Tuesday, December 7, 2021

Biarkan Anakmu Sesekali Merasakan Keweca

Aku tinggal di lingkungan yang banyak anak anaknya. Setiap hari disuguhi dengan keriuhan, gelak tawa, teriakan teriakan, hingga pecah tangis anak anak. Sudah biasa. Toh, aku juga memiliki anak kecil.

Anak anak di lingkunganku, semuanya adalah saudara, dari keturunan orang tua dari ibu mertua. Ibu mertuaku adalah anak bungsu dari empat bersaudara, yang semuanya perempuan. Ibu mertua dan ketiga kakaknya tinggal di satu pekarangan. Berlanjut hingga ke anak cucunya. Hanya ada beberapa yang tinggal di luar pekarangan, tapi tidak begitu jauh. 

Aku senang, menjadi bagian dari keluarga suamiku yang banyak dan kompak. Bahkan, ada tetangga bilang kalau keluarga kami ini ternak anak. Ibarat setiap tahun, ada aja yang melahirkan. 

Ada tiga anak yang sepantaran usianya dengan anak pertamaku, yaitu Zidan, Arkha, dan Karina. Arkha adalah keponakanku. Usia anak anak itu sekitar 3,5 hingga 4 tahunan.

Pagi ini, pagi yang sama seperti sebelum sebelumya, kami berkerumun di penjual sayur keliling, Mbah Mariyem, namanya. Mbah Mariyem biasa mangkal di sini sekitar jam setengah delapan. Hanya Hari Minggu yang tidak jualan, libur. 

Bisa dipastikan, selain keramaian emak emak, tak ketinggalan juga anak anak. Minta jajan ini itu. Berebut minta dilayani duluan. Berebut ambil jajanan, siapa yang mengambil duluan, dia yang kebagian. Karena terkadang sudah kehabisan. Jajanan yang banyak diminati anak anak adalah susu kedele, snack, dan permen lolipop limaratusan.

Zidan dan Arkha, adalah yang paling sering berebut jajan. Terkadang salah satu di antara keduanya sampai menangis karena tidak kebagian jajan yang diinginkan. Anakku pun kadang juga berebut dengan salah satu dari mereka. 

"Ibuk, mau susu kedele!", pinta Zidan yang sedikit berteriak, saat melihat Arkha menyeruput susu kedele dari bungkus plastiknya menggunakan sedotan. Zidan datang bersamaan dengan ibunya. Mereka memang sedikit terlambat, hingga kehabisan susu kedele. 

"Habis, Le." Jawab Mbah Mariyem setelah memastikan ketersediaan susu kedele di bronjongnya. 

"Aaaa, susu kedele! Mau susu kedeleeee!" Zidan semakin keras berteriak hingga mengalihkan perhatian para pembeli lainnya. Semua mata tertuju pada anak laki laki, bungsu dari tiga bersaudara itu. 

Sering seperti itu. Aku sudah terbiasa. Namanya juga anak anak. Wajar, bukan? 

"Sudah habis. Besok lagi." Sang ibu mencoba memberi pengertian. 

"Sekaraaang! Susu kedeleee! Huaaaa!" Zidan semakin menjadi, sambil memandangi Arkha, dia mulai mengamuk. Memukuli ban sepeda Mbah Mariyem. Merobohkan kursi plastik yang tak bersalah. Hingga memukuli ibunya. Ibunya hanya diam dan beberapa kali menghindar, tapi tidak barusaha mencegah tangan anaknya mendarat di tubuhnya. 

"Habis, Zi. Besok lagi." Kata sebagian orang yang masih berada di situ. 

"Mas Zidan dikasih, Le." Melihat tingkah Zidan yang heboh, ibu Arkha berinisiatif meminta anaknya untuk berbagi. 

"Gak mau!" Arkha menjauh. 

"Jangan pelit pelit, besok kalo main ke rumah Mas Zidan, gak dipinjemi mainan hlo." Ibunya mulai mengancam, setelah perintahnya ditolak oleh anaknya. 

Aku sedikit menaruh perhatian pada dua ibu dan dua anak itu. Kuperhatikan saja, tanpa ikut angkat bicara. 

"Mas Zidan dikasih sedikit ya, Arkha" Ibu Zidan juga berusaha merayu agar Arkha bersedia membagi susu kedele di tangannya yang kini tinggal separuh.

"Gak mau." Arkha tetap pada pendiriannya. 

"Awas besok kamu gak diajak jalan jalan lagi sama Mas Zidan." Ibu Arkha mengungkit kebaikan yang pernah keluarga Zidan lakukan, berharap agar anaknya gantian berbuat baik pada temannya itu. Membagi susu kedele miliknya. 

"Besok kamu gak tak pinjemi mainan. Besok kalo aku punya makanan, kamu gak tak kasih. Gak diajak ke mall. Kapok!" Anak yang tahun depan masuk TK itu mengungkapkan kekesalannya dengan memberi ancaman pada Arkha juga. Tapi yang diancam tetap diam saja. 

"Ibuk, ayo beli jajan di Mbak Mila!" lanjutnya, setelah gagal mendapatkan apa yang dia inginkan. 

"Arkha pelit!" imbuh Zidan, seraya menarik narik daster ibunya untuk segera pergi ke warung Mbak Mila.

Ibu Zidan mau tidak mau menuruti permintaan anaknya, sebagai solusi agar anaknya tidak merengek dan mengamuk lagi. Mengingat dia sudah lelah dengan segala rengekan anaknya beberapa hari terakhir ini. 

"Minta ini itu, marah, ngamuk, bikin pusing saja!" Keluh ibu Zidan pada satu kesempatan. 

Ya. Orang tua Zidan adalah tipe orang tua yang mudah mengabulkan keinginan anak, tidak tega dengan tangisan anak, tidak tahan dengan amukan anak. 

Pernah aku menyarankan ibu Zidan untuk tidak selalu menuruti semua keinginan anaknya, karena itu juga demi kebaikan diri anak kelak. Tapi sepertinya ibu Zidan lebih tidak tahan melihat anaknya menangis dan mengamuk. Lagipula, orang tua Zidan tergolong orang berada, sehingga mampu menyediakan apa yang anaknya inginkan, meskipun awalnya dibikin kesal dulu oleh perangai anaknya. 

Meskipun begitu, Zidan termasuk anak yang mudah untuk berbagi, tanpa banyak paksaan dan ancaman. Misalkan dia memiliki mainan baru, atau makanan, dan ada anak lain yang kepingin, Zidan mau meminjamkan mainannya barang sebentar, atau membagi sedikit makanan miliknya, demi untuk temannya bisa merasakan.

Selang beberapa menit, ibu dan anak itu kembali dari warung Mbak Mila, terlihat dia membawa beberapa jenis jajanan dan satu unit bus dalam bentuk mainan, yang tentunya tidak dijual oleh Mbah Mariyem. 

Anak itu memamerkan jajanan dan mainan barunya pada Arkha. Balas dendam nih ceritanya. Bisa dipastikan, Arkha akan merengek pada ibunya karena ingin memiliki mainan yang sama seperti yang dibeli Zidan. Tapi sayang, ibu Arkha tidak langsung membelikannya. Lalu pecahlah amukan dan tangisan si Arkha. 

Sering begitu. Aku sudah terbiasa. Namanya juga anak anak. Wajar, bukan?

Satu anak memiliki mainan baru, dipamerkan pada anak lain. Biasanya, dengan jumawa dia akan bilang begini, "Aku punya mainan baruuu, kamu apa punya?" 

Meronta rontalah jiwa kompetisi anak yang dipameri. Dia bakalan minta ke orang tuanya dibelikan mainan yang sama, atau yang lebih bagus daripada mainan yang temannya pamerkan. 

Berulang ulang, begitu terus siklusnya. Menyebabkan menumpuknya berbagai jenis mainan, mulai dari yang masih baru dan bagus, hingga yang sudah usang dan rusak, tapi dibuang juga sayang. Jadilah sebagai koleksi barang rongsokan.  

Itulah yang terjadi di rumah Arkha. Dua kantong plastik besar ditambah satu keranjang laundry, sebagai wadah mainan, itu pun masih kurang. Ada beberapa mainan besar yang tidak muat diwadahi kantong plastik, teronggok di lantai. 

***

Di lain waktu, saat tidak ada kesibukan urusan perdapuran, kami ada kesempatan untuk sekedar bersantai lebih lama. Para emak ngobrol, anak anaknya bermain. Hanya ada Arkha dan Zidan yang bermain di tempat kami ngobrol. Anakku bermain di rumah Karina, bersama teman teman perempuan yang lainnya. 

Tiba tiba... Arkha menangis. Mengadu, habis dipukul Zidan. Biasalah, berebut mainan. 

"Zidan nakaaal. Hwaaaa! Arkha marah marah dan menangis. Dia menarik mobil mobilan miliknya. Mendekat ke arah di mana ibunya duduk.

Yah, begitulah. Karena asyiknya ngobrol, terkadang kami lengah saat mengawasi anak anak bermain, ada saja salah satu yang nangis. 

"Ada apa kok nangis? Rebutan mainan?" Tanya ibu Arkha. 

"Zidan nakaaal" Arkha masih menangis. 

"Sudah, gakpapa. Main bareng lagi sana." Respon ibu Arkha sambil mengusap air mata anaknya. 

Ibu Zidan juga tampak menasihati anaknya, "Zidan, kan sudah punya mainan kayak gitu. Mobil mobilanmu banyak. Punyamu diambil coba, bawa sini. Buat main bareng."

Tangis Arkha mulai reda. Zidan pergi ke rumahnya untuk mengambil mobil mobilan miliknya. 

Mobil mobilan Arkha baru beli beberapa hari yang lalu. Masih terlihat bagus, hanya saja beberapa sticker yang menghiasi mainan itu sudah dilepasi oleh pemiliknya. Tunggu saja, tak lama lagi pasti giliran rodanya yang bakal lepas. Aku yakin itu. 

Zidan datang membawa dua mainan mobil mobilannya. Ukurannya sedikit lebih kecil daripada mobil mobilan Arkha. Di rumahnya, sebenarnya Zidan juga memiliki banyak mainan. Bahkan lebih banyak dan lebih bagus daripada mainan Arkha. Sebagian besar mainan yang sudah rusak, dibuang oleh ayahnya. Tapi, jika kuperhatikan, anak itu selalu merasa mainan temannya lebih menarik daripada mainannya sendiri. 

Beberapa mainan Zidan juga terkadang tertinggal di rumahku, di rumah Arkha, atau di rumah teman yang lain. Ada yang dicari, ada pula yang dibiarkan hingga lama, tidak peduli. Jadi, aku atau ibunya Arkha yang mengembalikan ke tempat pemiliknya. 

Apakah anak laki laki memang begitu ya  sifatnya? Entahlah... Aku belum pengalaman membesarkan anak laki laki hingga seusia mereka. 

Zidan mendekatkan dua mobil mobilannya ke mobil mobilan Arkha. Bukan bermaksud untuk bermain bersama. Tapi untuk bertukar mainan. 

"Aku pinjam mobil mobilanmu, kamu main mobil mobilanku, Kha." Kata Zidan, matanya tak lepas dari mainan milik anak berbadan gempal itu. 

"Gak mau! Ini punyaku hlo." Aku paham yang dirasakan Arkha. Memainkan mainan yang masih baru memang lebih menyenangkan.

"Ibuuuk, ayo beli mobil mobilan kayak punya Arkha!" Rengek Zidan pada ibunya, sambil tangannya menunjuk nunjuk ke arah mainan Arkha. Ibunya bergeming. Mungkin bingung juga harus bersikap bagaimana. 

"Mas Zidan dipinjami, Le. Gantian. Kamu pakai mobilnya Mas Zidan. Biar Mas Zidan pinjam mobilmu sebentar." Ibu Arkha mencoba membujuk anaknya. 

Aku hanya memperhatikan, tidak berkomentar. 

"Gak mau, nanti dibawa pulang Zidan hlo!" Arkha belum merelakan mainannya disentuh orang lain. 

"Enggak. Cuma dipinjam, main di sini. Nanti dikembalikan. Pinjam ya, Arkha?" Akhirnya ibu Zidan berani angkat bicara. 

"Nanti dibawa pulang..." Arkha sedikit ragu. 

"Eh, budhe punya permen, Arkha mau?" kata ibu Zidan, tiba tiba.

"Hlo dikasih permen budhe, mau gak?" ibu Arkaa menambahkan. 

"Budhe kasih permen, tapi Mas Zidan dipinjami mobilnya, ya?" ibu Zidan mencoba negosiasi seraya mengeluarkan permen lolipop, jajanan Zidan yang belum sempat dimakan. 

Arkha kelihatan sejenak berpikir. 

Sesaat kemudian dia mengangguk. Deal.  Mainan mobil mobilannya ditukar dengan sebiji permen lolipop, bonus beberapa biji permen kecil. Dan dia bersedia main dengan mobil mobilan milik Zidan. 

Wow. Terkabullah keinginan Zidan dengan mudahnya.

Lalu dua anak itu bermain bersama dan emak mereka kembali ngobrol bersamaku. 

***

Tadi siang, saat aku momong Hamzah, si bungsu, membawa serta mainan piano kecil milik Arkha. Anakku kegirangan memencet mencet tuts mainan itu. Lalu tiba tiba Zidan datang. Sepertinya dia juga tertarik pada mainan yang dibawa anakku. Beberapa kali aku lihat dia ingin mengambil mainan itu dari anakku, tapi mungkin tidak berani karena ada aku. 

Kubilang pada Zidan untuk memainkannya bersama. Kuletakkan piano kecil itu di kursi, lalu mengajari anakku memencet tuts bareng Zidan. Tapi anakku malah membawanya kesana kemari. Tidak mau main bareng. Zidan membuntuti terus sambil tangannya mencoba meraih piano itu. Tapi gagal. 

Lalu aku pulang, piano kecil itu kukembalikan ke tempat semula, di rumah Arkha. Zidan ingin mengikutiku pulang, tapi urung. 

Selang beberapa lama, saat ada ibunya, Zidan menangis, meraung, menginginkan mainan itu. Dia minta ibunya mengambilkannya di rumah Arkha. Saat itu ibu Arkha juga mendengar tangisan Zidan. Lalu dia mengambilkan mainan itu untuk dipinjam Zidan. Entah dibawa pulang atau dimainkan di sana, aku tidak tahu. 

Dulu, sulungku, Aisyah, juga pernah punya mainan seperti itu. Dipinjam Zidan, lama tidak dikembalikan. Tahu tahu mainan itu sudah rusak, bagian penutup baterainya hilang, dan tidak bisa bunyi lagi. Setelah itu, kalau ada mainan anakku yang dipinjam Zidan, aku tidak membolehkan dibawa pulang, main di rumah saja. 

Sering kulihat, Zidan memperlakukan mainannya dengan kasar. Akrha pun demikian. Jangankan mainan miliknya sendiri, milik orang lain juga sama. Pantas saja, mainan baru cepat sekali rusaknya. Apa memang sifat anak laki laki seperti itu ya? 

***

Sorenya, saat anak anak dan emak emak kumpul di halaman belakang, terlihat Zidan menenteng kotak. Ternyata berisi mainan baru, piano juga, dengan fitur lebih bagus daripada milik Arkha. 

Sekali lagi. Wow. Terkabullah keinginan Zidan dengan mudahnya. 

Anakku yang melihatnya pun tak luput dari rasa ingin memiliki mainan seperti itu juga. Bahkan, saat mainan Zidan dipinjam anakku, Arkha juga ingin memainkannya, padahal dia sendiri sudah punya. 

Anakku merengek minta dibelikan. Apakah aku membelikannya? Atau berniat akan membelikannya? Tidak. Hahaha. 

Beruntung Zidan mau meminjamkan mainannya sebentar, agar teman kecilnya merasakan sensasi memainkan piano baru itu. 

Kuberitahu anakku, kalau dulu dia juga pernah memiliki mainan seperti itu. Pernah memainkannya, lama. Dan itu sudah cukup. Tidak perlu mengulanginya lagi. Anakku bukan Zidan, dan kondisi orang tuanya pun tidak sama seperti orang tua Zidan. 

Setiap aku tidak bisa memenuhi keinginan anakku, aku selalu memberi penjelasan bahwa tidak semua keinginan kita bisa terwujud. Selama kita masih di dunia, itu ada batasnya. Ada keinginan yang bisa terpenuhi, ada yang enggak. Begitu aku menjelaskan. Berkali kali, berulang ulang. Hingga anakku hafal. Kalaupun dia merengek minta sesuatu, itu tidak akan berlangsung lama. 

Ah, anak anak. Makhluk kecil yang terkadang membuat kita lemah. 

***

'Kendalikan anakmu sendiri!' Andai saja batinku bisa bersuara. Sejak dari tadi, bahkan sejak lama, aku ingin melontarkan  kalimat itu. Tapi tak mampu. Hanya bisa terucap pada suamiku saat kucurhati perihal kejadian beberapa hari lalu. 

Jika kejadian seperti itu terjadi antara Zidan dan anakku, mungkin akan lain ceritanya. Tapi, menyaksikkannya terjadi pada anak anak lain, aku hanya bisa berperan sebagai pemirsa. 

Terkadang, kita menjadi orang yang gak enakan. Sulit mengatakan 'tidak' pada orang lain meski itu membuat kita tidak nyaman. Terlebih jika dihadapkan pada saudara sendiri yang lebih berada dan lebih tua. Jadinya kita lah yang mengalah. Bahkan hingga memaksa anak untuk menjadi 'goodboy' di hadapan orang lain. 

Kadang aku heran dengan mereka yang -- entah sadar atau tidak -- menyusahkan diri mereka sendiri, lantas mengeluhkan kondisi yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri.

Dua ibu itu kerap mengeluh karena anaknya kalau menginginkan sesuatu itu harus ada dan segera. Anak jadi tidak sabaran dan tidak mau pengertian.  Nangis, merengek, ngamuk, digunakan anak sebagai senjata untuk mendapatkan keinginannya. 

***

Sekembalinya dari rumah uti kakung, anakku membawa sebuah mobil mobilan kecil, tantenya yang ngasih. Saat main ke rumahku, Zidan, yang notabene mengoleksi hot wheels, tertarik dengan mainan anakku. Dia ingin pinjam, tapi anakku belum mau meminjamkannya. 

Pernah, suatu hari, anakku bersedia meminjamkannya. Dibawa pulang oleh Zidan. Berada di rumahnya hingga berminggu minggu, tak kunjung dikembalikan. Kuminta anakku mengambilnya ke rumah Zidan. Tapi nihil, dia pulang dengan tangan kosong. 

Satu kesempatan, aku bertanya pada ibu Zidan tentang keberadaan mobil kecil milik anakku di rumahnya. Hari berikutnya, ibu Zidan mengembalikannya. 

"Oh, ini punya Aisyah to? Aku gak perhatikan, soalnya mainan Zidan banyak. Kadang tercecer, ketinggalan, jadi aku gak tahu." Kata ibu Zidan sambil menyerahkan mobil mobilan itu. 

"Iya. Makasih ya, Mbak." Jawabku mengakhiri obrolan. 

Setelah kuperhatikan, rasa rasanya ada yang kurang dari mobil itu. Ah, iya, kaca bagian depannya hilang. Copot. Hmm... Gapapa lah, masih bisa dipakai main, ini. Mainan kecil begini biasa aku bawa kalau pergi pergi, buat main si bungsu. 

***

Sekarang Aisyah lagi susah untuk berbagi. Entah itu soal makanan atau mainan. Kuberi tahu Aisyah untuk memberikan sebagian miliknya, Allah suka hlo sama anak yang suka berbagi. Tapi jika si anak tetap tidak bersedia, ya sudah. Aku tidak memaksanya. 

"Kalo Aisyah lagi gak mau ya jangan dipaksa!", begitu kilahnya. 

Pun jika ada anak lain yang tidak mau berbagi dengan anakku, biarlah. Aku tidak akan memaksa anak itu harus mau membagi sebagian miliknya untuk anakku.

Impas, bukan? 

Oke, baiklah. Tidak mengapa jika anak anak sedang tidak ingin berbagi. Ini hanya sementara. InsyaAllah besok kalo Aisyah dan teman temannya sudah usia sekolah, mereka akan lebih mengerti dan bersedia untuk berbagi, dengan ikhlas tanpa paksaan. 

Untuk itu, aku akan membiarkan anakku sesekali merasakan kecewa lantaran keinginannya tidak dapat terpenuhi. Aku juga akan mengendalikan anakku sendiri, bukan mengendalikan anak orang lain maupun menciptakan kondisi sedemikian mungkin demi terwujudnya keinginan anak sendiri.

Dan yang juga penting adalah sikap orang tua dalam menyikapi sikap anaknya. Bagaimana mengajarkan dan meneladani anak anak agar mau berbagi. Pun agar anak mau menerima kekecewaan lantaran tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tugas kita adalah mendampingi sang buah hati menghadapi rasa kecewanya dan memberikan penjelasan rasa kecewa itu ada dan harus diterima dengan lapang dada. 

Sekian. 
Read more...
separador

Tuesday, November 30, 2021

Kaum Miskin yang Pemalas

Berawal dari komenku pada postingan di grup KBM berjudul "Kaum Miskin yang Pemalas" karya mbak Khadijah Az, aku mencoba menuliskan lebih detail komenku tersebut. Orang miskin identik dengan label pemalas. Sering dicemooh, kurang kerja keras sih, makanya miskin, begitulah paradigmanya. 

Tulisan ini bukanlah cerpen, tapi hanyalah obrolan dari sepasang kekasih halal yang menanti pembeli datang kala hujan seharian. Cieee. 

Ini kisah nyata. Boleh dishare kalo memang dirasa ada manfaatnya.

***

Sedari pagi memang sudah hujan dan jam setengah sepuluh warung sudah buka. Hingga jam dua siang, satu pembeli pun belum ada yang datang. Kenapa hujan terus sih, jadinya warung sepi begini kan! Mau mengeluh dan menyalahkan hujan? Tidak. 

Ternyata hujan terus mengguyur hingga petang. Biasanya kalo Hari Sabtu di jam istrirahat siang (kondisi tidak hujan), sudah banyak pelanggan berdatangan. Tapi hari ini tidak demikian. Ngabisin gas buat manasin dandang doang. Hampir menyerah dan ingin tutup warung aja. Lagipula, suami juga lagi kurang enak badan. "Pengen segera istirahat," begitu katanya. 

"Tunggu dulu, Pa, siapa tahu nanti Maghrib rame." Aku masih optimis. 

Mumpung gak ada pembeli yang biasanya silih berganti, kami jadi bisa bercengkerama dengan leluasa. Warung rame, kami senang. Warung sepi, kami tetap bisa bersenang senang. Dan di saat seperti inilah quality time kami dengan keluarga. Mengingat jam kerja kami terhitung setelah subuh hingga malam.

Ngobrol dengan pasangan memang menyenangkan. Adaaa aja bahan yang diperbincangkan hingga diperdebatkan. Sambil menyusui si kecil, aku bercerita tentang acara kuliner di TV yang kutonton sewaktu di Klaten minggu lalu. 

"Pas di Klaten kemaren mama nonton acara makan makan Pa. Warung makannya itu sehari bisa habis 3.000 porsi. Kapan ya Pa warung kita kayak gitu? Butuh berapa tahun membangun usaha bisa sampe segitu?" Kataku, mulai berandai andai. 

Dengan santainya suamiku bilang "Itu udah rejekinya, Ma. Mau usaha kayak apa juga, kalo memang rejekinya segini ya segini."

"Mas itu, bisnis belum ada 5 tahun, udah bisa beli mobil ya Pa. Kayaknya mau beli ruko juga."

"Tapi belum punya rumah sendiri, kan?"

"Ya kan itu target selanjutnya, Pa. Bisnis sukses. Beli kendaraan yang lebih nyaman. Beli rumah. Pergi umroh."

"Bukankah kita dulu juga punya target semacam itu, Ma? Papa masih kerja, punya penghasilan tetap. Bisnis kita lancar, punya karyawan. Beli mobil buat anter jemput keluarga dengan nyaman. Nabung buat haji. Nyekolahin anak anak di sekolah IT. Investasi beli tanah di perkampungan."

Seandainya... 

Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Mengingat kejadian tiga tahun lalu. 

Dulu, tiga tahun lalu, rejeki kami berupa uang itu berlimpah, dari beberapa sumber. Ibarat kalo satu sumber tutup, hati tenang karena masih ada cadangan dari sumber lain. Tanpa sadar, ketenangan dan kebahagiaan hati kami tergantung pada sumber penghasilan kami. Misalkan uang jatah bulan ini habis sebelum waktunya, ah, tenang, bentar lagi suami gajian. Mendadak butuh biaya, ah tenang, bisa jual burung Murai. Menyandarkan masa depan pada harta benda. Apakah ini yang disebut syirik atau takabur? Entahlah... 

Yang jelas, setelah itu, Allah ambil semua sumber penghasilan kami secara bersamaan. Mudah saja bagi Allah melakukannya, bukan? Ternak burung dan perhiasanku habis terjual buat tambahan biaya bangun rumah. Warung steak, bangkrut dan akhirnya tutup. Suami juga diberhentikan dari kerjaannya. Menyisakan satu saja, warung mie ayam bakso. Itupun tidak sesukses dulu, ibarat mulai usaha lagi dari nol. Nyesek banget rasanya. 

"la haula wala quwwata illa billaaahh!" Spontan aku teriak. Merasakan perih dan ngilu di bagian dadaku. Segera kupencet hidung bayiku agar melepas gigitannya. 

"Hamish, gak boleh gigit. No, no, no. Mama sakit." Kataku, sambil menggoyang goyangkan jari telunjuk di hadapan Hamish sebagai isyarat larangan. Ia hanya meringis, memperlihatkan gigi susunya yang baru tumbuh enam biji, kemudian kembali menyusu. 

"Allah kasih kita kondisi seperti ini, karena Allah tahu yang terbaik buat kita, Ma. Meskipun terkadang kita gak terima.  Mungkin saja, kalo kita kaya, serba kecukupan, kita lalai dengan ibadah kita. Fokus kerja, cari uang. Papa shalat jamaah di mushola jadi kelupaan. Shalat Jumat, khotbahnya sering ketinggalan." Lanjut suamiku. 

"Mungkin kalo kita kaya, papa pergi sama selingkuhannya, bawa aset rumah tangga. Menelantarkan mama sama anak anak." Candaku.

"Bisa jadi begitu." Suamiku membernarkan dan kami berdua tertawa hingga Hamish mendadak berhenti dari menyusunya. Lalu ikut berceloteh. 

Iya kan? Bukannya laki laki itu paling gak tahan diuji dengan harta, tahta, dan wanita?

Alhamdulillah, kami tinggal di lingkungan  keluarga yang paham tuntunan agama. Pengajian di majelis, rutinitas kami setiap Hari Kamis. Dengan begitu, setidaknya jika dihadapkan pada masalah yang dirasa begitu berat, kami tidak sampai kehilangan arah dan pegangan. Masih ada yang mengingatkan, masih ada iman. 

Kami jadi mengerti, bahwa kaya atau miskin itu ujian. Dilapangkan rejekinya bukan berarti Allah sayang, disempitkan rejekinya bukan berarti Allah gak sayang.

Dulu sewaktu usaha suami lancar jaya, bisa dengan mudah beliau ngasih motivasi ke teman temannya. Kalau pengen usaha lancar itu harus begini begitu, jangan pakai modal uang haram, ini itu, bla bla bla, jangan riba. Ibadah sunnah yang rajin, duha, tahajud, sedekah pagi, dsb, dst. Tapi ternyata itu salah. Meskipun tak sedikit orang yang mempraktikkannya demi kelancaran bisnisnya. 

"Kalo menjadi kaya ditentukan dari rajinnya ibadah, banyaknya sedekah, giat dan kerasnya dalam bekerja, berarti orang seperti kakung mestinya jadi orang kaya ya, Pa." 

Kakung (bapak mertuaku), banyak yang mengakui ibadah beliau rajin dan istiqomah. Rutin puasa Senin Kamis, sekarang puasa Daud, malah. Tahajud, Duha, gak pernah ketinggalan. Absen shalat 5 waktu ke mushola cuma kalo lagi bener bener gak bisa berdiri untuk jalan ke sana. Selalu baca Qur'an dan terjemahannya sehabis Subuh dan Maghrib. Sedekah, iyuran di pengajian majelis, ikut serta. Di sela sela aktivitas beliau, atau saat kumintai tolong pegang Hamish sebentar, beliau selalu berzikir, istighfar. Pun tak ketinggalan rajin kerja, bantuin ibu mertua bikin rambak, jualan bahan kebutuhan untuk warung anak anaknya. Tapi kenapa kakung tidak termasuk orang kaya? 

"Sayangnya bukan begitu konsep rejeki dari Allah, Ma. Kebanyakan orang itu menganggap rejeki adalah uang. Padahal, kesehatan juga termasuk rejeki, tak ternilai harganya malah. Coba, jadi orang kaya tapi sakit sakitan, gak bisa menikmati hidup kan jadinya."

Satu hal yang tak kupungkiri, rejeki yang Allah kasih ke kakung adalah sifat qona'ah, yang belum tentu orang lain bisa mendapatkannya. 

"Bagi sebagian orang, kerja, cari duit, gak melulu orientasi dunia, Pa. Tapi juga orientasi akhirat, buat ibadah, sedekah, naik haji, bahagiain ortu, kan juga butuh biaya." Aku melihat sisi lain alasan kenapa kita perlu rajin usaha untuk bisa kaya. Bermanfaat bagi sesama. 

"Memang kita gak menafikkan itu, Ma. Semua butuh duit, perlu biaya. Tapi kalo memang belum rejekinya, mau sekeras apapun berusaha, ya gak bakal dapet. Tapu kalo udah rejekinya, ibarat belum lahir aja udah kaya. Anak anak sultan.  Jangan jangan kita merasa kita bisa kaya karena jerih payah, karena kepandaian dan kehebatan kita. Jangan jangan, kita merasa udah kerja keras, ibadahnya rajin, sedekahnya rutin, tidak zalim, lantas kita berhak minta pada Allah untuk menjadikan kita kaya. Memangnya balasan dari sebuah ibadah itu adalah kekayaan?"

Hmm... Aku mulai berpikir lebih serius. 

Teorinya, usaha tidak akan menghianati hasil. Realitanya, ada orang yang udah hard work ditambah smart work tapi hasilnya tetap tak seberapa, tidak seperti yang diharapkan. Lantas mengeluh, marah, kecewa, bahkan sampai putus asa. Kok hasilnya cuma segini aja? Padahal mati matian udah berusaha. 

Manusiawi kalo kita sempat mengeluh. Terbesit rasa iri menyaksikkan hasil yang diperoleh orang lain bisa lebih, padahal cara bekerjanya sama. Rasa syukur terkikis hanya karena melihat warung orang lain lebih laris. Dan aku tidak menampik kehadiran perasaan semacam itu. 

Kita manusia biasa, bukan manusia yang terjaga dari dosa. Hanya saja, bagaimana kita menyikapi keluh kesah dan rasa iri itu. Apakah akan terus dipupuk dan dipelihara, ataukah akan dipupuskan dengan melebihkan rasa syukur kita. Dari sekian banyak ujian dari Allah, ternyata, kasih sayang-Nya jauh lebih banyak, kalo kita mau menyadari. 

"Katanya, kerja itu ibadah. Perkara balasan dari ibadah itu urusan Allah. Entah mau dibalas berupa pahala, berupa kekayaan, keberkahan, kesehatan, keharmonisan rumah tangga, dibebaskan dari hutang, dikasih anak anak sholih sholihah, terserah Allah. Kita jalani aja peran kita. Ibadah. Berharap Allah ridho." Suamiku melanjutkan penjelasannya setelah menangkap sinyal kebingungan dari raut wajahku. 

Beberapa ibadah memang ada yang perlu modal, perlu duit. Tapi Allah gak menilai sedekah dari kita sedikit atau banyak. Allah juga gak memaksa semua hamba-Nya kudu haji. Lah kalo memang kita cuma mampu sedekah dengan senyum manis tulus ikhlas, mau gimana? 

Sedekah banyak gapapa, yang penting ikhlas. Daripada sedikit tapi diungkit ungkit. Ya kan? 

Contoh ibadah korban. Perlu duit buat beli hewan korban. Effort nya akan lain, bagi si kaya dan si miskin. Sapi seharga puluhan juta, mudah aja bagi si kaya. Tapi penuh perjuangan bagi si miskin untuk sekedar beli kambing seharga 3 juta. Apakah Allah menilai banyak sedikitnya duit untuk beli hewan korban? 

Andai anak Nabi Ibrahim banyak, mungkin aja hatinya gak begitu berat untuk mengorbankan satu anaknya. "Dikorbankan satu gapapa Ya Allah, anakku masih banyak ini." Tapi ternyata lain, anak Nabi Ibrahim cuma satu, istimewa pula, dan itupun dapetinnya lama. Level perjuangan, keihklasan, dan kesabaran kita berbeda beda. Rejeki kita pun berbeda beda. 

"Motivator motivator itu bilang, katanya kalo mau sukses harus mau keluar dari zona nyaman, harus mau belajar, investasi leher ke atas, gitu gitu lah Pa." 

"Gampang aja, Ma, orang kalo ekonominya lagi di atas, bilang ini itu, bisnis mestinya begini begitu. Coba kalo ekonominya lagi di bawah, akan lain ceritanya. Tapi memang itu salah satu bentuk ikhtiar kita dalam menjemput rejeki. Kita kerja keras. Belajar sana sini. Keluar dari zona nyaman. Mungkin di luar sana banyak orang yang bahkan belum pernah merasakan zona nyaman. Tapi ternyata gak sukses sukses. Gak kaya kaya. Rejeki itu beda beda, Ma." Begitu penuturan suamiku. 

Sebagai pedagang mie ayam bakso, yang warungnya tak kunjung seramai dulu, kami pernah membeli resep dan belajar langsung dari pedagang yang udah sukses. Katanya kalo ingin sukses, belajarlah dari orang yang sudah sukses. Tiru kebiasaannya, copy cara dia berdagang. 

Setengah juta kami keluarkan untuk belajar. Tapi setelah resep itu diterapkan ternyata hasilnya sama aja. Begini begini aja. Akhirnya suami belajar sendiri, mengotak atik resep, berharap lebih banyak diterima pembeli. 

Terkadang kami juga membandingkan kualitas dagangan kami dengan dagangan pedagang lain. Dari sekian warung yang pernah kami coba, tak luput dari komentar kami, seperti.... "Mie ayam rasa kayak gitu kok bisa laris banget, sehari bisa habis 10 kg. Padahal jauh enak punya kita, tapi  punya kita gak pernah tembus habis 5 kg."

Bukan bermaksud merasa dagangan kami paling baik, tapi hanya ingin membandingkan. Apa yang membuat istimewa pada dagangan orang lain sehingga mendatangkan banyak pelanggan. 

Sering ada pelanggan cerita ke suami, sambil makan di warung, mereka bilang: 

[Bakso di warung A gak enak, tapi laris. Padahal enak di sini].

[Mie ayam di tempat si B padahal rasanya biasa, tapi pelanggannya banyak. Enak di sini menurutku].

Itulah, kadang kami heran. Orang yang husnudzon mikirnya, itu memang rejeki dari Allah. Kalo yang su'udzon mikirnya, ah palingan pake penglaris. 

Hanya Allah yang tahu. 

Dari situlah kami lebih memahami bahwa, rejeki benar benar dari Allah dan terserah Allah mau melapangkan atau menyempitkan untuk siapa. Bukan sepenuhnya karena kualitas produk yang dijual, bukan karena lokasi berdagang yang strategis, bukan pula karena kepiawaian si penjual dalam berdagang. 

Jadi, hati kami pun lebih tenang saat pembeli tak kunjung datang, meskipun kami udah kerja nyiapin dagangan dari subuh menjelang. Ada pembeli alhamdulillah, belum ada pembeli ya alhamdulillah. Memang lagi segini rejekinya. 

Kami bersyukur, memiliki warung di rumah sendiri, tak perlu bayar sewa, tak perlu repot bongkar pasang tenda juga. Pun tak perlu kemana mana demi menjajakkan dagangannya. Bahkan kami tak perlu susah payah berteriak agar pembeli datang. 

Tiba tiba terdengar teriakan dari luar, lewat pintu belakang. 

"Mamaaa, Jasmine minta uang!" Oh, ternyata sulungku yang baru pulang dari main. Terlihat rambutnya yang lepek dan basah terkena gerimis.

"Mama gak punya uang, Nak. Warung papa belum ada yang beli" Penjelasan logis dariku yang pasti gak bakalan diterima oleh Jasmine. 

Beginikah rasa sakit tapi tak berdarah? Anak minta uang sekedar buat jajan, tapi sebagai orang tua tak mampu mewujudkan. Inikah salah satu alasan kenapa kita perlu menjadi kaya? 

"Kita gak kaya di dunia, gak perlu berkecil hati, besok di akhirat orang orang miskin masuk surganya lebih dulu daripada orang orang kaya. Gapapa miskin di dunia, semoga di akherat bisa kaya." Kata suamiku, sambil berganti baju koko untuk shalat. 

Tak terasa sudah dua waktu shalat terlewati tapi tak kunjung ada pembeli. Dan aku harus berkutat dengan dua balita ini. Yang kecil gak mau ditinggal, yang besar merengek terus minta uang. 

Saat lagi gak bisa ngasih uang jajan, aku cuma bisa ngasih wejangan. Anak sekecil Jasmine, mana bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Tapi tetap saja aku menceramahinya untuk menahan nafsunya untuk jajan. 

"Gak semua hal bisa keturutan sekarang, Jasmine." Meskipun mantraku tak langsung mempan, setidaknya itu akan menjadi kebiasaan, dan semoga tertanam dalam ingatan. Berharap kelak Jasmine akan mengerti bahwa gak semua keinginan bisa langsung dikabulkan. 

"Mama, Jasmine mau hujan hujan ya? Ya, Ma?" Belum mendapat persetujuanku, Jasmine udah langsung ngibrit ke luar. Ah, anak itu, energik sekali. Sekarang susah mengajaknya tidur siang. Kubiarkan saja dia main hujan, daripada terus terusan minta jajan. Toh dari pagi dia belum mandi, dan sekarang udah menjelang sore. Sebentar lagi waktunya TPA. 

Semenjak gagalnya bisnis suami, beliau memahami bahwa rejeki (berupa harta) itu adalah yang paling rendah, tapi kebanyakan orang mengusahakannya dengan susah payah. 

Minta pada Allah, Allah kan Maha Kaya. Begitu kata beberapa orang, menyemangati. Apakah Allah Maha Kaya, lantas kita juga berhak minta dijadikan kaya, mendapatkan segala keinginan kita? Aku bukanlah ahli agama, juga bukan ahli ibadah. Kadang aku malu sama Allah, minta segalanya tapi ibadah sekedarnya. Lebih menginginkan sesuatu yang padahal nilainya lebih rendah daripada sesayap nyamuk.  

Ngapain ngoyo? Wong kita hidup sehat, masih bisa makan (meski gak 3x sehari), dan dikelilingi orang orang baik, itu udah bisa bikin kita tetap hidup dan beribadah dengan lancar. Itu termasuk rejeki, yang biasanya tidak kita sadari. Kita udah kaya. Terhindar dari meminta minta. 

Lagipula, definisi miskin (di zaman Nabi) adalah orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya untuk hari ke depan sehingga berhak mendapat santunan, berupa zakat. Sayangnya zaman sekarang udah jauh berbeda. Orang punya tempat tinggal, makanan, kendaraan, bahkan perhiasan, masih merasa miskin, sehingga merasa berhak menerima bantuan, dari pemerintah. 

Miskin atau kaya, itu ujian. Susah atau mudah, juga ujian. Maka dari itu, hati hati dengan ujian berupa "kemudahan", membuat terlena. Terkadang jadi merendahkan orang lain yang hidupnya susah. Menganggap orang lain miskin karena tak mau berjerih payah. 

Jam empat. Setelah puas main hujan, lalu mandi, dan bersiap TPA. Hujan masih belum kunjung reda. MasyaAllah, anak itu benar benar luar biasa semangatnya. Meskipun hujan, tetap ingin berangkat.

Aku mengantarkan Jasmine ke masjid tempat TPA, suamiku menjaga si kecil dan menunggu warung. Hingga Jasmine selesai TPA dan Maghrib menjelang.... 

"Misi, maaas!" Terdengar suara dari depan. Saat itu suamiku lagi berada di kamar mandi. Jadi aku yang merespon panggilan tadi.

"Nggih?" Jawabku. Sambil berjalan menghapiri sumber suara. 

"Bakso 7, mieso 2, Mbak," kata laki laki yang kutaksir seumuran suamiku, yang sekarang berdiri di depanku bersama anak perempuannya. 

"Bakso 7?" Seoalah ragu dengan jumlah porsi bakso yang dia pesan karena suaranya terdengar samar oleh suara hujan dan kendaraan yang bersliweran. 

Laki laki itu mengiyakan. Lalu aku memanggil suamiku untuk menyiapkan pesanan, aku membantunya membungkus saos dan sambal. 

Setelahnya, ada beberapa pembeli yang datang hingga warung tutup, aku tak tahu pastinya berapa. Begitulah cara Allah mendatangkan rejeki-Nya.

Aku jadi teringat postingan di status WA temanku. [Jangan khawatir soal rejekimu sebab Allah sudah menjaminnya. Tapi khawatirkanlah amalanmu sebab tidak ada yang menjamin surga untukmu]. 

"Alhamdulillah, ada uang buat bayar gas sama gula." Kata suamiku setelah menghitung penghasilan hari itu. 

"Ada sisa buat ditabung, Pa?" Aku berharap ada sisa untuk mengisi celengan khusus jatah bayar hutang. 

"Gak ada, Ma. Omset hari ini gak nyampe dua ratus. Semoga besok insyaAllah ada."

Beruntungnya kami, bisa ambil gas, gula, atau bahan bahan lainnya di kakung, bayarnya nanti kalo udah ada hasil jualan. Terkadang beberapa hari baru bisa bayar. Jualan makanan begini, saat sepi pembeli, resiko membuang dagangan karena udah gak layak makan. Rugi, itu pasti. Pasang surut dalam usaha, membuat kami terlatih menghadapinya. Sudah terbiasa. 

Kita bukan pemalas, bukan pula kurang bekerja keras, hanya saja rejeki kita tidaklah sama. 

Nabi SAW pernah bilang, akan datang suatu zaman, mencari rejeki itu mudah, kecuali dengan cara halal. Zaman sekarang kah? Semoga kita terhindar dari mencari rejeki dengan cara yang tidak dibenarkan. 

Sekian.  

Warung sudah tutup. Kami mau istirahat, karena esok kami harus tetap berjihad. Semangat! 
Read more...
separador

Tuesday, November 16, 2021

Pelajaran dari guru kecilku

Hari ini aku kedatangan tamu bulanan. Itu berarti pertanda akan ada lebih banyak teriakan, omelan, dan kemarahan. Selama tamu bulanan datang, moodku jadi gampang berantakan. Mood swing dadakan. Semula bisa bercanda bareng anak anak dengan riang. Tiba tiba karena kesalahan kecil yang mungkin tidak disengaja, membuatku berubah jadi monster garang. Haaawwrrr...!!

Kondisi seperti ini membuatku gak bisa tenang. Aku gak nyaman. Bahkan, pas lagi nglipetin baju, hanger hanger pada nyangkut aja kuomeli gak karuan. Bawaannya aku tu jadi emosian. 

Malam ini, saatnya aku bersiap untuk bedtime dengan duo krucilsku (3.5 tahun dan 1 tahun 3 bulan). Sebelum tidur, biasanya kami bermain dulu, becanda, sambil nonton TV, juga baca buku. Ritual sebelum tidur semacam itu bisa menghabiskan waktu hingga dua jam penuh. Bahkan kalau si sulung sempet tidur siang, malamnya dia ngajak main hingga larut. 

Ada satu hal spesial dari si sulung yang menarik perhatianku. Di sela sela kami bermain atau baca buku, dia selalu mengingat perihal kesalahan yang dia buat di hari itu. Meminta maaf lalu memelukku. Oh, my sweetheart, I love you. 

Pernah suatu hari, sulungku bilang begini. 

👧🏻 Mama, Jasmine minta maaf yaa, tadi udah teriaki mamanya. Dokdok dokdoki tembok keras keras, trus barang barangnya jatoh.
🧕🏼 Iya. Mama maafkan. Jangan diulangi lagi yaa. 
👧🏻 Iya, Ma. 

Lalu, kamipun ber-teletubbies-an.

Hari ini, rasanya aku udah bertindak berlebihan. Si adek yang masih kecilpun tak luput kena amukan. Aku kelelahan. Pikiran tertekan karena tuntutan kerjaan. Aku jadi marah marah gak karuan. 

Adek nangis terus, bikin emosiku memuncak. Dikasih nenen, malah digigit, dan sakitnya tuh terasa hingga ke ubun ubun, Mak. Tangisnya yang tak kunjung reda, membuat teriakanku makin menyalak. Sebenarnya aku tahu kalau si adek juga lelah dan ngantuk, tapi dari tadi belum bisa tidur dengan nyenyak. 

Di saat aku riweh nenangin si adek yang masih nangis dalam pangkuan, Jasmine malah manjat naik naik ke pundakku. Tubuhnya yang kecil kurus, terasa banget tulang lututnya menekan punggungku. "Sakit tau!" Hardikku pada anak itu. Lalu dia menjatuhkan tubuh ke depan, salto, melewati pundakku. 

Aku ingin lekas bisa istirahat. Tapi anak anak ini secara bersamaan minta perhatian. Gimana adek bisa lekas tidur kalo embaknya aja masih pecicilan?!  Pusing pala mamak, Naaakk!! 

Setelah susah payah bergelut dengan si kecil, akhirnya dia bisa kutaklukan. Dia bisa anteng ngenyut nenen hingga ketiduran, sambil aku membacakan buku buat kakaknya. Suasana panas hatiku pun mulai mereda. 

Ciri khas anak kecil kalau sedang dibacakan buku adalah, dapat dipastikan akan selalu ada intermezzo-nya. Dan benar, di sela sela membacakan buku yang berjudul "Siapakah Allah?", anakku selalu bertanya, atau sekedar bicara hal hal yang random sifatnya. 

👧🏻 Mama jangan kasar kasar dong sama adek. Kasihan. 
🧕🏼 (Deg! Bagai digampar tepat di mulut yang tadi sempet keluar nada tinggi) Iya, mama minta maaf, tadi mama berlebihan. Mama lelah.
👧🏻 Ya. Jangan diulangi yaa. (Dia tumbuh menjadi peniru ulung).
🧕🏼 Mama salah, tadi mama gak jadi anak sabar. Mama marah marah. 
👧🏻 Ayo kita peluk mama biar mama gembira (Sambil merentangkan kedua tangan mungilnya). 

Dan kamipun berpelukan. Clesss. Bagaikan api kesiram air hujan. 

👧🏻 Laptapdop walakal jannah. Janganlah marah, bagimu surga. 
🧕🏼 Laa-tagh-dhob walakal jannah.
👧🏻 Laa tak dop. 
🧕🏼 Laa-tagh... dhob... 
👧🏻 Lap tap dop. Jasmine gak bisa! 
🧕🏼 Janganlah marah, bagimu surga. Maksih ya Jasmine, mama udah diingatkan. Orang kalo sering marah marah, besok gak boleh ke surga hlo.
👧🏻 Iya. Besok Jasmine kalo di surga mau makan permen buanyaak, mau makan buah buayaaak....
🧕🏼 Boleh. Makanya, Jasmine juga jangan marah marah ke mama, yaa. Biar kita bisa ke surga sama sama. 
👧🏻 Iya, Mama. 

Lanjut baca buku. 

🧕🏼 Allah yang menciptakan tiap anggota tubuh kita dan masing masing fungsinya.  
👧🏻 Ini nyanyinya gimana, Ma? (Sambil nunjuk gambar manusia dengan keterangan anggota tubuhnya dalam Bahasa Arab dan Indonesia).
🧕🏼 Kepala ro'sun, rambut sya'run, mata 'ainun, hidung anfun, telinga udzunun, dada shadrun, leher unufun, famun mulut, lisanun lidah, sinnun gigi, yaddun tangan, rijlun kaki, ashabiun jari jariiii (Nyanyi lagu TK pada zamanku dulu).
👧🏻 Sun, rambut, run, mata 'ainun, telinga, nun, run ...... jari jariiiii (Jasmine bisanya ngikuti nyanyi di suku kata terakhir terakhir).
🧕🏼 Besok Jasmine kalo udah sekolah juga diajari nyanyi nyanyi kayak gini. Diajari berdoa, juga hafalan. Tadi Jasmine di TPA belajar apa? 
👧🏻 Belajar ba ta sa. Ba ta sa. Gitu. 
🧕🏼 Iqro'? 
👧🏻 Iya.
🧕🏼 Yang ngajar siapa?
👧🏻 Mbak Muti'ah. 
🧕🏼 Hla Mbak Husna, ngajar siapa? 
👧🏻 Ngajar Mas Alif lah.
🧕🏼 Jasmine TPA-nya yang rajin yaa. Biar jadi anak shalihah, anak baik, bisa baca Al Qur'an. 
👧🏻 Iya, Mama. Jasmine suka TPA. 
🧕🏼 Alhamdulillah. Besok kalo baju BTS-nya udah nyampe, dipake TPA yaa, dipake ngaji juga (Akhirnya, Jasmine memperoleh apa yang dia inginkan, yaitu baju motif BT21, yang sebelumnya memang aku dan suami tidak setuju untuk membelikannya).
👧🏻 Makasih, Mama. Jasmine dibelikan baju BTS. 
🧕🏼 Iya, sama sama. Biar Jasmine lebih semangat TPA-nya.

Kembali kami berpelukan. 

Untuk ke sekian kali di setiap malamku, anakku, melati-ku, guru kecilku, memberikan positive vibes buatku. Evaluasi diri setiap malam menjelang tidur. Menenangkanku. Memelukku. Dialah mentari yang datang setelah mendung. Dialah alasan hadirnya senyuman di wajahku.

Tumbuh dewasalah seperti namamu, Jasmine, si bunga melati. Meskipun mungil tapi semerbak mewangi. Memberi manfaat bagi orang orang sekeliling. 
Read more...
separador

Tuesday, November 2, 2021

BTS

Demam BTS melanda semua kalangan, mulai dari remaja hingga anak anak. Termasuk anak perempuanku (3,5 tahun). Minta dibelikan baju BTS, meja belajar BTS, tas BTS. Serba BTS.

👧🏻 : Mama, Jasmine dibelikan baju BTS.
🧕🏼 : BTS itu apa?
👧🏻 : BTS ya BTS. 
🧕🏼 : Mama nggak tahu.
👧🏻 : BTS itu koya.
🧕🏼 : Mama tahunya koya bubuk yang di soto. Ya, Pa?
👨🏻 : Iya. Jasmine ambil bawang putih itu hlo, dihancurkan, bikin koya.
👧🏻 : Bukan koya yang di soto!
🧕🏼 : Hla apa? 
👧🏻 : BTS ya BTS!

Suara anak wedok mulai meninggi, karena menganggap emaknya yang gak gaul, gak ngerti idola yang lagi ngehits di kalangan teman teman sepermaian anaknya. Hahaha. Makanya Jasmine jadi sebel lalu merengek dan teriak teriak. Nyebut nyebut be-te-as-be-te-es terus. 

Sebenarnya, emak gak bego bego amat soal apa itu BTS. Setidaknya bisa googling lah. Memang sih, gambar karakter BTS, lebih tepatnya yang diinginkan Jasmine adalah BT21 (Gabungan dari BTS dan abad 21) ini imut dan lucu lucu. Pantas juga dipakai untuk pernak pernik anak anak. Pantas saja anakku juga suka. Sekilas, emak juga sedikit tertarik. Ups!

👧🏻 : Besok kalo Jasmine udah besar, Jasmine mau beli baju BTS sendiri!
👨🏻 : Hello Kitty aja, Min.
👧🏻 : Jasmine gak mau Hello Kitty! Maunya BTS! Jasmine mau meja berajar BTS!
🧕🏼 : Be-te-as-be-te-es, Jasmine ikut ikutan temennya?
👧🏻 : Aaaaa! BTS! 
🧕🏼 : Jadilah dirimu sendiri to, Min. Gak usah ikut ikut temennya. 
👧🏻 : Nek gak dibelikan baju BTS, mama tak gebuk!
🧕🏼 : Mengancaaam terus. Teriaki mamanyaaa terus. Jasmine mau menyakiti mama? Iya?
👧🏻 : Hla makane mama kui, Jasmine belikan baju BTS!
🧕🏼 : Memang kalo pakai baju BTS trus jadi cantik apa? Memang kalo pake meja belajar BTS trus jadi keren?
👧🏻 : Iya lah. Keren.
🧕🏼 : Kata siapa? 
👧🏻 : Kata Erin.

Dan masih berlanjut perdebatan antara emak dan anak mengenai BTS.

🧕🏼 : Gak usah ikut ikut temennya. Keluarga kita punya aturan sendiri. Keluarga mereka punya aturan sendiri. Mereka pakai BTS, terserah. Tapi keluarga Pak Arief gak usah be-te-as-be-te-es-an.
👧🏻 : Aaaaa! Jasmine mau baju BTS! Papa, ayo ke Taman beli baju BTS! Papaaa! 
👨🏻 : Hujan, Min. Gak usah BTS BTS. Gak usah ikut ikut temennya. (Bapaknya paling gak setuju kalo anak wedoknya mengidolakan BTS, yang entah benda apa itu).
👧🏻 : Papa, ayo ke Alfamart! (Eh, ganti haluan dia. Alfamart memang salah satu tempat favoritnya sih. Hahaha).
👨🏻 : Enggak. Kemaren udah ke sana. 
👧🏻 : Aaaaa! Ke Alfamart!
🧕🏼 : Jasmine. Listen. Dengerin mama. Coba perhatikan. Jasmine gak bisa keturutan beli baju BTS, tapi Jasmine bisa keturutan punya buku banyak, temennya gak keturutan punya buku banyak. Ya kan? Gak harus pakai baju BTS, anak mama tetap cantik. Gak harus meja belajar BTS, Jasmine tetap keren. Ada yang bisa keturutan, ada yang gak bisa keturutan. Gak semua bisa keturutan, Jasmine. 
👧🏻 : Gak semua hal, gitu hlo. (Eh, bisa bisanya dia ralat ucapan emaknya).
🧕🏼 : Hahaha. Iya. Gak semua hal bisa keturutan, Jasmine. (Emak ketawa kan jadinya).
👧🏻 : Mama kok gembira?
🧕🏼 : Soalnya Jasmine lucu. Hahaha. 

Sedikit bisa meredakan suasana yang memanas. Saking seringnya emak bilang ke Jasmine kala dia merengek minta ini itu, "Gak semua hal bisa keturutan, Jasmine." Dia sampai hafal. Hahaha. 

🧕🏼 : Kita ini masih di dunia, Jasmine. Ada batasnya. Gak bisa semua hal keturutan. Kalo di surga, gak ada batasnya. Semua semua bisa. 
👧🏻 : Jasmine mau makan buah buanyak buanyak di surga. 
🧕🏼 : Bisa. 
👧🏻 : Jasmine mau makan permen, es krim, mau main HP lama lama. 
🧕🏼 : Boleh. 
👧🏻 : Jasmine mau pake baju banyak banyak di surga. 
🧕🏼 : Pakai baju banyak banyak ya gak bisa lah. Pakai ya satu satu. Kalo banyak banyak, nanti gimana? Hahaha. 
👧🏻 : Hahaha. 
🧕🏼 : Di surga itu bajunya warna hijau hlo. Warna kesukaan Jasmine. 
👧🏻 : Jasmine mau baju yang buanyaaak sekali. 
🧕🏼 : Boleh. Kan di surga gak ada batasnya. Mau apa apa boleh. 

Akhirnya, keinginan Jasmine akan BTS mereda, gak meledak ledak kayak tadi. Sejauh ini sih, untuk menghadapi Jasmine yang merengek minta ini itu, pakai jurus "dunia vs surga" terbukti manjur. Hahaha. 

Masing masing keluarga memiliki aturan sendiri. Keluarga kalian begini begitu. Keluarga kami pun ingin ini ingin itu banyak sekali. Tapiiii... Selama masih di dunia, ada batasnya. Dan terbatas pula kemampuan orang tua memenuhi segala keinginan anaknya. 

Apapun itu. Entah anak minta jajan, mainan, nonton HP, tidak boleh berlebihan. Untuk urusan memenuhi keinginan anak  (keinginan hlo ya, bukan kebutuhan), kami berprinsip "Mending anak nangis sekarang daripada gedenya anak bikin kita nangis". Artinya apa? Lebih baik menyaksikkan anak kita merengek nangis nangis kejer minta sesuatu yang tidak begitu penting baginya, daripada selalu menuruti keinginannya dan menjadikan dia anak manja yang kalau keinginannya tidak keturutan akan marah marah ngamuk bahkan sampai menyakiti fisik dan perasaan orangtuanya.

Semoga kelak Jasmine paham bahwa yang mama dan papa lakukan adalah demi kebaikan Jasmine. Karena, sesuatu yang kamu sukai, belum tentu baik bagimu. Dan sesuatu yang kamu benci, belum tentu buruk bagimu. Jadilah anak baik, nurut kata Allah, contoh perilaku Rasulullah, dengerin nasihat orang tua. 

Semoga juga, mama dan papa jadi ortu yang dowo ususe dan jembar segarane. Hehehe.

Salam,
Emak emak non Army
Read more...
separador

Friday, August 13, 2021

Mama, minta uang!

~ Mama, minta uang! 

Kemarin siang, saat anak lanang terbangun dari tidurnya lalu kugendong dengan jarik, nemplok di pangkuan sambil nenen, merem. Tiba tiba sesosok mungil datang menghampiriku. Ternyata Jasmine, anak wedokku yang paling kintung kintung yang kini berusia hampir tiga setengah tahun. 

Disusul oleh saudara sepupu sekaligus sepersusuan yang juga seumuran Jasmine. Nama aslinya Azka, namun memiliki banyak julukan : Kadut, Kaduot, Galengsong, Mbah Rorot, Andrung, Gendrang, Sapi Mandrowng, Anang Anang Umplung, dan juga Cilor Mak Trong. Besok besok entah apa lagi julukan selanjutnya. Julukan julukan itu tercipta karena palafalan kata kata yang masih belum jelas oleh dirinya sendiri. Andrung, itu maksudnya dia bilang 'anggur'. Gendrang maksudnya adalah 'gendar', Sapi Mandrowng adalah 'sapi brenggolo', kalau Anang Anang Umplung itu bukan bermaksud mengejek Mas Anang, melainkan lafal dari 'mangan ra mangan ngumpul.' Kalau Cilor Mak Trong itu adalah 'cilor maklor.'

Kalau aku lebih sering memanggilnya dengan sebutan Kadut, singkatan dari Azka Gendut. Seorang saudara yang dulu sering bantuin momong yang ngasih julukan itu. Soalnya dulu waktu masih bayi, dia gendut dan menggemaskan. Yang jelas, semua julukan itu lucu, bagi yang mendengar dan memangilnya dengan nama itu. [Sebenarnya ini nggak baik,  memanggil nama orang dengan sebutan yang orang itu tidak suka. Jangan ditiru ya]. Karena si anak dan emaknya merasa fine fine aja dipanggil dengan nama nama itu, yaudah teruskanlah. Wkwkwk. 

Kadut membawa selembar uang abu abu bernilai dua ribu. Aku tahu, dia pasti minta diantar jajan oleh Jasmine ke warung Ibuk Alif. Ibuk Alif, dia menyebutnya demikian, bukan karena si pemilik warung bernama Alif, melainkan pemilik warung adalah ibu dari anak bernama Alif. 

Kadut nggak berani ke sana sendiri. "Edi, edi edus!" [Takut wedus], alasannya. Sampai sekarang bicaranya memang belum begitu lancar, tapi justru di situlah letak humorisnya bagi para pendengar. Sepanjang jalan ke warung Ibuk Alif padahal nggak ada wedusnya. Lagian jarak dari rumahnya ke warung juga sangat dekat. Nggak nyampai dua menit jalan kaki. Wong cuma di belakang jarak empat rumah. 

Kadut takut melewati jalan itu karena pernah suatu hari, dia ke sana sendiri, terdengar suara mengembik persis suara kambing. Sebenarnya itu hanya suara orang yang pura pura jadi kambing. [Yah, begitulah akibat anak sering ditakut takuti, tumbuh menjadi anak penakut. Jangan ditiru dan jangan diteruskan ya].

Nah, berkat ajakan Kadut, Jasmine terdorong untuk juga memiliki uang di tangan. Lalu, dia mencari cara buat dapatkan uang dengan instant. Dengan cara ngepet, tentunya. Eh, bukan, dengan cara malak emaknya. 

"Mama, minta uang!" Suaranya yang khas terdengar mengusik kupingku dan kuping adeknya yang sedang kupangku. Cempreng, kecil, dan melengking, itulah suara anak gadisku. 

"Mau buat apa?" tanyaku. 

"Buat jajan," selalu itu yang menjadi tujuannya minta uang. Mbok ya sekali kali itu minta uang buat modal dagang gitu hlo. Kalau berhasil kan uangnya bisa jadi banyak. 

"Jasmine tadi pagi sudah jajan, kan?" Sebelum mengucurkan dana buat jajan, berusaha nego dulu. Ini adalah salah satu keahlian yang harus dimiliki seorang emak yang sekaligus menjabat sebagai bendahara keluarga. 

"Aaa, jajan lagi!" Nggak mau kalah dia rupanya.

"Mau jajan apa lagi?" Aku mulai curigesion bak detektif contan.

"Ngg... Jajan bisfit." Bisfit itu bukan merk jajanan baru ya buibu, itu cuma lidah anakku aja yang belum lancar bilang bis-ku-wit dengan cepat. Kalau bilangnya perlahan dia bisa. 

"Biskuit? Hmm... Coba diingat lagi, tadi pagi Jasmine sudah jajan apa aja? Tadi pagi udah jajan biskuit yang ada coklatnya, kan? Dua malah."

"Minta uang!!" Eh, malah ngotot dia. 

"Jajannya besok lagi."

Tidak terima dengan jawaban emaknya, Jasmine mulai menggeledah rak kecil di meja dapur. Di situ memang terkadang terselip uang kembalian. Ra kotang, eh, ra ketang seribu dua ribu, uang lembaran maupun koin alias kricikan. Dia mendapatkan beberapa uang koin. Kutaksir sejumlah tiga ribu limaratus rupiah. Tepat. Soalnya memang aku yang naruh uang itu di situ. Wkwkwk. 

Secepat kilat menyambar, uang koin dari genggaman Jasmine berpindah ke tanganku. Otomatis dia merengek berusaha mengambil kembali uang itu. Eits, nggak berhasil, karena kuletakkan di tempat yang lebih tinggi dari rak tadi. Ketinggiannnya di luar jangkauan Jasmine. 

Cerdik juga anak ini. Dia manjat kursi buat naik ke meja demi bisa meraih uang yang kutaruh di tempat lebih tinggi tadi. Sebelum tangan mungilnya berhasil meraih uang itu, tanganku menyambar terlebih dahulu. Jasmine terduduk di meja. 

Jasmine mulai meradang, amarah tak terbendung dia luapkan dengan cara menangis, berteriak, bahkan melempar beberapa benda yang berada di meja ke arahku.

"Minta uaaanngg!! Whaaaaaaa!!" Teriak Jasmine hingga terlihat gigi giginya beserta anak lidahnya. Si adek jadi terbangun lagi, melepaskan hisapannya dari dadaku, tapi tetap duduk diam di pangkuan. Kadut sampai menangkupkan keduabelah tangannya ke masing masing kupingnya. Teriakan melengking Jasmine membuat kuping pengang rasanya. 

"Jasmine, pelankan suaramu. Itu mengganggu." Aku mencoba mengerem amarahnya. 

"Whaaaa!! Tak balang, pie?" Tangannya meraih tudung saji kecil berwarna pink. Dilemparkan ke arahku. Lemparannya tidak mantap. Ada keraguan. I see. Sebenarnya dalam dirinya ada rasa takut kalau sampai menyakiti emaknya yang cantik ini, di sisi lain dia kesal karena keinginannya tidak bisa terpenuhi.

"Jasmine mau menyakiti mama?" 

"Whaaaa!!" Kuanggap itu sebagai jawaban 'tidak' yang tak terucapkan karena gengsi.

"Jasmine, enggak teriak. Jasmine mau ke surga kan? Di surga nggak ada orang yang teriak teriak. Semua orang gembira. Di surga, mau minta apa aja boleh, nggak ada batasnya. Banyak banyak boleh. Ini kita masih di dunia, ada batasnya, Jasmine. Kendalikan dirimu. Nggak semua hal yang Jasmine minta bisa didapatkan sekarang juga. Nggak semua yang Jasmine inginkan bisa langsung terlaksana." Khotbahku di Hari Kamis pada anakku yang sedang dilanda amarah. [Sebaiknya kalau mau ngotbahi anak, lebih efektif saat suasana hatinya sedang hepi sih. Tapi ya gimana lagi, udah kek spontan gitu, nyrocos aja bawaannya. Ini juga karena sifat alamiah perempuan yang bisa ngeluarin setidaknya sebanyak duapuluh ribu kata per hari. Dah kayak novel di KBM aja nih. Wkwkwk].

Jasmine bergeming. Mungkin sambil mencerna kata kataku. Sejak dulu, aku memang sering menceritakan tentang surga ke Jasmine. Tertanam dalam pikirannya bahwa di surga itu Jasmine boleh minta apa aja sebanyak apapun. Tentu Jasmine sangat tertarik untuk ke 'tempat' semacam itu. Tapi dengan catatan : melakukan perbuatan baik biar dibolehkan Allah ke surga-Nya. 

Perbuatan baik dan buruk akan dicatat oleh malaikat. Perbuatan baik dicatat oleh malaikat Roqib sedangkan perbuatan buruk dicatat oleh Malaikat Atit. Lalu dilaporkan kepada Allah di Hari Senin dan Kamis. Begitulah aku memberi tambahan penjelasan tentang surga pada balitaku. Sambil sedikit kubumbui dengan acting mencoret coretkan jari telunjuk tangan kanan ke telapak tangan kiri seolah menulis. Seraya bilang 'Jasmine perbuatan buruk : melempar barang barang, teriak teriak, menyakiti mamanya.' Atau di lain kesempatan 'Jasmine perbuatan baik : mau minjemi Kadut sepeda.' Begitu terus, berulang ulang, setiap ada kesempatan.  

"Dut, Kadut pulang aja dulu. Jasmine lagi marah." Anak itu menuruti permintaanku, mungkin batinnya juga anyel karena gagal jajan di warung Ibuk Alif. [Sorry hlo, Dut. Jadilah anak pemberani yang bisa jalan ke sana sendiri].

Melihat kawannya pulang, tangis dan teriakannya mereda. Tapi kakinya mulai menendang nendang dengan kasar kursi yang tadi dia pakai untuk manjat ke meja. 

GLODHAK! Kursi itu terjungkal. Anak lanangku menyaksikkan tapi tetap diam, mungkin karena kantuknya masih belum hilang. Kepalanya kembali menyandar di dadaku. 

"Mama, turun!" Seraya Jasmine merentangkan kedua tangan pertanda ingin diturunkan dari tempatnya berada. 

"Enggak. Salah sendiri nendang nendang kursi. Jadi nggak bisa turun, kan?"

"Mama, gendong!!" Tangisnya kembali ke mode on, diikuti teriakan teriakan berikutnya.

"Sabar. Tunggu papa pulang dari masjid." 

"Whaaa!! Turun, turun, turuuunn!!" Teriakannya makin keras, badannya mulai terlihat resah, menggeliat kesana kemari hingga tak sengaja menyenggol segelas teh hangat. Untung gelasnya nggak pecah.

"Astaghfirullah, Jasmine! Coba lihat akibat perbuatanmu! Ini teh hangat yang tadi kamu minta, udah mama buatkan. Mama cariin kamu tapi nggak ada. Datang datang minta uang. Marah marah." Suaraku mulai meninggi akibat melihat lantai yang becek dan kotor. Karena belum keramik, kalau lantai dapur kena air, jadinya becek dan ngepelnya susah. Mana tumpahannya mbleber mbleber lagi. Ck! 

"Mama, gendong, gendong, gendooong!" Aku paham betul kebiasaan Jasmine, saat suasana hatinya sedang tidak baik baik saja, dia pasti merengek minta gendong. Meskipun sudah umur tiga tahun, dia masih suka minta gendong barang cuma sebentar. Dalam gendonganlah Jasmine merasa nyaman, perlahan bisa menata perasaannya kembali. Kalau sudah puas digendong, dia akan minta turun dengan sendirinya. 

"Mama lagi nggak bisa nggendong" Lagian aku memang nggak bisa menggendong dua bocah sekaligus. "Tetap di situ dulu. Tunggu papa pulang."

"Turun, turun, turuun!" Jasmine tetap merengek. Hingga akhirnya mendapati bapaknya sudah pulang dari masjid. 

Kusambut dengan "Jangan diturunkan dulu, Pa!" dan dibalas dengan ekspresi 'ada apa ini?'

"Minta maaf!" Masih duduk di meja,  Jasmine mengulurkan tangan kanannya pertanda mengajak damai. Suaranya terdengar masih ketus. Begitulah anakku. Setelah tadi maksa minta uang tapi gagal, sekarang maksa minta dimaafkan. Kau yang mulai, kau yang mengakhiri. Wkwkwk.  

Bapaknya mendekatkan badan ke meja,  berniat menurunkan anak gadisnya. Hup! Tubuh mungil Jasmine berpindah nemplok ke dada bapaknya. Digendong depan. Bapaknya tetap tidak menanggapi dengan kata kata. Hanya sedikit gerakan ke kanan ke kiri seperti menimang nimang. 

"Kesalahan Jasmine apa kok minta maaf?" Tetap dong dengan introgasi dulu. Harus digenahkan, biar Jasmine tahu kenapa perlu minta maaf. 

"Nggg... Jasmine numpahin teh hangat. Tapi Jasmine nggak sengajaa..." Masih terdengar sedikit isakan tangisnya. 

"Coba lihat ini Pa, akibat Jasmine marah marah." Aku mengadu. "Bukan karena itu kesalahannya" Langsung nge-switch ngomong ke Jasmine. 

"Nggg..." biar mikir dia. "Jasmine, ngg... Lempar itu ke mama," sambil nunjuk tudung saji pink tergeletak di lantai.

"Apa lagi?"

"Jasmine teriak teriak."

"Apa lagi?" Main tebak tebakan biar nggak marah marah terus.

"Jasmine... Jasmine nggak tau!" Nyerah dia. Hahaha. 

"Jasmine... Maksa maksa... Minta uang" Aku memberitahu dengan perlahan alasan utama semua kekacauan ini, yang mengharuskan dia minta maaf. 

"Coba kalau tadi Jasmine nggak maksa maksa minta uang. Coba kalau tadi Jasmine kendalikan keinginan jajannya. Nggak marah marah."

Diam sejenak. 

"Jasmine minta maaf ya, Maa..." Entah kenapa tiba tiba hatiku iba, merasa terharu. Ya Allah, anak gadisku.

Tak menunggu waktu lama, masih dalam gendongan bapaknya, kusambut uluran tangan mungilnya. Kuciumi ubun ubunnya. "Lain kali jangan diulangi ya. Mama juga minta maaf, nggak bisa langsung kasih uang ke Jasmine, mama minta maaf jadi ikutan marah tadi..."

"Ya..." Nada suaranya merendah.

"Yaudah, mandi dulu sana, biar seger" [Maksudnya, secara nggak langsung itu nyuruh bapaknya buat mandikan Jasmine].

Sekian.
Saya, emak Jasmine yang lagi hobi jajan.
Eh, nyusun kalimatnya gimana sih? Biar maksudnya tuh si Jasmine yang hobi jajan, bukan emaknya. Emaknya mah hobi makan. Wkwkwk.
Read more...
separador

Monday, August 9, 2021

Gegara Energen Kurma

Tadi selepas isyak, emak lagi neneni Adek Hamish, bocahnya sudah setengah tertidur di pangkuan ini. Tiba tiba terdengar suara glodak glodak mendekat, diikuti suara suara anak kecil. Ternyata Chacha yang bersepatu roda datang dengan duo krucil, yaitu Kadut dan Jasmine. 

Otomatis emak ber-ssstt dengan isyarat diacungkan jari tengah, eh, jari telunjuk, ke arah tiga bocah itu. Berharap mereka memelankan suaranya agar Adek Hamish tidak terbangun. Soalnya ini sudah kali ke tiga Adek Hamish nenen, lalu ditaruh di box-nya, lalu terbangun. Rasanya kan jadi pengen tak-hih, gitu. 

Chacha : Ma, Ma! [suara Chacha terdengar buru buru]
Emak     : Sstt... 
Chacha  : Ma, anu, Jasmine ngambil susu kotak gede hlo, Ma.
Emak      : Susu kotak nendi?
Chacha   : Neng sokes (showcase).
Emak      : Apa iya, Jasmine?
Jasmine : Hla anu hlo, Jasmine mau susu.
Emak      : Tapi itu bukan susu milik Jasmine. Itu susu punya siapa? 
Chacha   : Punya Chacha.
Jasmine : Hla Jasmine minta.
Emak      : Kalau mau minta, harus bilang dulu, minta izin ke yang punya. Boleh atau enggak.
Chacha  : Ho'o hlo, Min. Itu susunya Chacha.
Kadut     : Ho'o, Min.
Jasmine : Kadut ojok melu melu! [nada bicaranya mulai meninggi, hampir mau marah]
Chacha   : Susune sampe tumpah tumpah hlo, Ma.
Kadut      : Ho'o yo, Cha.
Emak      : Memang Jasmine ambil susu mau buat apa?
Jasmine : Mau buat Energen.
Emak      : Energen cara bikinnya nggak pakai susu, Jasmine. 
Jasmine : Hla tapi ada gambar susunya hlo.
Emak      : Iya, tapi cara bikinnya pakai air panas, bukan susu.
Jasmine : Jasmine mau susu. 
Emak      : Kalau mau susu, bilang, jangan ambil milik orang lain. Itu namanya mencuri. Kalau mencuri itu dihukum sama Allah, tangannya dipotong. 
Jasmine : Punya Jasmine hlo.
Emak      : Bukan, itu susu bukan milik Jasmine, tapi milik Chacha. Tadi Jasmine ambil di rumahnya Chacha kan? Bukan di rumah Jasmine. Berarti itu susunya Chacha, bukan susunya Jasmine. 
Jasmine : Punya Jasmine!
Emak      : Ambil susunya, Cha. Kembalikan. 

Chacha berusaha ngambil susu kotak 1 liter yang tadi dituang Jasmine, lalu mengembalikan ke tempat semula. Kadut ikut serta. Jasmine turut membuntutinya, merengek, berusaha mencegah, tapi gagal. Lalu Jasmine balik lagi ke tempat emak yang lagi neneni berada. 

Emak      : Nanti biar Energennya dibikinkan papa.
Jasmine : Pakai susu.
Emak      : Enggak Jasmine.
Papa       : Nanti dibikinkan papa, Min. [nyaut dari kamar mandi]
Jasmine : Minta maaf sek. [sambil mengulurkan tangan mungilnya].
Emak      : Jasmine kesalahannya apa? 
Jasmine : Jasmine ngambil susunya Chacha. 
Emak      : Jangan diulangi ya. 
Jasmine : Ya. [berlalu pergi ke belakang] Ndang to Pa, dibikinkan Energen. 
Papa       : Sebentar, papa belum selesai.
Jasmine : Papa ngapain sih, kok lama?
Papa       : Papa pup.

Di kamar... 
Adek Hamish sudah tidur lelap. Jasmine menyusul naik sendirian. Sudah berganti pakaian. 

Emak      : Jasmine kenapa kok ganti baju?
Jasmine : Hla bajunya basah hlo. 
Emak      : Hla kenapa kok basah? 
Jasmine : Kena air
Emak      : [dalam batin : a'elah, basah tu ya karena kena air] Iya, kena air pas ngapain?
Jasmine : Jasmine tadi wijik. 
Emak      : Ooh. Hla mana Energenmu? 
Jasmine : Nanti dibawa papa ke atas. 
Emak      : Emang papa bilang gimana? 
Jasmine : Jasmine naik dulu, nanti Energennya dibawakan papa, gitu.
Emak      : Ooh. 
Jasmine : Ma, ayo dibacakan buku!
Emak      : Ya, pilih tiga aja. Ambil. 
Jasmine : Okay.

Sambil rebahan di kasur, dengan tiga buah buku yang antre untuk dibaca...

Jasmine : Ayo Ma, dibacakan.
Emak      : Ya, yang mana dulu?
Jasmine : Yang ini.
Emak      : Bismillahirahmanirahim. A-ku A-nak Ju-jur.
Jasmine : Aku Anak Jujur.
Emak      : Jasmine tadi ngambil susu milik Chacha nggak bilang bilang, ya? 
Jasmine : Iya. Jasmine pengen susu. 
Emak      : Iya, tapi nggak boleh ambil milik orang lain. Kalau pengen susu, minta ke papa. Kalau papa punya uang banyak, kita beli susu sendiri. Nggak boleh ngambil milik orang lain sembarangan. Jangan diulangi ya. 
Jasmine : Ya...
Emak      : Uuh. Anak baik, shalihah. [kecup kening Jasmine]
Jasmine : Ndang, Ma. Dibacakan. 
Emak      : Sebentar. Hlo, ini Saliha anak jujur. Jujur itu bilang yang sebenarnya. Nggak bohong. Jasmine sudah jujur tadi, ngaku kalau ngambil susunya Chacha. Memang Energennya ada gambar susunya? 
Jasmine : Ada. 
Emak      : Susu apa? 
Jasmine : Susu putih. 
Emak      : Sama apa? 
Jasmine : Sama dikasih coklat. 
Emak      : Masak sih? 
Jasmine : Iya, yang bulat bulat coklatnya. 
Emak      : Itu bukan gambar coklat, tapi gambar kurma.
Jasmine : Ndang to, Ma, gek dibacakan.
Emak      : [mulai bacakan buku request-an Jasmine]

Dan berakhirlah obrolan tentang Energen Kurma, digantikan dengan obrolan cerita tentang Sali dan Saliha. 

Semoga gegara Energen Kurma dan rutin dibacakan buku Hallo Balita, Jasmine bisa paham dan mengamalkan kalau ngambil barang milik orang lain tanpa izin itu tidak baik. Ada pelajaran yang bisa dipetik.

Sekian dan jangan begadang.

Read more...
separador

Thursday, July 29, 2021

Jasmine dan Sepeda (Part 3 - Roda Empat)

Seminggu menjelang lebaran Idul Fitri, Jasmine dijemput kakung dan utinya. Tinggal di Klaten, tanpa emak dan adeknya. Tumben anaknya bersedia. Malam hari pun nggak nangis nyariin emaknya. Tidur biasa tanpa banyak drama. 

Jasmine telah menemukan kenyamanannya tinggal jauh dari emak bapaknya. Digantikan oleh kakung dan utinya. Ditemani fasilitas berupa HP dan TV yang bisa akses youtube sepuasnya. Terlebih malah ditambah dibelikan sepeda baru roda empat, pink warnanya. Motif kuda poni, Jasmine sendiri yang memilihnya.

Di Karanganyar, Jasmine sudah punya sepeda roda tiga, warna pink juga, gambar upin ipin. Beli sepeda itu hasil dari nabung dan tambahan dari beberapa donatur, termasuk dari kakung dan uti. 

Di usia yang sudah 3 tahun ini, Jasmine memiliki pengalaman menaiki berbagai macam sepeda anak. Mulai dari sepeda roda dua (dengan bantuan orang dewasa) milik saudaranya hingga sepeda roda empat miliknya. Kendaraan pertama Jasmine adalah odong-odong AngryBird, yang anggaplah itu sebagai latihan keseimbangan. Balance bike, hahaha.

Dari sekian macam sepeda, Jasmine terlihat paling nyaman mengendarai sepeda roda empat. Tanya alasannya? Temukan jawabannya di link berikut aja, karena emak Jasmine sudah mulai capek ngetik banyak-banyak. 

https://www.instagram.com/s/aGlnaGxpZ2h0OjE3ODY4Nzk1NTAwMjkxNDY0?story_media_id=2515421471396897849_7120266069&utm_medium=copy_link

Sebagai referensi buat para ortu yang pingin belikan sepeda anak balitanya, tak ada salahnya simak penjelasan di atas yaa.
Read more...
separador

Wednesday, July 21, 2021

PPKM diperpanjang....

Lagi viral PPKM, yang katanya bertujuan buat memperkecil korban Covid yang tengah membuncah. Sejak diumumkannya aturan PPKM, masyarakat menjadi resah. Apalagi kini ada aturan lagi kalau PPKM diperpanjang, bikin suasana tambah parah. Ah, entahlah.. Yang jelas dampaknya besar banget ke rakyat kelas menengah ke bawah. Rakyat kelas atas pun tak luput kena masalah. Andaikan punya tempat tinggal selain di negara plesnamdua, rasa rasanya ingin sekali pindah. Dulu, yang kata Koes Plus tanah kita tanah surga, kini sudah kadaliwarsa kah?

Sempat terpikir, dimanakah tempat di negeri ini yang tak terpengaruh hebohnya keganasan Corona dan tetekmbengeknya? Adakah setitik tempat yang tetap aman, nyaman, dan tak terusik sedikitpun oleh ulah si virus dan antek anteknya? Kapankah penghuni dunia ini kembali sehat (pikirannya)?

Pernah terbesit ingin tinggal di desa saja yang bener bener masih alami, asri, mandiri, dan terkendali. Tak butuh internet maupun Wi-Fi. Tak perlu HP, radio, pun tipi. Hanya butuh makan, tempat tinggal, pakaian, dan kedamaian di hati. Cukup kebutuhan pokok bisa terpenuhi.

Meskipun tempat tinggal hanya berupa bilik bambu. Tanpa hiasan, tanpa lukisan tegantung di situ. Tak ada tanaman hias di halaman, hanya alang alang dan rumput liar yang tumbuh. Tak ada listrik sebagai penerang, yang ada hanyalah lilin sumbu. Tapi penghuninya tak pernah mengeluh.

Tak butuh berlembar lembar pakaian memenuhi lemari. Cukup dua jenis pakaian buat sehari hari. Pakaian dinas di sawah atau kandang dan pakaian ganti. Dengan mengusung prinsip, pantang dibuang sebelum robek sana sini. T ak perlu risau, takut ketinggalan mode fashion terkini.

Sawah ladang luas membentang. Padi, jagung, ketela, kentang, kacang kacangan, hingga berbagai macam sayuran. Semua terawat dengan alami, tanpa perlu obat obatan yang harganya gila gilaan. Ternak ternak aman di dalam kandang. Sesekali digembalakan di tanah yang lapang. Makan rumput hingga kenyang. Kehidupan damai dan tenang.

Pengen makan telur mata sapi, tinggal nyolong satu dari bawah pantat ayam. Eh, maksudnya dari jerami sarang ayam. Harus hati hati dan jeli, jangan sampai ketahuan dan membuat induk ayam murka. Karena kalau ketahuan, bisa kena patok itu tangan.

Pengen pepes ikan, tinggal mancing di sungai multifungsi. Selain buat tempat mencari ikan, juga bisa buat mandi dan mencuci. Bisa kau lihat ikan ikan berenang di dalam air yang bening. Tusuk dengan tombak atau jebak dengan bubu dijamin berhasil. Ikan segar pun siap dijadikan pepes yang gurih lagi nagih.

Pengen yang segar segar sayur bayam. Tinggal petik segenggam dari kebun belakang. Bawa ke dapur, masak dengan hati riang meskipun terkadang mata pedih meradang. Terkena asap dari tungku kayu yang apinya hampir padam. Harus segera ditiup menggunakan batang bambu kecil dengan segenap kekuatan hembusan. Ah, api di tungku kembali menyala hingga masakan matang dan siap dihidangkan.

Tak lupa buah pepaya ataupun pisang selalu ada di meja makan. Baik di meja maupun lesehan, makan bersama tetaplah paling menyengangkan. Sambil bercengkerama semua anggota keluarga, tanpa terdistraksi oleh dunia maya. Menikmati hidangan dengan penuh rasa syukur dan bahagia meskipun sederhana.

PPKM diperpanjang? Tak masalah. Di lumbung masih ada stok gabah. Masih ada ternak yang bisa diandalkan di kandang belakang rumah. Masih ada air bersih melimpah. Masih ada berbagai tanaman bermanfaat yang tumbuh dengan mudah. Masih bisa menambah asupan gizi dengan buah. Masih ada pasar yang menopang perputaran ekonomi agar tidak goyah. Dan yang pasti, anak anak tetap bisa berangkat sekolah.

PPKM diperpanjang? Coba bayangkan. Kalau tinggal di lingkungan kayak gitu mah tetap aman. Karena pada dasarnya, manusia tetap bisa hidup tenang kalau kebutuhan pokok sudah dalam genggaman. Yang membuat kehidupan kian terasa sulit itu kalau menuruti hawa nafsu, keinginan. Maka dari itu, selalu mohonlah rejeki berupa sehat dan iman. Karena harta kekayaan hanyalah rejeki nomor ke sekian.

*Renungan malam
**Ngetik sambil neneni Adek Hamish yang lagi demam

Read more...
separador

Tuesday, July 13, 2021

Korban

Menjelang Hari Raya Idul Adha tahun ini, rasa rasanya begitu sepi, tak seperti dua tahun ke belakang. Kabar berita di mana mana hanya ramai menyiarkan si makhluk kecil bernama Corona yang udah banyak banget menelan korban jiwa. Bahkan sekarang Corona banyak variannya. Alfa, Beta, Delta, Gamma, Lambda, Kappa, Oppa. Eh! Yang terakhir tadi bukan. Besok bisa bisa kita kehabisan simbol nama buat varian barunya. Lalu simbol nama yang tersisa hanyalah Sin, Cos, dan Tangen aja.

Corona tak henti hentinya menggemparkan sebagian dunia. Padahal belahan dunia bagian Eropa dan Amerika sudah berganti digemparkan oleh euforia kemenangan Italia dan Argentina, bukan lagi oleh Corona. Lalu, kenapa di belahan dunia bagian Asia, terutama negara plesnamdua ini Corona masih merajalela, ya?

Kabar ibadah haji pun tak terdengar lagi gaungnya. Atau akunya aja yang gak pernah update acara warta berita? Biasanya kan setiap tahun ada calon jemaah haji yang "unik" untuk dijadikan isi berita. Tukang bubur naik haji, emak ingin ke Mekah, itu mah udah biasa. Yang luar biasa itu, pemulung naik haji atau tunawisma bisa korban sapi, misalnya. Sepertinya, berita unik menjelang Idul Adha tahun ini adalah tukang bakso yang menjadi korban keganasan penguasa. Eh!

Katanya, beli sembako bakalan kena pajak. Dan baru baru ini, demi genjot pemasukan negara, pedagang bakso juga bakal dikenakan pajak. Ya Tuhan... Entah besok sektor apa lagi yang bakalan dikorbankan untuk dikenai pajak. Badan ini aja udah berat, ditambah beban biaya hidup yang kian menanjak. Hidup di negara +62 gini amat, yak?!

Belum lagi, ada yang namanya PPKM. Apalah itu aku gak begitu paham. Aku taunya PPKN, yang pernah dulu dipake buat di sekolahan. Gunanya biar kita jadi makhluk yang beradab bukan malah biadab. Kalo jaman sekarang, PPKN nya udah diganti jadi PPKM kali ya. Katanya sih gunanya buat menekan korban kematian karena Corona. Tuh kan, lagi lagi isinya soal Corona. 

Cara kerja PPKM itu, nyuruh masyarakat pedagang kecil tutup lapaknya. Ada yang dibatasi jam operasionalnya, digusur paksa, didenda, bahkan dagangannya harus rela dikorbankan untuk disita. Sebagian jalan raya akses transpotasi dan distribusi utama ditutup juga. Lalu masyarakat cuma diminta mbegegek neng ngomah gak entuk ngapa ngapa dan gak entuk kemana mana. Gokil, kan?

Tapi tenang... Meskipun begitu, pemimpin negeri ini sudah berpesan "jangan sampai rakyat susah makan karena PPKM darurat."

Enggak kok Pak, kita gak sariawan ataupun sakit gigi sehingga menyebabkan kita susah makan. Kita cuman sakit hati dan sakit lambung karena sering menjadi korban janji jiwa. Eh, itu mah merk minuman! Sehingga tekanan darah dan asam lambung kian melambung tinggi tinggi sekali ii ii... Kiri kanan ku lihat saja, banyak rakyat sengsara...

Benarkah begitu, pemirsa?

Berjualan alias berdagang, di jaman sekarang itu gak gampang, gan! Penuh tantangan onak duri yang mengerikan. Yang tak mampu bertahan, bakalan terkorbankan, tumbang, tergerus jaman. Lagipula, hampir semua bidang jualan pakai cara online, mulai dari jualan sandang, pangan, perabotan, sampai jasa tambal ban. Yang gak ngerti cara jualan online, minggir aja kalian!

Hebat. Pesat sekali negeri ini mengalami kemajuan di bidang perdagangan. Keren sekali, bukan?

Anyway, siapa yang tahun ini bisa ikutan korban? Semoga senantiasa Allah memberikan kelapangan hati kita buat berkorban, meskipun dalam kondisi ekonomi lagi sempit maupun lapang. Korban kambing atau iyuran korban sapi, harga cuma dua jutaan kan? Kalau bener bener niat pasti Allah mampukan. Bayangkan, kita cuma disuruh korban kambing, bukan korbankan anak kayak Nabi Ibrahim, mosok gak mau berjuang?

Yang udah berjuang tapi ternyata uang belum cukup untuk menebus seharga seekor kambing doang, tetap putus asa, jangan semangat. Lah, kebalik kan malahan. Ya intinya tu jangan bersedih hati, karena Nabi udah berkorban buat kita juga, umatnya. Maka, bergembiralah...

Ada sapi di peternakan.
Daripada bersedih hati, ayo main tebak tebakan.

Unta. Unta apa yang paling bikin bahagia? 😊

Read more...
separador

Followers