Monday, June 27, 2016

Hadits yang Sering Disampaikan dalam Khotbah di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan memang bulan istimewa bagi sebagian besar umat manusia. Masjid-masjid mendadak ramai, 10 hari pertama dan beberapa hari terakhir bulan Ramadhan. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid untuk salat tarawih (bahkan ada yang ingin mencari lailatul qodar di tanggal ganjil 10 hari terahkir). Lalu puncaknya di pagi hari tanggal 1 Syawal saat digelar salat idul fitri.

Biasanya pada salat tarawih dapat dipastikan adanya khotbah tausiyah, dengan beberapa materi khotbah yang berbeda tiap malamnya, yang umumnya berkaitan dengan amalan-amalan di bulan Ramadhan. Para khotib pun punya cara dan gaya masing-masing dalam menampaikan materi khotbah.

Baiklah, yang menjadi perhtian saat ini adalah beberapa landasan/ dalil yang dipakai dalam materi khotbah. Penyampaian khotbah tak luput dari dalil berupa ayat Al-Qur’an maupun hadits. Kalau Al-Qur’an sudah pasti tiada keraguan di dalamnya, tapi kalau hadits, masih patut diragukan kebenaran dan keasliannya.

Ternyata, beberapa hadits seputar Ramadhan yang sering disampakian dalam khotbah salat tarawih ada yang tidak valid/ sahih. Berikut beberapa contohnya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Ketika tiba bulan Ramadlan Rasulullah SAW bersabda, “Telah datang pada kalian bulan Ramadlan, bulan yang diberkahi, Allah mewajibkan kepada kalian berpuasa pada bulan itu, ketika itu pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu. Dalam bulan itu ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikan-kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang (dari segala kebaikan)”. [HR. Ahmad juz 2, hal. 230, munqathi’].
Keterangan:
Hadits munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, dalam bentuk apapun. Hadits munqathi’ dianggap dhaif dengan kesepakatan ulama karena tidak terpenuhinya satu syarat dari syarat-syarat diterimanya sebuah hadits, yaitu ittishâl as-sanad (sanad yang bersambung), dan juga karena ketidaktahuan tentang status perawi yang hilang dalam sanad.

Dari Salman, ia berkata : Rasulullah SAW berkhutbah pada hari terakhir bulan Sya’ban, beliau bersabda, “Hai para manusia, sungguh telah menaungi kalian bulan yang agung, bulan yang diberkahi, bulan yang di dalamnya ada satu malam lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya suatu kewajiban, dan shalat malamnya tathawwu’an (sunnah). Barangsiapa mendekatkan diri (kepada Allah) pada bulan itu dengan sesuatu berupa kebaikan, maka dia seperti orang yang menunaikan kewajiban di luar bulan Ramadlan. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban (amalan fardlu) pada bulan itu, maka dia (pahalanya) seperti orang yang menunaikan tujuh puluh kewajiban di luar bulan Ramadlan. Dan bulan (Ramadlan) adalah bulan keshabaran, sedangkan sabar pahalanya adalah surga, dan bulan pertolongan dan bulan yang padanya bertambah rezqinya orang mu’min. Barangsiapa memberi buka kepada orang yang berpuasa pada bulan itu, maka yang demikian itu merupakan ampunan untuk dosa-dosanya dan membebaskan dirinya dari neraka, dan dia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa berkurang sedikitpun dari pahalanya”. Para shahabat bertanya, “(Ya Rasulullah), tidak setiap orang dari kami mesti mempunyai sesuatu untuk memberi makan berbuka kepada orang yang berpuasa”. Maka beliau menjawab, “Allah memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka orang yang berpuasa meskipun berupa sebuah kurma, seteguk air atau sedikit susu. Bulan Ramadlan itu adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya bebas dari neraka. Barangsiapa yang memberi keringanan kepada budaknya, maka Allah mengampuninya dan membebaskannya dari neraka. Dan perbanyaklah pada bulan itu melakukan empat hal, dua hal yang dengannya kalian membuat ridla Tuhan kalian, dan dua hal lagi yang kalian membutuhkannya. Adapun dua hal yang dengannya kalian bisa membuat ridla Tuhan kalian ialah kesaksian (syahadat) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan kalian mohon ampunan kepada-Nya. Adapun dua hal yang kalian membutuhkannya ialah kalian mohon surga kepada Allah dan mohon perlindungan dari neraka. Dan barangsiapa di bulan itu membuat kenyang kepada orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya minum dari telagaku, sekali minum dia tidak akan haus hingga masuk surga”. [HR. Ibnu Khuzaimah juz 3, hal. 191 no 1887, dhaif karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan].
Keterangan :
Tentang perawi ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan tersebut :
-    Ahmad bin Hanbal berkata : ia dhaif
-    Bukhari dan Ibnu Hibban berkata : tidak dapat dijadikan hujjah
-    Nasaiy berkata : ia dhaif
-    Ibnu Khuzaimah berkata : saya tidak berhujjah dengannya karena buruk hafalannya.
Bisa dilihat dalam Mizaanul I’tidal juz 3, hal. 127, no. 5844. Dan Tahdzibut Tahdzib juz 7, hal. 283, no 545.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Ramadlan adalah bulan dimana Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan puasa padanya, dan aku mensunnahkan shalat malam untuk kaum muslimin, maka barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana ketika ibunya melahirkannya”. [HR. Ahmad dari ‘Abdurrahman juz 1, hal. 195, dhaif karena dalam sanadnya ada An-Nadlr bin Syaiban].

Hadits-hadits dhaif (lemah), yang tidak bisa dipastikan asalnya dari Rasulullah SAW, para ulama sepakat tidak boleh dipakai dalam perkara aqidah dan hukum agama. Ada pun penggunaan hadits dhaif untuk perkara menggalakan dan merangsang manusia untuk melaksanakan  fadhailul a’mal (amal-amal utama), akhlaq, kelembutan hati,dan semisalnya, maka para ulama berbeda pendapat.

Pihak yang membolehkan mengamalkan hadits dhaif untuk amal-amal utama dengan memberikan syarat, antara lain : hadits tersebut kedhaifannya ringan, dan  kandungannya   memiliki dasar yang kuat yang telah ada pada hadits lain yang tidak dhaif, dan hendaknya si penasehat menjelaskan kepada manusia bahwa hadits tersebut adalah dhaif. (Sayangnya, umumnya khotib tidak menjelaskan keterangan kedhaifan hadits yang disampaikannya).

Pihak yang menolak berpendapat selama hadits shahih masih ada, maka cukuplah bersandar dengannya, baik dalam urusan aqidah, syariah, fadhailul a’mal, akhlak, dan semisalnya. Sebab, menyibukkan diri dengan hadits dhaif, akan membuat terlupakannya hadits-hadits shahih. Menggunakan hadits dhaif, sama juga memasukkan ke dalam Islam sesuatu yang bukan bagian dari Islam. Tidak menggunakan hadits shahih, sama juga menghapuskan dari Islam sesuatu yang sebenarnya merupakan bagian dari Islam. Inilah bahayanya.

Hadits dhaif hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini. Allah berfirman:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [QS. Yunus : 36].

Nabi SAW juga bersabda:
Jauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan. [HR. Al-Bukhari no. 5143, 6066 dan Muslim no. 2563, dari Abu Hurairah RA].


Bagi para ulama, ustadz, dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai hadits-hadits dhaif untuk fadhaaa-ilul a’maal, bila tidak sanggup memenuhi persyaratan dibolehkannya mengamalkan hadits dhaif, jangan mereka mengamalkannya. Apa sulitnya bagi mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih saja yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya? Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang dhaif. Dan kita berusaha untuk memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar kepada ummat Islam.


Wallahu A’lam





~KEEP CALM & HAPPY FASTING~



separador

0 comments:

Post a Comment

Followers