Bulan
Ramadhan memang bulan istimewa bagi sebagian besar umat manusia. Masjid-masjid
mendadak ramai, 10 hari pertama dan beberapa hari terakhir bulan Ramadhan. Orang-orang
berbondong-bondong ke masjid untuk salat tarawih (bahkan ada yang ingin mencari
lailatul qodar di tanggal ganjil 10 hari terahkir). Lalu puncaknya di pagi hari
tanggal 1 Syawal saat digelar salat idul fitri.
Biasanya
pada salat tarawih dapat dipastikan adanya khotbah tausiyah, dengan beberapa
materi khotbah yang berbeda tiap malamnya, yang umumnya berkaitan dengan amalan-amalan
di bulan Ramadhan. Para khotib pun punya cara dan gaya masing-masing dalam menampaikan
materi khotbah.
Baiklah,
yang menjadi perhtian saat ini adalah beberapa landasan/ dalil yang dipakai dalam
materi khotbah. Penyampaian khotbah tak luput dari dalil berupa ayat Al-Qur’an
maupun hadits. Kalau Al-Qur’an sudah pasti tiada keraguan di dalamnya, tapi
kalau hadits, masih patut diragukan kebenaran dan keasliannya.
Ternyata,
beberapa hadits seputar Ramadhan yang sering disampakian dalam khotbah salat
tarawih ada yang tidak valid/ sahih. Berikut beberapa contohnya.
Dari Abu Hurairah, ia
berkata : Ketika tiba bulan Ramadlan Rasulullah SAW bersabda, “Telah datang
pada kalian bulan Ramadlan, bulan yang diberkahi, Allah mewajibkan kepada
kalian berpuasa pada bulan itu, ketika itu pintu-pintu surga dibuka, dan
pintu-pintu neraka Jahim ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu. Dalam bulan
itu ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang
terhalang dari kebaikan-kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang (dari
segala kebaikan)”. [HR. Ahmad juz 2,
hal. 230, munqathi’].
Keterangan:
Hadits munqathi’ adalah
hadits yang tidak bersambung sanadnya, dalam bentuk apapun. Hadits munqathi’ dianggap
dhaif dengan kesepakatan ulama karena tidak terpenuhinya satu syarat dari
syarat-syarat diterimanya sebuah hadits, yaitu ittishâl
as-sanad (sanad yang bersambung), dan juga karena ketidaktahuan tentang
status perawi yang hilang dalam sanad.
Dari Salman, ia berkata
: Rasulullah SAW berkhutbah pada hari terakhir bulan Sya’ban, beliau bersabda,
“Hai para manusia, sungguh telah menaungi kalian bulan yang agung, bulan yang
diberkahi, bulan yang di dalamnya ada satu malam lebih baik daripada seribu
bulan. Allah menjadikan puasanya suatu kewajiban, dan shalat malamnya
tathawwu’an (sunnah). Barangsiapa mendekatkan diri (kepada Allah) pada bulan
itu dengan sesuatu berupa kebaikan, maka dia seperti orang yang menunaikan
kewajiban di luar bulan Ramadlan. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban
(amalan fardlu) pada bulan itu, maka dia (pahalanya) seperti orang yang
menunaikan tujuh puluh kewajiban di luar bulan Ramadlan. Dan bulan (Ramadlan)
adalah bulan keshabaran, sedangkan sabar pahalanya adalah surga, dan bulan
pertolongan dan bulan yang padanya bertambah rezqinya orang mu’min. Barangsiapa memberi buka kepada orang
yang berpuasa pada bulan itu, maka yang demikian itu merupakan ampunan untuk
dosa-dosanya dan membebaskan dirinya dari neraka, dan dia mendapatkan pahala
seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa berkurang sedikitpun dari pahalanya”. Para shahabat bertanya, “(Ya
Rasulullah), tidak setiap orang dari kami mesti mempunyai sesuatu untuk memberi
makan berbuka kepada orang yang berpuasa”. Maka beliau menjawab, “Allah
memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka orang yang berpuasa
meskipun berupa sebuah kurma, seteguk air atau sedikit susu. Bulan Ramadlan itu
adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya
bebas dari neraka. Barangsiapa yang memberi keringanan kepada budaknya, maka
Allah mengampuninya dan membebaskannya dari neraka. Dan perbanyaklah pada bulan
itu melakukan empat hal, dua hal yang dengannya kalian membuat ridla Tuhan
kalian, dan dua hal lagi yang kalian membutuhkannya. Adapun dua hal yang
dengannya kalian bisa membuat ridla Tuhan kalian ialah kesaksian (syahadat)
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan kalian mohon ampunan kepada-Nya. Adapun
dua hal yang kalian membutuhkannya ialah kalian mohon surga kepada Allah dan
mohon perlindungan dari neraka. Dan barangsiapa di bulan itu membuat kenyang
kepada orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya minum dari telagaku,
sekali minum dia tidak akan haus hingga masuk surga”. [HR. Ibnu Khuzaimah juz 3, hal. 191 no 1887, dhaif karena dalam
sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan].
Keterangan
:
Tentang
perawi ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan tersebut :
- Ahmad bin Hanbal berkata : ia dhaif
- Bukhari dan Ibnu Hibban berkata : tidak
dapat dijadikan hujjah
- Nasaiy berkata : ia dhaif
- Ibnu Khuzaimah berkata : saya tidak
berhujjah dengannya karena buruk hafalannya.
Bisa
dilihat dalam Mizaanul I’tidal juz 3, hal. 127, no. 5844. Dan Tahdzibut Tahdzib
juz 7, hal. 283, no 545.
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Ramadlan adalah bulan dimana Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan
puasa padanya, dan aku mensunnahkan shalat malam untuk kaum muslimin, maka
barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala (dari
Allah), maka ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana ketika ibunya
melahirkannya”. [HR. Ahmad
dari ‘Abdurrahman juz 1, hal. 195, dhaif karena dalam sanadnya ada An-Nadlr bin
Syaiban].
Hadits-hadits dhaif (lemah), yang tidak bisa
dipastikan asalnya dari Rasulullah SAW, para ulama sepakat tidak
boleh dipakai dalam perkara aqidah dan hukum agama. Ada pun penggunaan hadits dhaif untuk perkara menggalakan
dan merangsang manusia untuk melaksanakan fadhailul
a’mal (amal-amal utama), akhlaq, kelembutan hati,dan
semisalnya, maka para ulama berbeda pendapat.
Pihak yang membolehkan
mengamalkan hadits dhaif untuk amal-amal utama dengan memberikan syarat, antara
lain : hadits tersebut kedhaifannya ringan, dan kandungannya
memiliki dasar yang kuat yang telah ada pada hadits lain yang tidak dhaif, dan
hendaknya si penasehat menjelaskan kepada manusia bahwa hadits tersebut adalah
dhaif. (Sayangnya, umumnya khotib tidak menjelaskan keterangan kedhaifan
hadits yang disampaikannya).
Pihak yang menolak
berpendapat selama hadits shahih masih ada, maka cukuplah
bersandar dengannya, baik dalam urusan aqidah, syariah, fadhailul a’mal, akhlak,
dan semisalnya. Sebab, menyibukkan diri dengan hadits dhaif, akan membuat
terlupakannya hadits-hadits shahih. Menggunakan hadits dhaif, sama juga memasukkan ke
dalam Islam sesuatu yang bukan bagian dari Islam. Tidak menggunakan hadits shahih, sama juga menghapuskan
dari Islam sesuatu yang sebenarnya merupakan bagian dari Islam. Inilah
bahayanya.
Hadits dhaif hanyalah
mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan
prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini. Allah berfirman:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [QS. Yunus : 36].
Nabi SAW juga bersabda:
Jauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya
sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.
[HR. Al-Bukhari no. 5143, 6066 dan Muslim no. 2563, dari Abu Hurairah RA].
Bagi para ulama, ustadz,
dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai hadits-hadits dhaif
untuk fadhaaa-ilul a’maal, bila tidak sanggup memenuhi persyaratan
dibolehkannya mengamalkan hadits dhaif, jangan mereka mengamalkannya. Apa
sulitnya bagi mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih
saja yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab
hadits lainnya? Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya
kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang dhaif.
Dan kita berusaha untuk memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar
kepada ummat Islam.
Wallahu
A’lam
~KEEP CALM & HAPPY FASTING~
0 comments:
Post a Comment