Wednesday, May 31, 2017

Nafkah adalah...

"Mau pinjem lagi, Mbak?" Tanyaku pada perempuan paruh baya di depanku.

Perempuan yang sudah setahun ini bekerja di rumah kami untuk bantu beberes urusan rumah, cucian, dan kawan kawannya.

Ia mengangguk.

"Buat apa kalo boleh tau?" Selidikku. Bukan apa apa, seingatku pekan ini adalah pekan terakhir dimana ia baru saja melunasi hutangnya lewat mekanisme potong gaji setiap minggunya. Masa udah mau pinjem lagi?

"Maaf bu.. saya butuh banget buat bayar uang masuk sekolah bungsu saya, Bu.."

Ku lihat ada pendar sedih di matanya. Mungkin antara rasa nekat, khawatir, dan malu jadi satu.

Lalu teringat beberapa hari kemarin. Saat Mbak ART kami ini keceplosan bercerita bahwa semua beban kebutuhan rumah, termasuk bayar kontrakan dan sekolah anak anak, ada di pundaknya.

Upah suaminya sebagai buruh kasar sehari hari, konon hanya berubah menjadi beberapa kotak rokok. Menguap hilang dengan cepat dalam beberapa hari saja. Lalu menyisakan semua pemenuhan kebutuhan berada penuh di panggul sang istri.

Ah, Allah..

***

"Bibi besok dateng?" tanyaku pada asisten rumah tangga di rumah ibu ku.

Saat itu, kami sekeluarga sedang menginap beberapa hari dan butuh bantuan untuk menyelesaikan tumpukan cucian dan setrikaan.

Wanita muda sederhana itu mengangguk riang. "Insyaallah masuk, Neng. Bibi lagi ngejar setoran. Jadi hari libur juga masuk. Biar cepet kekumpul uangnya.."

"Uang buat apa, Bi?" tanyaku iseng. Penasaran.

"Buat bayar sekolah, Neng. Itu.. anak sulung istri pertama suami Bibi mau kuliah. Bibi disuruh cari buat uang pangkalnya.."

Jawabannya membuatku diam.

"Dia yang kawin berkali kali, kenapa Bibi yang harus nanggung duit sana sini?" Ceplosku tak tertahan.

Ia cuma menggeleng sambil tersenyum. Beranjak pamit meneruskan pekerjaannya merapihkan baju.

Ah, Allah.. tiba tiba saja ada sakit yang menyesak nyesak naik ke ulu hatiku..

***

Ku kira menghindarnya lelaki dari soal nafkah menafkahi ini hanya ada dalam kisah keluarga di bawah garis sejahtera. Cuma ada di lingkungan ekonomi menengah ke bawah.

Sampai ku temui sendiri mereka. Keluarga dengan suami yang berlatar pendidikan di atas rata rata.

Istrinya pontang panting bekerja, dari pagi sampai malam. Mencoba memenuhi semua kebutuhan yang ada. Mulai dari cicilan rumah, urusan dapur, sampai sekolah anak anak.

Suaminya -si lelaki dengan pendidikan di atas rata rata itu- memilih menganggur dengan alasan "belum ketemu pekerjaan yang pas".

Pas dengan apa?
Entahlah. Mungkin yang pas dengan standar gengsinya..

Lelaki yang bahkan ketika sang istri mengajukan keinginan untuk resign demi bisa mengasuh anak anak di rumah dengan tangannya sendiri, malah justru balik menghardik.

Menyebut nyebut kasar, jika resign itu dilakukan, lalu bagaimana semua kebutuhan rumah tangga ini akan dibayar?!

Aku cuma bisa bengong mendengar curhatan semacam itu ditumpahkan. Semua kata penghiburan sok bijak yang sudah kusiapkan, menghambur pergi entah kemana..

***

Mas Bro, bukankah memberi nafkah adalah tugas inti dari seorang suami? Bukankah itu adalah bagian dari perbuatan yang akan kau pertanggung jawabkan di akhirat nanti?

Hey Mas Bro, tidakkah kau tahu bahwa meski istrimu menghasilkan uang, tak akan pernah sedikitpun menggugurkan kewajibanmu soal nafkah? Jika pun dengan sukarela ia berikan gajinya untuk dikelola dalam rumah tangga, itu adalah sedekah baginya. Sedang kewajibanmu, akan tetap selalu ada.

Memberi nafkah -kata Ustadz Budi Ashari- adalah bagian dari qawwamah. Aksi nyata kepemimpinan suami. Sekaligus penjagaan atas harga diri.

Nafkah adalah pembuktian cinta seorang suami pada keluarganya. Memastikan kesejahteraan anak istri yang ada di bawah kepemimpinannya.

Nafkah adalah cara seorang lelaki bertanggung jawab, pada Ayah mertua yang dulu ia jabat semasa akad. Bahwa anak perempuan yang sedari lahir dibesarkan dengan penuh cinta dan dipenuhi segala kebutuhannya, akan juga ia bahagiakan dengan kadar yang sama..

Nafkah adalah cara seorang Ayah memberi contoh konkrit pada anak lelakinya. Bahwa lelaki yang berani mengajak perempuan untuk hidup bersama, adalah lelaki yang mampu memberikan kehidupan yang layak baginya. Bahwa memberi nafkah adalah tugas paling terhormat lelaki dalam titelnya sebagai seorang suami..

Lebih dari itu,

Nafkah, Mas Bro.. adalah cara-mu melayakkan diri atas sebutan Qur'an pada dirimu, bahwasanya "Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.." (An Nisa : 34).

Play hard, but work harder. Karena harga dirimu terletak pada kerja kerasmu..

❤Jayaning Hartami

Read more...
separador

Sunday, May 28, 2017

Puasa Kekinian

Berikut hal-hal kekinian bulan Ramadhan yang seharusnya diperbaiki.

1. Shalat tarawih, tapi tidak shalat isya. Lebih-lebih, shalat isya di rumah, baru datang ke masjid pas tarawihan. Lebih-lebih, datang ke masjid hanya buat nongkrong, cuci mata, kagak shalat sama sekali. Jangan lakukan yang beginian.

2. Bukber (alias buka bersama) di resto/hotel atau di manalah, tapi tidak shalat maghrib. Bukber bareng teman itu seru, sekalian silaturahmi. Apalagi ditraktir. Wah seru. Tapi pastikan shalat maghrib tetap ditegakkan. Nah, ada yg lebih kacau lagi, ikut bukber tapi nggak puasa. Mana makannya paling banyak pula. Ndro, situ memang ujian buat teman2nya.

3. Sibuk selfie di masjid. Ayo, masjid itu bukan tempat wisata. Seharian kita sudah bebas mau selfie di mana saja, tidak perlu ditambahi pas di masjid. Jika lagi ceramah, dengarkan dgn baik, bukan malah update foto, update status. Pun main whatsapp, line, bbm. Duuh, hidup tidak sebercanda itu juga. Buat amannya, HP memang tidak perlu dibawa sama sekali. Shalat paling cuma berapa menit, kita bebas main HP 23 jam lainnya seharian.

4. Puasa pol, tapi shalat lima waktu nggak. Yang satu ini sejak jaman dinosaurus hingga jaman android kekinian memang rumit sekali. Banyak yang bisa puasa ramadhan pol sebulan, tapi shalat lima waktunya bolong-bolong. Semoga pas ramadhan, bisa pol juga shalatnya, pun setelah ramadhan. Apalagi yang jomblo, situ tahan menjomblo bertahun2, masa’ shalat 5x sehari saja nggak kuat.

5. Ngurusin badan. Puasa itu betul, bisa jadi momen buat ngurusin badan. Asyik lihat timbangan. Tapi bulan Ramadhan bukan itu tujuannya. Nggak ada: ‘hai orang beriman, berpuasalah, agar besok kamu jadi kurus’. Lagian, kalaupun pas puasa turun 5 kilogram, ntar habis lebaran malah naik 10 kilogram.

Kurang lebih demikianlah. Jika kalian mau nambahi, silahkan tulis di kolom komentar.

*Tere Liye

Read more...
separador

Friday, May 19, 2017

Usia

Waktu kita masih kecil, boleh jadi, di kelas, kita adalah orang paling muda. Dan kita senang dengan fakta tersebut, menjadi yang paling muda diantara yang lain. Beranjak besar, kita juga masih sering menemukan hal tersebut, sebagai yang paling muda di antara sekitar, menyenangkan.

Tapi waktu tidak terasa melesat sangat cepat.

Dulu, pemain bola yang sedang top-topnya, usianya berbeda belasan tahun, dia lebih tua. Sekarang, usia pemain sepakbola yang sedang top-topnya ternyata lebih muda dibanding kita. Artis, pesohor, yang dulu jaraknya jauh dengan kita, seolah mendongak ke atas, sekarang kitalah yang bertahun-tahun lebih tua, menatap ke bawah.

Dan perlahan tapi pasti, di antara sekitar, kita tidak lagi menjadi yang paling muda. Bermunculan orang-orang yang lebih muda. Di sekolah, bermunculan adik-adik kelas. Di kampus, bermunculan angkatan baru. Di kantor, staf-staf yang lebih muda wara-wiri di sekitar kita, dan boleh jadi, mereka ternyata bekerja lebih baik, lebih pintar dan lebih segalanya dibanding kita.

Waktu melesat dengan cepat sekali. Mau kita menyadarinya atau tidak, kita tidak bisa menghentikan secara fisik tubuh kita semakin tua. 10 tahun lalu? Di mana kita? Hari ini, lihatlah di mana juga kita berada. 5 tahun lalu? Apa yang kita lakukan, hari ini, pun lihatlah apa yang sedang kita lakukan. Apakah kita tidak pernah khawatir sekali saja, tidak pernah melihat ke belakang, melakukan evaluasi, apakah kita memang telah berjalan sesuai yang kita cita-citakan, atau boleh jadi, bahkan hingga hari ini, kita tidak tahu apa sih yang sedang kita lakukan, tujuan, entah kemana sebenarnya?

Tuliskan usia kita di atas secarik kertas, tatap lamat-lamat. Jika di sana awalnya sudah angka 2, maka kita bukan lagi remaja. Jika di sana awalnya sudah angka 1, maka jelas kita tidak lagi kanak-kanak.

Kita tidak lagi menjadi yang termuda dalam banyak hal. Pikirkanlah usia kita. Apa yang telah kita lakukan selama ini? Apakah prestasi? Atau hanya menghabiskan waktu tiada berguna. Semoga itu bermanfaat memperbaiki banyak pemahaman.

*Tere Liye

Read more...
separador

Tuesday, May 2, 2017

"25 PENYAKIT PENYEBAB KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA

"25 PENYAKIT PENYEBAB KONFLIK DLM RUMAH TANGGA YANG HARUS DIHINDARI"
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Adalah sebagai berikut:

1. KAPALAN:
Kagak Patuh Al-Qur'an (Anggota Keluarga Sering Melanggar Syari'ah).

2. KUTILAN:
Kurang Tau ilmu Pernikahan (Kurang Memahami Hak dan Kewajiban Suami-Istri, Hak dan Kewajiban sebagai Orang Tua dan Anak, ilmu Pengasuhan dan Pendidikan Anak).

3. KURAP:
Kurang Rapat (Kurang Pertemuan dan Komunikasi Antar Anggota Keluarga).

4. KUTUAN:
Kurang Tau Arah dan Tujuan (Tidak Memiliki Visi dan Misi Keluarga).

5. KUSTA:
Kurang Sabar Meraih Cita (Kurang Sabar dalam menjalani Proses di masa-masa Kesulitan, Kurang Sabar dalam Menunggu Keadaan menjadi Lebih Baik).

6. KUDIS:
Kurang Duit, Selalu Habis. (Tidak pernah merasa Cukup akan Harta yang diterima. Tidak bisa Hidup Sederhana).

7. KUMEL:
Kurang Menghargai Lawan (Tidak Membangun Sikap Saling Menghormati dan Menghargai Antar Keluarga).

8. KUCEL:
Kurang Cerita Ditel (Kurang Mengungkapkan Harapan secara Detail kepada Anggota Keluarga Lainnya)

9. KADAS:
Kagak Adil dan Seimbang (ada hal yang terlalu berlebihan di dalam Keluarga).

10. BISULAN:
Bila Sekedar Uang, Lancar. (Hubungan Keluarga Sekedar Transaksi Ekonomi).

11. MENCRET:
Mencari Yang Ribet (Mempersulit Diri, Tidak Mencari Kemudahan dalam Menjalani Kehidupan).

12. SEMBELIT:
Sedekah, Memberi, Berbagi,
Sangat Pelit.

13. MERIANG:
Menengok istri Jarang (Kurang Terpenuhinya Kebutuhan Biologis Pasangan).

14. KORENGAN:
Koordinasi Enggan Dilakukan (Tidak ada Kerjasama Antar Anggota Keluarga).

15. TIPES:
Tidak Peduli Perasaan (Bila ada Salah Satu Anggota Keluarga bersifat Egois dan Kurang Berempati Terhadap Orang Lain).

16. DIARE:
Dibiarin Aje..! (Tidak Peka Terhadap Permasalahan atau Tidak Mau Berupaya Menyelesaikan Masalah).

17. ASMA:
Asal Menyapa (Pola Hubungan Tidak Bermakna, Pola Komunikasi Tidak Berbobot).

18. ASAM URAT:
Abaikan Simpanan Amal Untuk Akhirat (Keluarga yang Tidak Mempersiapkan Kehidupan Akhirat)

19. ENCOK:
Enggan Cocok (Lebih Banyak Mempermasalahkan Perbedaan Dibanding Mencari Kesamaan).

20. KANKER:
Kehilangan Etos Kerja.

21. MUAL:
Mengabaikan Urusan Halal (Keluarga Tidak Memperhatikan Kehalalan Sumber Harta dan Makanan yang dimakan).

22. JERAWAT:
Jarang Berdo'a Lewat Sholat (Tidak Meminta Pertolongan Alloh SWT dengan Mendekatkan Diri kepada-Nya).

23. INFLUENZA:
Intervensi Luar Menambah Masalah Aza... (Adanya Permasalahan yang ditimbulkan dari Pihak Luar).

24. JANTUNG:
Jarang Berhitung (Bersikap Tanpa Mempertimbangkan Baik Buruknya).

25. MALARIA:
Mencari Pelarian (Memilih Untuk Lari dari Masalah dengan Mencari Pelarian dalam Hal Keburukan).

Insyaa ALLOH...
bahwa Kebahagiaan Rumah Tangga bisa Kita Raih, jika Kita menghidarkan diri dari 25 Penyakit Penyebab Konflik dalam Rumah Tangga tersebut.

Wallohu a'lam.

Bahagia itu BUKAN TAKDIR,
Tapi adalah PILIHAN.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Read more...
separador

Monday, May 1, 2017

Every soul will taste death... (2)

Minggu, 8 Januari 2017, sore yang mendung, aku dan adik perempuanku bergegas menuju rumah sakit tempat nenek (kami menyebutnya "mbok") dirawat. Setelah mendapat kabar dari bapak kalau mbok kritis, pikiran kami menjadi tak tenang, kacau, dan semua jadi tergesa-gesa. Mandi dengan cepat, berpakaian dengan kilat. Kami meluncur ke rumah sakit sekitar jam setengah empat. Berusaha sampai sana sesegera mungkin.

Belum seperempat perjalanan menuju rumah sakit, rintik hujan mulai berjatuhan. Kami yang mengendarai motor otomatis berhenti demi untuk mengenakan jas hujan. Kami kembali melanjutkan perjalanan diiringi hujan yang makin menderas tak keruan. Punggung tanganku yang terkena tetesan hujan berasa seperti ditusuk-tusuk benda kecil-kecil yang tajam. Aku meringis tertahan. Matahari bersembunyi di balik luasnya awan abu-abu yang kian menghitam. Menyisakan sinar berupa bulatan kecil putih pucat.

Setengah perjalanan menuju rumah sakit, tak kudapati setetes hujan pun. Demi menghemat waktu, kami tetap mengenakan jas hujan yang masih basah. Di sepanjang perjalanan, kulihat sang surya masih bersinar dengan gagahnya. Jingga, orens, merah, ungu, perpaduan warna indah membentuk panorama senja yang cerah. Aku paling suka menyaksikan detik-detik tenggelamnya sang raja siang. Tapi tidak untuk saat ini…

Berada di keramaian jalan, entah kenapa tiba-tiba aku merasa seperti berada di dalam kegelapan, sunyi, dan sendirian. Khawatir. Takut. Seperti akan ada yang hilang. Tanpa ku sadari setetes bulir air menggelinding di pipiku. Disusul kemudian satu tetesan lagi. Bukan, bukan gerimis ataupun hujan. Ya Tuhan, aku menangis. Tapi  tak begitu kuhiraukan, karena aku harus kembali fokus ke jalan. Melamun saat berkendara sangat berbahaya.

Kami tiba di parkiran rumah sakit sekitar pukul setengah lima. Segera kami melepas dan melipat jas hujan. Tanganku sigap meraih handphone dari dalam tas adikku. Ku dapati ada tiga panggilan tak terjawab dari bapak dan satu pesan dari ibuk. Ku abaikan panggilan tak terjawab itu, fokusku pada pesan yang tertulis “Mboke meninggal dunia, siap siap ngomah”

Demi membaca pesan singkat itu, hatiku hancur luluh lantak seketika. Air mata yang dari tadi kutahan akhirnya bendungannya jebol juga. Menderas di pipi, panas, dan pedih. Belum pernah aku merasakan kehilangan seseorang dengan cara seperti ini. Mbok yang bagai ibu ke dua-ku, yang merawat dan menemaniku bermain sejak aku kecil, kini telah tiada. Tuhan, kenapa Kau memanggilnya secepat ini…??

Aku tahu adikku juga sama terpukulnya dengan kejadian ini. Tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk terlihat tegar. Ia memeluk dan menenangkanku. Lalu kami segera berusaha menemukan keberadaan ibuk di area rumah sakit. Tak memerlukan waktu lama, akhirnya kami melihat sosok perempuan yang kami kenali sebagai ibuk kami. Dari kejauhan ia terlihat bingung dan resah. Kami mendekatinya dan kami temukan kedua mata sembab itu.

Ya Tuhan...

Kami tahu, kematian pasti menghampiri kami, kapanpun, dan dimana pun kami berada dengan cara yang Engkau tentukan. Tidaklah bisa kami mempercepat ataupun memperlambat datangnya malaikat maut menghampiri kami. Tapi sungguh, menjadi saksi sebuah kematian orang yang kami sayang sangatlah berat dan pedih. Kami pun tau Tuhan, bahwa ini adalah salah satu dari sekian jenis ujian dari Mu. 

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan. [QS. Al-'Ankabut: Ayat 57].

Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya). [QS Al-Hijr: Ayat 5]. 

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar," [QS. Al-Baqarah: Ayat 155].

Tambahkanlah kami Tuhan...

Jadikanlah perpisahan mbok kami sebagai akhir yang baik, tempatkanlah mbok kami di tempat terindah di sisi-Mu ya Tuhan...
Dan...
Jadikanlah kami semua tetap dalam iman dan Islam sampai ajal menjelang...



Read more...
separador

Yang Telah Lama Pergi (baca sampai selesai, diresapi)

Tempat tidur kita lebih empuk, tapi kenapa tidur kita tidak lebih nyenyak dibanding orang tua kita dulu yang hanya tidur di atas tikar.

Rumah kita lebih luas, banyak kamarnya, tapi kenapa tidak terasa lapang dan menenangkan dibanding orang tua kita dulu yang hanya punya rumah sempit dan terbatas.

Mobil, motor, kendaraan kita lebih hebat, tapi kenapa perjalanan yang kita lakukan terasa lama, lambat, menyesakkan dibanding orang tua kita dulu yang kemana-mana jalan kaki.

Makanan kita lebih lezat dan berlimpah, tapi kenapa tidak menyehatkan secara fisik maupun jiwa dibanding orang tua kita dulu yang makan seadanya, terbatas pula.

Semua teknologi membuat kita menghemat banyak hal, masak air pakai dispenser, nyuci pakai mesin cuci, semua bisa dihemat waktunya, tapi kenapa, kita selalu merasa kurang, selalu dikejar-kejar waktu dibanding orang tua kita dulu yang semua serba manual.

Hari ini, kehidupan modern terasa begitu megah, hebat dan canggih, tapi sungguh, kenapa kita semakin beringas, sikut2an, ambisius, dibanding orang tua kita dulu yang kuno dan tertinggal.

Hari ini, kehidupan modern terasa begitu menakjubkan, hotel mewah, pesawat mewah, internet cepat, komunikasi melesat, semua ada, tapi entah kenapa, kebahagiaan tidak kunjung menetap di hati kita, kita lebih sibuk pamer, saling mengumumkan, dibanding orang tua kita dulu yang bahkan tidak punya listrik di rumahnya.

Apa yang hilang dari kehidupan kita?
Boleh jadi: keberkahan.
Yang telah lama pergi. Meninggalkan kita.

*Tere Liye

Read more...
separador

Followers