleh syara'.
7. Kadar/Ukuran Zakat Fithrah yang Normal.
Kadar yang normal adalah satu Sha' (kurang lebih 2 1/2 kg atau 3 liter) atau jika dinilai dengan uang, maka yang senilai dengan itu, bagi tiap-tiap jiwa, baik dirinya sendiri maupun orang-orang Islam yang menjadi tanggungannya sebagaimana telah diterangkan di muka.
Maka jika sisa dari keperluan sehari semalam itu kurang dari satu sha', tetapi lebih dari keperluan dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, bolehlah ia mengeluarkan sekedar sisa yang dipunyai itu, walaupun kurang dari satu sha'. Hal ini tetap dipandang sah serta telah menunaikan kewajiban agama, berdasarkan kepada Sabda Nabi SAW :
اِذَا اَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. البخارى و مسلم
    Apabila aku memerintahkan kamu untuk mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia semaksimalmu. [HR. Bukhari 8 : 142, dan Muslim 2 : 975].
8. Boleh pula mengeluarkan zakat fithrah bagi bayi yang menjadi tanggungannya yang masih di dalam kandungan ibunya, beralasan dengan riwayat sebagai berikut :
قَالَ اَبُو قِلَابَةَ: كَانَ يُعْجِبُهُمْ اَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ وَ اْلكَبِيْرِ حَتَّى عَنِ اْلحَمْلِ فِى بَطْنِ اُمّهِ. عبد الرزاق
Abu Qilabah berkata : Adalah shahabat-shahabat Nabi SAW suka mengeluarkan zakat fithrah untuk anak-anak kecil dan dewasa, hingga untuk anak yang masih dalam pkandungan ibunya. [HR. Abdurrazaq].

Arti Fakir, Miskin Menurut Hadits
مَنْ سَأَلَ وَ عِنْدَهُ مَا يُغْنِيْهِ فَاِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ. قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا يُغْنِيْهِ ؟ قَالَ: مَا يُغَدّيْهِ وَ يُعَشِّيْهِ. ابن حبان 1: 271، رقم: 545
Barangsiapa meminta-minta padahal ia mempunyai (makanan) yang mencukupi baginya, maka hanyalah ia memperbanyak bara api jahannam. Shahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang mencukupi baginya itu ?". Beliau bersabda, "Yaitu yang cukup untuk dimakan pada siangnya dan malamnya". [HR. Ibnu Hibban juz 1, hal. 271, no. 545].

Ucapan Orang Yang Menerima Zakat
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ اَبِى اَوْفَى قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا اَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَةٍ قَالَ: اَللّ?هُمَّ صَلّ عَلَيْهِمْ. فَاَتَاهُ اَبِى اَبُوْ اَوْفَى بِصَدَقَتِهِ. فَقَالَ: اَللّ?هُمَّ صَلّ عَلَى آلِ اَبِى اَوْفَى. متفق عليه
Dari Abdullah bin Abu Aufa, ia berkata, "Adalah Rasulullah SAW, apabila ada suatu kaum datang kepada beliau untuk menyerahkan zakat, beliau mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaihim (Ya Allah berilah shalawat kepada mereka). Kemudian ayahku Abu Aufa datang kepada beliau untuk menyerahkan zakatnya, lalu Nabi SAW mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaa aali Abi Aufa (Ya Allah berilah shalawat kepada keluarganya Abu Aufa)".

Zakat Fithrah di jaman Rasulullah SAW
عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ اَبِى سَرْحٍ اَنَّهُ سَمِعَ اَبَا سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ يَقُوْلُ: كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ اَقِطٍ اَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ. مسلم 2: 678
Dari ‘Iyadl bin ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarhin, bahwasanya ia mendengar Abu Sa’id Al-Khudriy berkata, “Kami selalu mengeluarkan zakat fithrah satu sha’ makanan, atau satu sha’ sya’ir (gandum) atau satu sha’ kurma, atau satu sha' keju, atau satu sha’ anggur kering.”[HR Muslim juz 2, hal. 678]

عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ قَالَ: كُنَّا نُخْرِجُ اِذْ كَانَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنْ كُلّ صَغِيْرٍ وَ كَبِيْرٍ حُرّ اَوْ مَمْلُوْكٍ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ اَوْ صَاعًا مِنْ اَقِطٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ. فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ عَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ اَبِى سُفْيَانَ حَاجًّا اَوْ مُعْتَمِرًا. فَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَكَانَ فِيْمَا كَلَّمَ بِهِ النَّاسَ اَنْ قَالَ: اِنّى اُرَى اَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ. فَاَخَذَ النَّاسُ بِذ?لِكَ. قَالَ اَبُوْ سَعِيْدٍ: فَاَمَّا اَنَا فَلاَ اَزَالُ اُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ اُخْرِجُهُ اَبَدًا مَا عِشْتُ. مسلم 2: 678
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata : Ketika Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah kami, biasa kami mengeluarkan zakat fithrah dari setiap anak kecil dan orang dewasa, merdeka atau budak, satu sha’ makanan atau satu sha’ keju, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur kering. Kami selalu mengeluarkannya seperti itu, hingga Mu’awiyah bin Abu Sufyan datang ke kota kami (Makkah) untuk berhajji atau ‘umrah. Dia berbicara di atas mimbar kepada kaum muslimin. Diantara pidatonya, dia mengatakan, “Aku berpendapat, bahwa dua mud gandum Syam nilainya sebanding dengan satu sha’ kurma (1 sha’ = 4 mud). Maka orang-orang pun berpegang pada pendapat itu. Abu Sa’id berkata, “Sedangkan aku tetap mengeluarkan seperti dulu, selamanya sepanjang hidupku”. [HR Muslim juz 2, hal. 678]

عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ اَنَّ مُعَاوِيَةَ لَمَّا جَعَلَ نِصْفَ الصَّاعِ مِنَ اْلحِنْطَةِ عَدْلَ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ اَنْكَرَ ذ?لِكَ اَبُوْ سَعِيْدٍ وَ قَالَ: لَا اُخْرِجُ فِيْهَا اِلَّا الَّذِى كُنْتُ اُخْرِجُ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ اَقِطٍ. مسلم 2: 679
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy bahwa ketika Mu’awiyah menjadikan setengah sha’ hinthah (gandum yang kwalitasnya bagus) sama dengan satu sha’ kurma, maka Abu Sa’id mengingkari hal itu dan berkata, “Aku tidak akan mengeluarkan zakat fithrah, kecuali seperti yang biasa aku keluarkan pada masa Rasulullah SAW, yaitu satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur kering, atau satu sha’ gandum sya’ir, atau satu sha’ keju”. [HR Muslim juz 2, hal. 679]

Boleh menerima pemberian yang tidak meminta.
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص يُعْطِى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رض الْعَطَاءَ، فَيَقُوْلُ لَهُ عُمَرُ: اَعْطِهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ اَفْقَرَ اِلَيْهِ مِنّى. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص: خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ اَوْ تَصَدَّقْ بِهِ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ ه?ذَا الْمَالِ وَ اَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ. قَالَ سَالِمٌ: فَمِنْ اَجْلِ ذ?لِكَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَسْأَلُ اَحَدًا شَيْئًا وَلَا يَرُدُّ شَيْئًا اُعْطِيَهُ. مسلم 2: 723
Dari Salim bin 'Abdullah,dari ayahnya ('Abdullah bin 'Umar) bahsawanya Rasulullah SAW pernah memberi pemberian kepada 'Umar bin Khaththab RA, lalu 'Umar berkata kepada beliau, "Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan daripada saya". Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Terimalah saja sebagai hartamu, atau kamu bisa bersedeqah dengannya. Dan apa yang datang kepadamu seperti pemberian ini, sedangkan kamu tidak menginginkan dan tidak memintanya, maka terimalah. Adapun yang tidak begitu, maka janganlah kamu menuruti nafsumu". Salim berkata, "Oleh karena itu Ibnu 'Umar tidak pernah meminta sesuatu kepada seseorangpun dan tidak pula menolak sesuatu yang diberikan kepadanya"[HR. Muslim juz 2, hal. 723].




~JANGAN LUPA BERZAKAT~


Read more...
separador

Wednesday, June 29, 2016

Membaca 1 Juz Al-Qur'an = Gratis 2 Liter BBM


Hai gaes, masih semangat kan puasanya? Ramadhan tinggal beberapa hari lagi nih, gimana rasanya Ramadhan di Indonesia tahun ini?  Penuh warna dan kejutan kan? So pasti...
Belum lama terkisah cerita tentang razia lapak penjual makanan yang buka di siang hari oleh satpol PP, baru-baru ini Pertamina bikin campaign Membaca 1 Juz Al-Qur’an = Gratis 2 Liter BBM”

Informasi tentang promo bensin gratis dengan syarat membaca Al Quran satu juz terpampang di banner seperti ini.


Jujur gaes, aku pun sering enggak ajeg baca Qur’an. Cuma pas lagi pengajian aja baca Qur’an-nya. Kadang terbetik maksud hati pengin baca Qur’an saban kelar salat, ealaah, setan lebih pinter buat membelokkan niat/ keminginan, ada aja godaannya, hape kling kling minta dibalas WhatsApp-nya, Facebook nungguin buat dicek udah dapet berapa komentar, belum lagi rasa ngantuk tak tertahankan sehabis kekenyangan makan buka puasa. Hadeeewh.

So, dengan adanya program hasil dari Pertamina kerja bareng dengan Yayasan Nurul Hayat ini dinilai sebagian besar masyarakat sebagai program yang sangat positif di bulan Ramadhan. Mengajak sesama hamba Allah SWT mau beribadah (membaca Al-Qur’an), meski berbau iming-iming (2 liter bensin gratis jenis Pertamax atau Pertalite). Selain guna memberikan nuansa berbeda bagi pelanggan yang datang ke SPBU dengan membudayakan mengaji di bulan Ramadhan, juga untuk memakmurkan musala yang berada di SPBU. Ngabuburit dengan hal positif, why not?

Lalu, gimana tilawahnya itu?
Jadi gini... Setelah mendaftarkan diri dan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, peserta lalu ketemu sama ustadz/ ustadzah dari Nurul Hayat yang siap menyimak setoran bacaan Al-Qur’an-nya. Jadi ada mentornya gitu, gak cuma asal baca. Mereka bakal mengoreksi apakah tajwidnya udah bener, idzhar, idghom, ikhfa’, iqlab, panjang pendeknya bacaan. Biasanya kalau baca Qur’an di rumah gak ada yang ngecek bacaan kita kan?

Satu juz kurang lebih 15–20 halaman kali ya? Kalo pengin baca Qur’an-nya gak terlalu lama, boleh lah juz 30 aja yang suratnya pendek-pendek dan sebagian besar sudah hafal di luar kepala. Hehehe. Kalo udah kelar bacanya, peserta lalu dikasih semacam voucher apresiasi dari Pertamina. Langsung aja cuss ke mbak-mbak Pertamina, lalu dapet BBM gretong deh! Satu juz baca Qur’an dapet voucher BBM senilai 2 liter dan ini berlaku kelipatannya. Hohohoooo, mayaaan bisa buat mudik ke kampung.

Pertamina juga kian berkah karena banyak yang ngaji di SPBU. Para peserta juga bisa dapat pahala karena berakrab-akrab dengan Al-Qur’an. Ya kan? So, raih pahala baca Al-Quran dan dapatkan gratis BBMnya!

Wait...
Emang boleh ya ibadah dengan dua niat sekaligus? Niat beribadah dengan ditumpangi niat lain yang bersifat keduniaan. Niat baca Qur’an biar dapat pahala atau biar dapet bensin gratis nih? Yang mana prioritas niatnya? Inget gak sebuah film yang diangkat dari novel laris karya Tere Liye dengan judul “Hafalan Salat Delisa”?

Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan salatnya dengan sempurna. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya salat Rasul dan sahabat-sahabatnya.

"Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu." Nah jadi kita salat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar tetap khusuk.

Dari cerita Delisa itu, dapat diambil pelajaran, dalam beribadah harus fokus, niatnya satu, lurus ikhlas, lillahi ta’ala, ibadah karena Allah. Bukan ibadah karena biar dapet kalung emas, biar dapet bensin gratis, biar dipuji orang lain, atau bahkan biar bisa buat koleksi foto selfie #lagi ngaji, dan lain sebagainya. Bukan kah setiap kita salat kita selalu membacanya (dalam doa iftitah)?  Innash sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi robbil alamin (sungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam) [QS Al An'am ayat 162].

Kalau niat suatu ibadah tercampur dengan perasaan karena orang, terpaksa, malu, merasa tidak enak, pamrih ingin dipuji, diperhatikan atau karena kasihan dan lain-lain, maka ini akan merusak nilai pahala ibadah kita. Karena setitik nila, rusaklah susu sebelanga. Karena salah niat, rusaklah pahala amal kita.

....Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya (pahala dunia) niscaya kami berikan balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka tidak akan dirugikan. ltulah orang-orang yang tidak mempe-oleh pahala di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah dikerjakan. [QS Ali Imran ayat 145].

Amal kebaikan yang tidak didasari keikhlasan di dalamnya hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, teman-teman ingat tidak dengan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan namun bukan karena Allah? (Kalau lupa atau masih belum tahu, mungkin lain kali biar diposting).

Dalam salah satu hadits juga diriwayatkan tentang betapa pentingnya meluruskan niat itu. Kita  sering mendengar atau bahkan memakai hadits ini buat dalil (yang kadang tidak tepat dalam pengamalannya).
Dari Umar RA, ia berkata : Saya mendengar Nabi SAW bersabda, "Amal perbuatan itu tergantung niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan dunia yang akan ia dapatkan, atau wanita yang ia akan mengawininya, maka hijrahnya itu akan diberi balasan sesuai niatnya dia berhijrah. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu karena thaat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu akan diberi balasan pahala thaat kepada Allah dan Rasul-Nya SAW". [HR. Bukhari juz 4, hal. 252].

Makna hadits di atas adalah barangsiapa tujuan hijrahnya karena Allah, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah dan barangsiapa tujuan hijrahnya untuk mencari hal-hal yang sifatnya keduniaan atau untuk menikahi seorang wanita maka ia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan jika ke arah maksiat, ia akan mendapatkan dosa.

Dan, keikhlasan dalam beramal/ beribadah itu seharusnya tidak hanya ada saat kita sedang mengerjakannya, tapi juga harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya kita ikhlas ketika beramal, tapi setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan amal tersebut. Apa kita tidak takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal saleh yang menyebabkan tidak diterimanya amal kita itu? Sayangnya, hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh amat sangat merugikan hal yang demikian itu.

Niat dan keikhlasan adalah perkara hati yang urusannya sangat penting. Dan yang paling sulit ditebak adalah isi hati seseorang. Demi Tuhan, cuma dia dan Tuhan saja lah yang tahu.





~KEEP CALM & HAPPY FASTING~




Read more...
separador

Monday, June 27, 2016

Hadits yang Sering Disampaikan dalam Khotbah di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan memang bulan istimewa bagi sebagian besar umat manusia. Masjid-masjid mendadak ramai, 10 hari pertama dan beberapa hari terakhir bulan Ramadhan. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid untuk salat tarawih (bahkan ada yang ingin mencari lailatul qodar di tanggal ganjil 10 hari terahkir). Lalu puncaknya di pagi hari tanggal 1 Syawal saat digelar salat idul fitri.

Biasanya pada salat tarawih dapat dipastikan adanya khotbah tausiyah, dengan beberapa materi khotbah yang berbeda tiap malamnya, yang umumnya berkaitan dengan amalan-amalan di bulan Ramadhan. Para khotib pun punya cara dan gaya masing-masing dalam menampaikan materi khotbah.

Baiklah, yang menjadi perhtian saat ini adalah beberapa landasan/ dalil yang dipakai dalam materi khotbah. Penyampaian khotbah tak luput dari dalil berupa ayat Al-Qur’an maupun hadits. Kalau Al-Qur’an sudah pasti tiada keraguan di dalamnya, tapi kalau hadits, masih patut diragukan kebenaran dan keasliannya.

Ternyata, beberapa hadits seputar Ramadhan yang sering disampakian dalam khotbah salat tarawih ada yang tidak valid/ sahih. Berikut beberapa contohnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ketika tiba bulan Ramadlan Rasulullah SAW bersabda, “Telah datang pada kalian bulan Ramadlan, bulan yang diberkahi, Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa pada bulan itu, ketika itu pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu. Dalam bulan itu ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikan-kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang (dari segala kebaikan)”. [HR. Ahmad juz 2, hal. 230, munqathi’].
Keterangan:
Hadits munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, dalam bentuk apapun. Hadits munqathi’ dianggap dhaif dengan kesepakatan ulama karena tidak terpenuhinya satu syarat dari syarat-syarat diterimanya sebuah hadits, yaitu ittishâl as-sanad (sanad yang bersambung), dan juga karena ketidaktahuan tentang status perawi yang hilang dalam sanad.

Dari Salman, ia berkata : Rasulullah SAW berkhutbah pada hari terakhir bulan Sya’ban, beliau bersabda, “Hai para manusia, sungguh telah menaungi kalian bulan yang agung, bulan yang diberkahi, bulan yang di dalamnya ada satu malam lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya suatu kewajiban, dan shalat malamnya tathawwu’an (sunnah). Barangsiapa mendekatkan diri (kepada Allah) pada bulan itu dengan sesuatu berupa kebaikan, maka dia seperti orang yang menunaikan kewajiban di luar bulan Ramadlan. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban (amalan fardlu) pada bulan itu, maka dia (pahalanya) seperti orang yang menunaikan tujuh puluh kewajiban di luar bulan Ramadlan. Dan bulan (Ramadlan) adalah bulan keshabaran, sedangkan sabar pahalanya adalah surga, dan bulan pertolongan dan bulan yang padanya bertambah rezqinya orang mu’min. Barangsiapa memberi buka kepada orang yang berpuasa pada bulan itu, maka yang demikian itu merupakan ampunan untuk dosa-dosanya dan membebaskan dirinya dari neraka, dan dia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa berkurang sedikitpun dari pahalanya”. Para shahabat bertanya, “(Ya Rasulullah), tidak setiap orang dari kami mesti mempunyai sesuatu untuk memberi makan berbuka kepada orang yang berpuasa”. Maka beliau menjawab, “Allah memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka orang yang berpuasa meskipun berupa sebuah kurma, seteguk air atau sedikit susu. Bulan Ramadlan itu adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya bebas dari neraka. Barangsiapa yang memberi keringanan kepada budaknya, maka Allah mengampuninya dan membebaskannya dari neraka. Dan perbanyaklah pada bulan itu melakukan empat hal, dua hal yang dengannya kalian membuat ridla Tuhan kalian, dan dua hal lagi yang kalian membutuhkannya. Adapun dua hal yang dengannya kalian bisa membuat ridla Tuhan kalian ialah kesaksian (syahadat) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan kalian mohon ampunan kepada-Nya. Adapun dua hal yang kalian membutuhkannya ialah kalian mohon surga kepada Allah dan mohon perlindungan dari neraka. Dan barangsiapa di bulan itu membuat kenyang kepada orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya minum dari telagaku, sekali minum dia tidak akan haus hingga masuk surga”. [HR. Ibnu Khuzaimah juz 3, hal. 191 no 1887, dhaif karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan].
Keterangan :
Tentang perawi ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan tersebut :
-    Ahmad bin Hanbal berkata : ia dhaif
-    Bukhari dan Ibnu Hibban berkata : tidak dapat dijadikan hujjah
-    Nasaiy berkata : ia dhaif
-    Ibnu Khuzaimah berkata : saya tidak berhujjah dengannya karena buruk hafalannya.
Bisa dilihat dalam Mizaanul I’tidal juz 3, hal. 127, no. 5844. Dan Tahdzibut Tahdzib juz 7, hal. 283, no 545.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Ramadlan adalah bulan dimana Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan puasa padanya, dan aku mensunnahkan shalat malam untuk kaum muslimin, maka barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana ketika ibunya melahirkannya”. [HR. Ahmad dari ‘Abdurrahman juz 1, hal. 195, dhaif karena dalam sanadnya ada An-Nadlr bin Syaiban].

Hadits-hadits dhaif (lemah), yang tidak bisa dipastikan asalnya dari Rasulullah SAW, para ulama sepakat tidak boleh dipakai dalam perkara aqidah dan hukum agama. Ada pun penggunaan hadits dhaif untuk perkara menggalakan dan merangsang manusia untuk melaksanakan  fadhailul a’mal (amal-amal utama), akhlaq, kelembutan hati,dan semisalnya, maka para ulama berbeda pendapat.

Pihak yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif untuk amal-amal utama dengan memberikan syarat, antara lain : hadits tersebut kedhaifannya ringan, dan  kandungannya   memiliki dasar yang kuat yang telah ada pada hadits lain yang tidak dhaif, dan hendaknya si penasehat menjelaskan kepada manusia bahwa hadits tersebut adalah dhaif. (Sayangnya, umumnya khotib tidak menjelaskan keterangan kedhaifan hadits yang disampaikannya).

Pihak yang menolak berpendapat selama hadits shahih masih ada, maka cukuplah bersandar dengannya, baik dalam urusan aqidah, syariah, fadhailul a’mal, akhlak, dan semisalnya. Sebab, menyibukkan diri dengan hadits dhaif, akan membuat terlupakannya hadits-hadits shahih. Menggunakan hadits dhaif, sama juga memasukkan ke dalam Islam sesuatu yang bukan bagian dari Islam. Tidak menggunakan hadits shahih, sama juga menghapuskan dari Islam sesuatu yang sebenarnya merupakan bagian dari Islam. Inilah bahayanya.

Hadits dhaif hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini. Allah berfirman:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [QS. Yunus : 36].

Nabi SAW juga bersabda:
Jauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan. [HR. Al-Bukhari no. 5143, 6066 dan Muslim no. 2563, dari Abu Hurairah RA].


Bagi para ulama, ustadz, dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai hadits-hadits dhaif untuk fadhaaa-ilul a’maal, bila tidak sanggup memenuhi persyaratan dibolehkannya mengamalkan hadits dhaif, jangan mereka mengamalkannya. Apa sulitnya bagi mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih saja yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya? Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang dhaif. Dan kita berusaha untuk memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar kepada ummat Islam.


Wallahu A’lam





~KEEP CALM & HAPPY FASTING~



Read more...
separador

Followers