Monday, May 1, 2017

Every soul will taste death... (2)

Minggu, 8 Januari 2017, sore yang mendung, aku dan adik perempuanku bergegas menuju rumah sakit tempat nenek (kami menyebutnya "mbok") dirawat. Setelah mendapat kabar dari bapak kalau mbok kritis, pikiran kami menjadi tak tenang, kacau, dan semua jadi tergesa-gesa. Mandi dengan cepat, berpakaian dengan kilat. Kami meluncur ke rumah sakit sekitar jam setengah empat. Berusaha sampai sana sesegera mungkin.

Belum seperempat perjalanan menuju rumah sakit, rintik hujan mulai berjatuhan. Kami yang mengendarai motor otomatis berhenti demi untuk mengenakan jas hujan. Kami kembali melanjutkan perjalanan diiringi hujan yang makin menderas tak keruan. Punggung tanganku yang terkena tetesan hujan berasa seperti ditusuk-tusuk benda kecil-kecil yang tajam. Aku meringis tertahan. Matahari bersembunyi di balik luasnya awan abu-abu yang kian menghitam. Menyisakan sinar berupa bulatan kecil putih pucat.

Setengah perjalanan menuju rumah sakit, tak kudapati setetes hujan pun. Demi menghemat waktu, kami tetap mengenakan jas hujan yang masih basah. Di sepanjang perjalanan, kulihat sang surya masih bersinar dengan gagahnya. Jingga, orens, merah, ungu, perpaduan warna indah membentuk panorama senja yang cerah. Aku paling suka menyaksikan detik-detik tenggelamnya sang raja siang. Tapi tidak untuk saat ini…

Berada di keramaian jalan, entah kenapa tiba-tiba aku merasa seperti berada di dalam kegelapan, sunyi, dan sendirian. Khawatir. Takut. Seperti akan ada yang hilang. Tanpa ku sadari setetes bulir air menggelinding di pipiku. Disusul kemudian satu tetesan lagi. Bukan, bukan gerimis ataupun hujan. Ya Tuhan, aku menangis. Tapi  tak begitu kuhiraukan, karena aku harus kembali fokus ke jalan. Melamun saat berkendara sangat berbahaya.

Kami tiba di parkiran rumah sakit sekitar pukul setengah lima. Segera kami melepas dan melipat jas hujan. Tanganku sigap meraih handphone dari dalam tas adikku. Ku dapati ada tiga panggilan tak terjawab dari bapak dan satu pesan dari ibuk. Ku abaikan panggilan tak terjawab itu, fokusku pada pesan yang tertulis “Mboke meninggal dunia, siap siap ngomah”

Demi membaca pesan singkat itu, hatiku hancur luluh lantak seketika. Air mata yang dari tadi kutahan akhirnya bendungannya jebol juga. Menderas di pipi, panas, dan pedih. Belum pernah aku merasakan kehilangan seseorang dengan cara seperti ini. Mbok yang bagai ibu ke dua-ku, yang merawat dan menemaniku bermain sejak aku kecil, kini telah tiada. Tuhan, kenapa Kau memanggilnya secepat ini…??

Aku tahu adikku juga sama terpukulnya dengan kejadian ini. Tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk terlihat tegar. Ia memeluk dan menenangkanku. Lalu kami segera berusaha menemukan keberadaan ibuk di area rumah sakit. Tak memerlukan waktu lama, akhirnya kami melihat sosok perempuan yang kami kenali sebagai ibuk kami. Dari kejauhan ia terlihat bingung dan resah. Kami mendekatinya dan kami temukan kedua mata sembab itu.

Ya Tuhan...

Kami tahu, kematian pasti menghampiri kami, kapanpun, dan dimana pun kami berada dengan cara yang Engkau tentukan. Tidaklah bisa kami mempercepat ataupun memperlambat datangnya malaikat maut menghampiri kami. Tapi sungguh, menjadi saksi sebuah kematian orang yang kami sayang sangatlah berat dan pedih. Kami pun tau Tuhan, bahwa ini adalah salah satu dari sekian jenis ujian dari Mu. 

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan. [QS. Al-'Ankabut: Ayat 57].

Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya). [QS Al-Hijr: Ayat 5]. 

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar," [QS. Al-Baqarah: Ayat 155].

Tambahkanlah kami Tuhan...

Jadikanlah perpisahan mbok kami sebagai akhir yang baik, tempatkanlah mbok kami di tempat terindah di sisi-Mu ya Tuhan...
Dan...
Jadikanlah kami semua tetap dalam iman dan Islam sampai ajal menjelang...



separador

0 comments:

Post a Comment

Followers