Tuesday, November 29, 2016

Ujian Nasional

Saya paham, Ujian Nasional itu punya tujuan baik, ada argumen positifnya. Tapi sejak belasan tahun lalu, ada sebuah bisul serius di Ujian Nasional, yang mendesak sekali lebih baik dihapus. Yaitu: mencontek. Ini crazy sekali. Dari Aceh sampai Papua, sudah jadi rahasia umum, Ujian Nasional SD, SMP dan SMA itu jadi ajang contek massal.

Beberapa tahun lalu, saya miris menyaksikan, salah-satu anak SD kelas enam di Surabaya, memutuskan melapor jika dia dipaksa memberikan contekan ke teman2 sekelasnya. Heboh sudah--masuk berita di media massa. Lantas apa hasilnya? Keluarga anak ini malah dimusuhi oleh tetangganya, dibilang sok suci, sok hebat. Saksikanlah, betapa rusaknya pemahaman masyarakat akibat dari Ujian Nasional yang dianggap segalanya. Kalian mungkin lupa dengan kejadian2 ini, tapi sbg penulis, sy mencatat banyak hal lewat tulisan. Setiap Ujian Nasional mau digelar, murid-murid dan guru seolah2 mau perang, doa bersama digelar, bertangisan. Seolah itu hidup mati, penentuan masuk surga atau neraka.

Jika kalian pendukung Ujian Nasional, jangan tutup mata atas fakta ini. Saya tahu, sebagian kecil dari murid SD, SMP dan SMA, memang diberkahi dengan sekolah yang baik, guru yang baik, dan bibit-nya memang baik, mereka tidak akan mencontek. Tapi sebagian besar di luar sana, realitasnya beda dengan yg kita lihat. Keburukan yang timbul akibat Ujian Nasional ini jauh lebih besar dibanding argumen positif yang coba dibangun. Maka daripada terus jadi bisul, melahirkan calon2 “koruptor”, lebih baik dihapus saja. Mari pikirkan solusi yang lebih baik.


Lantas apa pengganti Ujian Nasional? Inilah yang menurut hemat saya, seperti sakit perut, justeru dikasih obat panu. Jaka sembung naik ojek, kagak nyambung jek. Masalah terbesar pendidikan di Indonesia itu bukan soal Ujian Nasional, berhenti menghabiskan waktu membahas soal UN, UN dan UN. Masalah pendidikan Indonesia itu adalah: pemerataan.

Kalian tahu kenapa setiap seleksi masuk sekolah, selalu saja ada murid titipan, murid sogokan, dll di sekolah2 tertentu? Karena semua orang mengotot pengin masuk sekolah top. Lantas kenapa ada sekolah top? Karena pendidikan di Indonesia tidak merata. Ijinkan saya bertanya, kenapa si A di terima di SMA favorit, sementara si B tidak diterima? Jika kalian jawabnya: karena si A ponten ijasahnya lebih bagus, atau karena si A lebih pintar. Jelas sudah, kita sudah berbeda sekali memahami dunia pendidikan. Karena menurut orang2 dulu (seperti Ki Hajar Dewantara), pendidikan itu hak semua orang. Karena si B ini bodoh tak terkira, maka dia jelas lebih mendesak diterima di SMA favorit, biar dia tidak bodoh. Apalagi jika itu sekolah negeri, yang dibayarin oleh pajak rakyat, kenapa si B nggak boleh masuk atas diskriminasi “bodoh” atau “pintar”? Toh, bayar pajak itu, mau “bodoh” atau “pintar”, tetap bayar.

Pemerataan kualitas sekolah ini sangat penting. Tidak harus semua sekolah jadi top semua, setara, tapi minimal kesenjangannya berkurang jauh. Mulailah dari memperbaiki kualitas guru-gurunya, infrastruktur, peralatan, akses, dsbgnya, dsbgnya. Dengan pemerataan kualitas, maka bukan hanya SMA favorit saja yang punya kans murid2nya bisa masuk kampus top, melainkan SMA2 lainnya. Setiap murid, mau dia di pedalaman, di pelosok, mereka juga menerima kualitas pendidikan yang sama. Inilah masalah terbesar pendidikan di Indonesia. Sekali kualitas sekolah2 membaik, banyak masalah selesai dengan sendirinya, termasuk tentang kenapa kita mengotot sekali ada Ujian Nasional.

Saya mendatangi banyak sekolah, tersambung dengan ratusan sekolah di penjuru Indonesia lewat program literasi. Kadang menemukan sekolah (biasanya di kota), yang punya perpustakaan keren, lengkap koleksi Tere Liye mereka. Tapi lebih banyak sekolah yg tidak. Juga banyak yang jangankan perpustakaan, buku saja susah. Mereka senang sekali saat mendapat buku. Cukup berikan satu buku di sana, 200 muridnya bisa baca semua. Bagaimana mungkin murid sekolah yg ini akan bersaing dengan sekolah dgn perpustakaan super?
Mudah melaksanakan pemerataan kualitas sekolah? Tidak. Itu butuh proses panjang. Bahkan data sebaran guru seluruh Indonesia saja entah ada yang punya atau tidak data super lengkapnya. Kita hanya tahu, di kota2, guru2 menumpuk, di pelosok, tinggal sisanya saja. Kita bahkan belum bicara soal kualitas gurunya, dari sisi kuantitas saja penyebarannya sudah tidak merata. Inilah yang seharusnya menjadi strategi raksasa pemerintah, mulai melakukan pemerataan pendidikan.

Sepertinya, setelah sekian belas tahun bnyk orang menggemakan dampak buruk Ujian Nasional ini, pemerintah akan menghapusnya. Cukup sudah dampak dan komplikasi negatif Ujian Nasional kepada murid-murid kita. Sudah saatnya kita semua fokus memperbaiki pemerataan kualitas pendidikan nasional. Kita semua sejatinya adalah guru bagi generasi berikutnya. Saya, kalian yang membaca tulisan ini, orang tua, tukang parkir, menteri, dll, dll adalah guru semua. Kita semua dituntut untuk peduli. Saya, kebetulan sebagai penulis, akan mencoba mengirimkan puluhan buku2 bagi generasi berikutnya. Mendidik karakter mereka lewat cerita. Kalian, mungkin punya cara yg lebih kongkret dan lebih baik. Buat yang merokok misalnya, tidak merokok secara terbuka di depan anak2 kita, remaja2 kita, itu adalah pendidikan. Jangan sebaliknya, eh sudah merokok, nyolot pula kepada orang lain yang berusaha menjaga anak2 kita tidak merokok.

Saya percaya, masa depan pendidikan Indonesia selalu cerah, saat banyak orang bersedia mengambil bagian.

*Tere Liye
separador

0 comments:

Post a Comment

Followers